Perempuan
Malam
“Tuhan sudah
menunjukkan jalan hidup buat manusia. Hanya manusia yang jarang mengenal jalan
Tuhan. Berbuatlah selalu kebaikan walau susah. Ayah tak bisa membekali dirimu.
Semoga kau menjadi seorang laki-laki yang mengenal diri sendiri. “
“Nyoman, kau bekerja di luar daerah.
Kau mesti bisa menjaga dirimu. Ayah tahu. Kau pasti banyak yang menaksirnya.”
“Ah, tidak ayah,” kataku.
“Ayah tersenyum. Ayah tahu kau
laki-laki ganteng.”
“Ayah jangan terlalu memuji.”
“Ayah juga pernah menjadi pemuda
sepertimu. Pastilah ayah tahu tentang dirimu.” Carilah gadis yang benar-benar
sayang padamu. Jangan Nyoman menghina
seorang perempuan. Kau terlahir dari rahim seorang ibu.
Ayahku batuk-batuk. Kuambilkan obat.
Kupijat-pijat tubuhnya dengan minyak warisan leluhurku.
“Nyoman, Setiap yang hidup pastilah
akan mati, “ kata ayahku. “Karena itu peliharalah hidupmu agar kematianmu
menjadi indah. Rawat hidupmu seperti merawat hatimu. Pupukilah dengan kejujuran
dan ketulusan.”
Pada saat itu, aku tidak menduga
bahwa kata-kata ayahku sebagai sebuah wasiat. Setiap aku mengingatnya, hatiku
terasa berdebar-debar. Ayahku telah pergi bersama karmanya ke alam keindahan.
Aku merasa menyesal tak memedulikan ayahku. Ia tinggal di kampung bersama
keponakanku. Aku bekerja di luar daerah. Hampir tak ada waktu luang untuk bisa
mendengarkan petuah-petuah dari ayahku.
Aku akui banyak gadis-gadis yang
menaruh hati padaku. Akan tetapi, rasanya tak ada yang mengena di hatiku.
Teman-teman sekantorku bahkan pernah menganggapku sebagai seorang bencong. Aku
hanya senyum-senyum saja. Yang paling aneh, aku pernah diajak ke sebuah
lokalisasi. Aku diharuskan mengencani seorang gadis. Entah dari mana datang
keringatku saat itu. Tempat itu sebenarnya sejuk, tapi keringatku tak bisa
dibendung. Gadis itu dengan mudahnya memelukku. Tubuhku semakin menggigil.
“Mas pasti tak pernah kencan, ya ?”
Aku mengusap keringatku. “Pernah!”
jawabku berbohong.
“Aku tak percaya.”
“Kalau tak percaya, ya sudah.”
Kuberanikan menanyakan masa lalunya.
Ia Menerawang. “Dulu, aku memiliki suami. Ia mengaku
mencintaiku setulus hatinya. Ternyata ia telah memiliki istri yang sah. Aku
malu sebagai seorang perempuan merampas kebahagian kaumku. Itupun setelah
beberapa bulan aku ketahui. Saat pernikahan kami, memang tidak dilaksanakan di
rumahnya. Ia katakan orang tuanya tak menyetujuinya. Kuturuti kemauannya untuk
menikah di rumah orang lain. Setelah beberapa bulan berlalu, seorang perempuan
datang. Ia mengaku sebagai istri sahnya. Ia perlihatkan akta pernikahannya. Aku
tak bisa berkata apapun. Saat suamiku pulang, kutanyai. Ia mengaku terus terang
bahwa sudah memiliki istri. Betapa marahku saat itu. Ia tak melawan. Ia memohon
ampun, tapi hati ini tak bisa menerima kebohongan yang direncanakan seperti
itu. Aku minggat. Tak mau rujuk lagi. Perut ini tak bisa dibohongi. Perutku
semakin membuncit. Aku hamil.
Perempuan di depanku meneteskan air
mata. “Anakku terlahir tanpa ditemani oleh ayahnya. Sampai sekarang pun tak
mengenal wajah ayahnya. Dengan berat hati, aku menjual tubuhku untuk membiayai
hidup anakku.”
“Maafkan aku membuatmu mengingat
masa lalumu.”
“Aku tidak marah. Aku yang salah
mengapa mau dibohongi oleh seorang laki-laki. Ternyata kata-kata manis membawa
hidup ini ke alam neraka.”
Kuambilkan beberapa uang ratusan. Ia menciumi uang
itu berkali-kali. “Terima kasih, Mas. Tumben ada seorang laki-laki yang mau
mendengar keluh kesahku. “Mas sudah beristri?”
“Belum.”
“Kenapa belum? Bukankah banyak perempuan cantik di
tempat Mas bekerja.”
“Benar. Tapi, tak ada yang memikat hatiku.”
“Terus perempuan yang seperti apa yang Mas
inginkan?”
“Aku sendiri tak tahu.”
“Perempuan sama dengan laki-laki. Penuh misteri.
Terkadang yang kelihatan alim ternyata kurang ajar. Begitu juga perempuan. Yang
tampak cantik, ternyata suka mengumbar libidonya.”
“Maaf, aku mau pulang.”
“Silakan Mas.”
Kucari temanku. Tak kutemukan.
Kutunggu di depan lokalisasi. Kulihat batang hidungnya. “Sini !” panggilku. Ia
cengar-cengir.
“Gimana tadi?”
“Kau sudah edan. Kenapa kau ajak aku
ke sini?”
“Ini tempat kita latihan sebelum
mendapatkan calon istri.”
“Dasar gendeng. Ayo pulang.”
Kami pulang. Mulutnya mulai bicara.
“Sebagai laki-laki perlu menjadi jantan. Kalau tetap alim, akan dipermainkan
oleh perempuan nantinya. Meskipun sudah menjadi istrimu, bisa jadi, istrimu
memunyai idaman lain. Belajar di tempat ini. Kau bisa dengar cerita mereka di
tempat ini. Sebelum kamu disakiti oleh istrimu. Nanti, kau tidak kaget jika
istrimu kurang ajar.”
“Kau teman apa setan?”
“Ya, teman. Masak ada setan masuk
lokalisasi.”
Mulai saat itu, hampir setiap malam
minggu, hatiku ingin berkencan dengan perempuan di lokalisasi itu. Ia
memperlakukanku seperti seorang raja. Ia tak menerima siapa pun setiap malam
minggu. Waktunya dihabiskan untuk bercerita tentang kehidupannya. Tentang anak
semata wayangnya yang terus tumbuh besar. Pada akhir pertemuan, aku tetap
memberikan ratusan rupiah. Ia gembira sekali. Sesekali ia menciumku. Wangi
tubuhnya menempel di bajuku.
“Mas bisa kemari kapan saja. Aku
siap melayani Mas jika Mas mau.”
Aku hanya bisa tersenyum. Kulihat
arlojiku. Ia tampaknya sudah tahu.
“Silakan pulang Mas. Sabtu depan
silakan datang kemari.”
Aku tak tahu. Kenapa hatiku seperti
menemukan ketenangan bersamanya? Kenapa setiap waktu, wajah perempuan malam itu
mengikuti hatiku. Apakah aku sudah kena guna-guna? Ah, tidak mungkin. Kulihat
perempuan itu polos. Ia korban dari seorang laki-laki.
“Nyoman jangan melamun. Pasti
melamunkan wajah perempuan itu, ya?”
“Kau lagi.”
“Tak usah takut. Semakin sering kau datangi semakin
cantiklah perempuan itu.”
Kata-kata temanku memang benar.
Setiap malam minggu, kulihat wajahnya semakin cantik. Di hatiku ada keinginan
untuk menjadikan pendamping hidup. Tapi aku takut. Takut karena akan kudapati
banyak gunjingan-gunjingan dari orang lain. Dari tetangga. Dari keluarga
besarku. Entah dari siapa lagi. Yang pasti, aku akan dicap tak bisa memilih
calon pendamping hidup. Lebih-lebih di
banjarku. Aku akan menjadi bahan tertawaan. Di banjar, ayahku disegani aku
mendapatkan cipratan dari kebaikan ayahku. Jika mereka tahu perempuan pilihanku
perempuan malam, tentulah akan menjadi bahan cerita yang kunjung habisnya.
Bisa-bisa aku dikeluarkan dari keluarga besarku.
Apa menikah juga perlu kesepakatan dari orang lain?
Bukankah yang menikah diriku. Bukan yang menggunjingkannya.
Malam minggu ini, kudatangi ia.
Kuutarakan maksudku. Perempuan malam itu tersenyum. Cantik sekali. Sambil
memeluk tubuhku, “Mas aku perempuan malam, tak pantas menjadi perempuan suci.”
Labels: Cerpen