Galungan
Galungan kata orang-orang arif dan bijaksana
sebagai hari kemenangan Dharma melawan Adharma. Ayahku bergembira karena dalam
mengarungi kehidupan pernah merasakan kemenangan. “Meskipun hidup kita
pas-pasan, kita meski bersyukur. Bisa bersyukur sudah bagian dari kemenangan.
Kalau tidak pernah bersyukur, kita sudah kalah meskipun masih bernafas. Masih
banyak saudara-saudara kita yang berada di bawah kita.”
Ayahku
bekerja sebagai kuli bangunan. Beliau pertaruhkan jiwanya demi anak-anaknya.
Aku bersaudara empat orang. Aku paling sulung. Sebagai anak sulung, aku
diharapkan bisa mengemong adik-adikku. Adik-adikku tampaknya bisa menerima
keadaan keluarga. Aku hanya bisa menamatkan SMA. Itupun dengan susah-payah
orang tuaku menyekolahkan. Pagi-pagi, orang tuaku sudah meninggalkan kami. Syukurlah
sekolahku sore hari hingga bisa membantu keluargaku.
Ibuku
sudah lama diaben. Beliau meninggal karena menderita kanker getah bening. Sudah
berobat ke rumah sakit bahkan pengobatan alternatif juga dicarikan. Toh juga
tak tertolong jiwanya. Ibuku meninggalkan kami saat kami membutuhkan kasih
sayangnya. Kasih dari seorang ibu.
Ayahku
sebenarnya masih gagah. Pernah suatu
hari dengan nada bercanda aku bertanya, “Bapa, apa tak ada keinginan mencari
perempuan lain?”
Ayahku
tertawa ngakak. “Kau jangan mengada-ada, Nyoman. Bapa sudah memilikimu dan
adik-adikmu. Ayah bisa menyekolahkan dirimu saja sudah bersyukur. Kau tak usah
cemas dengan Bapa. Hidup Bapa hanya untuk ibumu dan anak-anak Bapa. Tidak semua
perempuan sebaik ibumu. Bapa tak ingin kau diperlakukan tidak baik oleh ibu
tirimu. Bapa sudah cukup seperti sekarang ini. Ibumu orang yang berhati mulia.
Kau tahu tidak? Ibumu sebenarnya banyak yang naksir. Tapi, entah kenapa, Bapa
yang dipilihya.”
“Bapa
gagah. Wajar ibu memilih Bapa.”
“Yang
naksir ibumu orang-orang berada. Lucunya bapa yang dipilih. Padahal, bapa waktu
itu sakadar coba-coba.”
“Coba-coba
membawa berkah, Bapa.”
Kami
menikmati hidup. Ibuku selalu berpesan agar kami menjadi manusia yang bisa
bersyukur dalam keadaan apapun. “Jangan lupa bersyukur meski kalian tak
seberuntung orang lain. Dengan bersyukur, hatimu akan damai dan tak akan pernah
kalut seperti sepupumu.” Sepupuku jarang kulihat akur. Ada saja yang
dipertengkarkan.
Kami
berusaha mengingat pesan ibuku. Lebih-lebih saat Galungan.Galungan para leluhur
akan turun ke dunia memberikan berkahnya. Aku berharap semoga kawitanku bisa
hadir saat Galungan.
“Nyoman,
Bapa datang.”Aku mendekati ayahku. Kuambilkan air putih. Kubawakan ubi rebus.
“Terima kasih, Nyoman.”
“Gimana
Bapa hari ini?”
Ayah
menarik nafasnya. “Syukur bencana itu tak menimpa ayahmu.”
“Ada
apa Bapa?”
“Teman
bapa tadi tertimpa bahan bangunan. Ia tak bisa menyelamatkan dirinya. Tanah
yang dikeruk tiba-tiba longsor. Syukur bapa cepat-cepat melompat. Jika tidak,
mungkin nyawa bapa tak tertolong lagi. Keluarganya juga berada di luar daerah.
Gajinya tak seberapa. Tapi itulah hidup meski dimenangkan.”
“Semoga
Hyang Widhi selalu bersama kita.”
“Kita
akan merayakan Galungan, Nyoman. Bapa belum mendapatkan gaji. Kita tak bisa seperti
Galungan enam bulan lalu. Kita tidak bisa membuat lawar ataupun sate.”
“Bagiku
tak masalah, Bapa. Kita bisa selalu bersama sudah lebih dari cukup. Jika Bapa
mengizinkan, tiang mau membantu Bapa bekerja. Tiang tidak malu sebagai buruh
bagunan.”
“Kalau
begitu, besok Nyoman ikut Bapa saja ke tempat kerja. Tadi, mandor mencari satu
tanaga lagi sebagai pembuat campuran.”
Aku
pun bekerja. Aku tetap bersyukur bisa membantu ayahku. Pagi-pagi, kami
berangkat. Adik-adikku kupesani agar jangan manja. Hidup meski berjuang. Tanpa
perjuangan kita akan selalu kalah. Tampaknya mereka mengerti.
“Nyoman
kau bantu ayahmu dibagian mencampur semen dan pasir. Buat campuran untuk beton
ini.” Mandor memerintahku.
“Ia
Pak.”Aku bawakan campuran semen pasir ayahku. Ia tersenyum.
“Ternyata
kau bisa mencampur dengan tepat.”
“Aku
anak sekolahan Bapa.”
“Ah,
kau mulai nakal juga.” Kami tertawa. Keringat kami berlomba membasahi tubuh.
Tapi, hati kami merasa damai. Jam istirahat tiba, kami makan bertemankan pepes.
Nikmat rasanya. Selesai makan, kulihat ada lembaran surat kabar yang tercecer.
Kubaca pelan-pelan. Aku merasa geli juga. Kubaca beberapa orang-orang yang
berdasi dan sering menyuarakan kemenangan ternyata terlibat korupsi. Pakaiannya
bertuliskan tahanan. Aku menggerutu. “Apa belum puas membuat orang lain
menderita. Kekayaan yang dikumpulkannya selama ini hasil dari menilep uang
rakyat. Korupsi sudah mendarah daging.”
“Kenapa
Man, bapa lihat kau senyum-seyum saja.”
“Tidak
Bapa. Lihat ini, Pa. Orang-orang yang mengaku dekat dengan Tuhan ternyata
seorang koruptor.”
“Tak
usah kau pikirkan orang-orang semacam itu. Yang penting bagi kita bisa bekerja
dan bisa merayakan Galungan.”
“Benar
juga kata Bapa. Untuk apa memedulikan orang-orang yang suka melaratkan orang
lain.”
“Hukum
karmaphala akan terus berjalan, Anakku. Bangunlah karma baik selalu meskipun
terasa berat.”
“Baik
Bapa.”
“Ayo
kita kerja. Siapa tahu sebelum Galungan tiba, gaji kita bisa lebih awal
dibayar. “Artinya kita bisa
mepatung, Bapa.”
“Makan
saja di otakmu.”
Aku
tertawa. Ayahku pun terseyum. Sore pukul lima kami mengakhiri pekerjaan. Aku
berjalan kaki menuju rumah. Kulihat adik-adikku sudah mabanten. Aku berbangga
ternyata adik-adikku bisa merasakan kehidupan keluarga.
Ayahku
dibuatkan air panas. Beliau sering menderita reumatik. Ucapan terima kasih
selalu keluar dari bibir ayahku.
“Semoga
kau menjadi anak yang berbakti pada orang tua. Bapa yakin ibumu akan berbahagia
di alam sana.”
“Semoga
saja, Bapa.”
Besok
paginya, kami bekerja lagi. Aku mulai bisa menikmati kerja dan hidup. Saat akan
pulang, kami dipanggil dan diberikan upah. Kami merasa bersyukur karena bisa
digunakan untuk Galungan. Mandor meliburkan kami selama tiga hari mulai dari
penampahan Galungan sampai Manis
Galungan. Pahing Galungan kami harus kembali bekerja.
“Kita
bisa merayakan Galungan lebih semarak. Kau bisa membuat lawar dan sate.”
Aku
senyum-senyum. Penampahan Galungan aku ke pasar membeli daging. Aku mau membuat
sate, lawar, dan masakan lainnya. Ayahku sengaja tak kuberikan ke pasar. Beliau
kusuruh meracik bumbu Bali. Ayahku jagonya meracik masakan khas Bali.
Aku
keluar rumah. Di jalan kutemui peminta-minta dengan dua orang anaknya. Anaknya
menangis. Ia mengatakan sudah dua hari tak makan. Tubuhnya kurus kering.
Pakaiannya tak kelihatan warnanya. Sudah kusam. Bau badannya jangan ditanyakan
lagi. Hatiku tak sampai hati. Kurogoh sakuku. Aku tak jadi membeli daging. Aku
pulang. Ayahku menanyaiku. Kukatakan yang kualami. Beliau tak marah dan memeluk tubuhku.
“Nyoman, kau sudah megalungan.” Aku tak mengerti maksud perkataan ayahku.
Catatan:
Bapa :
ayah
Diaben :upacara
pembakaran mayat di Bali
Galungan :nama
hari raya agama Hindu
Kawitan :leluhur
Mabanten :
mempersembahkan sajen
Manis Galungan :sehari
setelah Galungan
Mapatung :
membeli hewan bersama untuk disembelih
Penampahan Galungan :sehari sebelum Galungan
Pahing Galungan :
dua hari setelah Galungan
Tiang :sayaLabels: Cerpen