Sastra Bali Modern dalam Pelestarian
Bahasa Ibu
Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten
Abstrak
Keberadaan bahasa Bali sebagai bahasa Ibu sekarang ini sudah
diambang titik kritis. Kecenderungan bergesernya pemakaian bahasa Bali dengan
bahasa Indonesia khususnya di kalangan generasi muda dan juga keluarga muda
Bali. Hal ini terjadi karena adanya anggapan bahwa bahasa Bali susah
dipelajari, kurang nilai jualnya, tes PNS tidak ada tes bahasa Bali, di samping
ada pandangan bahasa Bali kurang egaliter karena ada sor singgih basa. Dampaknya
pada kurangnya sikap memiliki, menghargai bahasa Bali. Bahasa Bali masih
dipandang sebelah mata oleh pengambil
kebijakan.Penumbuhkembangan bahasa Bali bisa dimulai dengan pengubahan
sistem pembelajaran di kelas atau di luar kelas ( keluarga, center, atau
lembaga kursus). Pembelajaran pun bisa dengan memperkenalkan Sastra Bali Modern
sebagai salah satu alternatif. Dengan harapan, bahasa Bali tidak mati secara
perlahan – lahan.
Kata kunci: Bahasa Ibu, Pelestarian, Sastra Bali Modern
1. Pengantar
Keberadaan
bahasa Bali sekarang ini perlu mendapatkan perhatian serius baik dari kalangan
permerintah, akademisi, pecinta bahasa dan sastra. Bahasa Bali yang sementara
ini masih dipakai sebagai bahasa ibu untuk sebagian besar penduduk Bali tampaknya sedang bersedih
karena keberadaan semakin hari semakin
terpinggirkan. Bahasa Bali sudah bergeser pemakaiannya jika dibadingkan masa –
masa tahun delapan puluhan. Kecenderungan generasi muda sudah tidak lagi
memakai bahasa Bali. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa Bali sudah mulai terkikis
“ taksu” – nya dari pendukungnya. Melihat kenyataan sehari – hari, teramat
sulit untuk menemukan generasi muda yang berbicara dengan bahasa Bali.
Bergesernya ini bisa karena faktor bahasa dan juga bisa karena faktor
pendukungnnya yang sudah mulai kurang peduli terhadap bahasa Bali.
Sesuatu
yang anomali terjadi, bahasa Bali justru dipelajari oleh orang – rang asing.
Kecintaannya terhadap budaya Bali dilakukan oleh para sarjana atau pemerhati
budaya dari negeri asing. Lantas kenapa pendukungnya sendiri sepertinya
menjauhi? Ada beberapa anggapan bahwa bahasa Bali itu lebih sukar jika
dibandingkan dengan bahasa Indonesia atau bahasa Asing ( Inggris, Jepang,
Mandarin dan sebagainya). Bahasa Bali kurang egaliter karena ada sor singgih
basa. Ada lagi beranggapan bahwa nilai jual untuk bahasa Bali tidak ada. Toh
juga kalau melamar PNS di Bali tidak ada tes bahasa Bali.
Hal
– hal di atas menyebabkan bahasa Bali mulai tergoyahkan keberadaannya. Wajarlah
anggapan bahwa bahasa Bali hanya akan dipakai
dalam “ pesangkepan balai banjar,, upacara keagamaan di pura ” . Sebagai bahasa
Ibu, bahasa Bali memiliki karakteristik yang tidak dimiliki oleh bahasa
Indonesia. Penumbuhkembangan rasa melalui bahasa Bali akan lebih hidup jika
dibandingkan dengan bahasa Indonesia.
2.Bahasa Bali sebagai Bahasa Ibu
Bahasa
Ibu, bahasa yang diperoleh pertama kali oleh anak. Atau bahasa yang
diperkenalkan oleh orang tua pertama
kali. Jika bahasa Bali diperolehnya terlebih dulu, maka bahasa Bali
sebagai bahasa Ibunya. Begitu juga sebaliknya, jika bahasa Indonesia
diperolehnya terlebih dulu, maka bahasa Indonesia sebagai bahasa ibunya.
Bahasa Bali berada di
tengah – tengah persaingan sebagai bahasa Ibu. Bahasa Nasional, bahasa
Indonesia sudah merambah kehidupan bahasa Bali. Bahkan tidak hanya bahasa Indonesia
bahasa asing, seperti bahasa Inggris pun
sudah mulai menggeser hidup bahasa Bali. Lihat berdirinya RSBI yang marak sekarang
ini. Tahun keenam, pembelajarannya
sepenuhnya menggunakan bahasa asing ( baca Inggris). Bahasa Bali “ Bagai kerakap tumbuh di batu, Mati tak segan, hidup tak mau. “
Padahal bahasa Bali, sebagai
bahasa Ibu memiliki kelebihan tersendiri jika dibandingkan dengan bahasa
Indonesia. Pertama, rasa bahasa dalam bahasa Bali agak berbeda dengan bahasa
Indonesia. Bahasa Bali mampu membangkitkan kehalusan rasa, budi yang dimiliki
manusia. Misalnya, ungkapan Ki Dalang
Tangsub, Eda ngaden awak bisa (
Geguritan Basur), Ida Pedanda Made Sidemen Karang
awake tandurin, ( Geguritan Selampah Laku). Kedua,beberapa konsep yang
tidak bisa diambil alih oleh bahasa Indonesia, misalnya ngaben, nama obat ( istilah Usadha), pertukangan, termasuk istilah
– istilah dalam subak ( sistem perairan di Bali) bahkan istilah pengayam-
ayaman pun ( cok - gasal, nluda, warna bulu ayam), yang khas dimiliki oleh bahasa Bali. Ini
sebagai kekayaan bahasa Bali. Ketiga,
peribahasa bahasa Bali memiliki nilai moral yang cukup berarti, misalnya “ Celebingkah batan biu, don sente do pelindo,
gumi linggah ajak liu, ada kene ada keto”. Ini mengandung makna agar bisa
menghormati karakter seseorang yang berbeda – beda.
Bahasa Bali
meski sudah mulai bergeser keberadaannya, generasi muda Bali seakan kurang
perhatian pada bahasa Bali. Generasi muda Bali merasa lebih mudah diajak berbicara
jika menggunakan bahasa Indonesia. Letak permasalahannya sebenarnya pada
keluarga. Keluarga muda Bali lebih merasa modern jika menggunakan bahasa Indonesia.
Kalau menggunakan bahasa Bali, kesannya sebagai orang desa atau jarang keluar
dari desa. Dalam konteks seperti itu, bahasa Bali berpindah sebagai bahasa kedua setelah bahasa
Indonesia. Sedikit demi sedikit bahasa Bali berpindah perannya bukan lagi
sebagai bahasa komunikasi sesama orang Bali, tergantikan oleh bahasa Indonesia.
Jika
kenyataan ini berlanjut, siapa yang akan menjaga bahasa Bali?
Pendukungnya saja sudah jarang yang peduli. Syukurlah beberapa media massa
masih setia mengabdi pada “ Sang Ibu” menjaga bahasa Bali, misalnya Bali Orti (
sisipan Bali Post, minggu),Majalah Canangsari dibawah sastrawan Pak Manda. Dalam
media elektronik ada Gatra Dewata ( Dewata Bali), Orti Bali ( Bali TV).
Hal
ini diperparah lagi karena sikap para pengambil kebijakan yang memandang kurang
maksimal terhadap bahasa Bali. Lihat saja dalam kurikulum KTSP. Bahasa Bali
mendapatkan porsinya dua jam pelajaran. Bahkan ada lagi, waktu yang dua jam
dibagi dua menjadi satu jam karena harus mengalah dengan mata pelajaran yang
lainnya. Jika dibandingkan dengan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris bahkan
bahasa Jepang. Bahasa Jepang untuk Program Bahasa mendapatkan porsi empat jam
pelajaran. Di program PSIA dan PSIS mendapatkan jatah dua jam pelajaran,
artinya sama dengan bahasa Bali.
Jika
menginginkan bahasa Bali tetap hidup hendaknya ada kebijakan politik dari pemda
Bali. Kebijakan itu, misalnya mengharuskan lembaga pendidikan atau pemerintah
untuk mengadakan hari berbahasa Bali. Atau calon anggota dewan, calon bupati,
gubernur dites berbahasa Balinya, baik lisan ataupun tulis. Jika kampanye
pemilihan bupati, memakai bahasa Bali. Perlombaan berbahasa Bali perlu terus digiatkan,
misalnya antarlembaga pemerintah. Atau menerbitkan majalah berbahasa Bali yang
dilakukan oleh Pemda Bali. Atau majalah berbahasa Bali yang diterbitkan oleh
Unud. Secara tidak langsung akan
menumbuhkan kecintaan terhadap bahasa Bali.
3.Bahasa Bali dalam
Keterangsingan
Keterangsingan
bahasa Bali dalam Bali Pulina ini memang menyedihkan. Kebanggaan berbahasa bali
bukan lagi menarik hati pendukungnya. Hanya segelintir orang yang menaruh
simpati terhadap Bahasa Bali. Lambat laun bahasa Bali akan menjadi bahasa asing
di daerahnya sendiri. Lucunya akan mejadi kajian menarik bagi kalangan
akademisi dari luar ( Belanda, Australia, Amerika).
Meski
diakui beberapa akademisi sudah terpanggil, misalnya Prof. Sutjaja dengan menyebarluaskan
bahasa Bali ke luar Bali ( baca luar negeri), dengan menulis kamus Bali – Inggris,
menyalin geguritan ke dalam bahasa Bali Simbar, diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dan Inggris, juga cerita –
cerita, dongeng Bali dalam tiga bahasa, Bali, Indonesia, Inggris. Juga Prof.
Sudipa , Prof. Pastika yang
berlatarbelakang bahasa Inggris merasa terpanggil untuk menulis tentang bahasa
Bali. Dalam sastra, misalnya, Pak Suarsa ( berlatarbelakang bahasa Indonesia).
Siapa tahu nanti ada yang berlatar belakang bahasa Jepang menulis atau
menerjemahkan bahasa dan sastra Bali sehingga bahasa Bali tidak menyepi di
negeri sendiri.
4. Sastra Bali Modern
sebagai Pelestari Bahasa Ibu
Keterpencilan
bahasa Bali tampaknya menarik hati para pegiat sastra. Ada rasa keterpanggilan
untuk bersujud di kaki “ Sang Ibu”. Sebagai sebuah keputusan yang amat tidak
lumbrah. Seorang pecinta sastra yang memulai dengan sastra Indonesia hatinya tergugah
melihat bahasa Bali. Dikembangkanlah karya kreatif berupa Sastra Bali Modern. Riak perkembangan
sudah mulai dari tahun dua puluhan mulai dari Pak Made Pasek , seorang Guru
dari Singaraja ( Baca Tonggak Baru Sastra Bali Modern. I Nyoman Darma Putra)
yang memulai memperkenalkan cerpen – cerpen mininya. Karya – karya beliau
dijadikan sebagai sarana pembelajaran bahasa Bali. Juga dilanjutkan oleh Pak
Rida ( Sastrawan,mantan guru SD ) dengan menulis cerpen mini sebagai sarana
pembelajarannya agar siswa tertarik terhadap bahasa Bali.
Ragam
sastra Bali Modern hampir sama dengan sastra Indonesia ada puisi, prosa, drama. Ragam – ragam ini terus
mengeliat mencari identitasnya tersendiri. Meski ragam drama dapat dikatakan
amat sedikit ditulis oleh para pegiat Sastra Bali Modern. Ragam, puisi dan prosa sudah mendapatkan
apresiasi yang cukup positif dari masyarakat. Hal ini ditandai dengan sering
diadakannya lomba baca puisi Bali Modern ( PKB atau lomba antar sekolah), lomba
menulis cerpen( misalnya PKB 2010), tahun lalu. Balai Bahasa Denpasar juga
sering mengadakan lomba, sekarang
diganti dengan membukukan karya – karya penulis Sastra Bali Modern.
Penulis
- penulis dalam Sastra Bali Modern sudah semakin tumbuh. Seperti Mas Ruscita
Dewi dari kalangan sastrawan dan wartawan Bali Post, penangung jawab Bali Orti,
Made Sugianto, wartawan Nusa Bali, DG Kumarsana yang tinggal di Lombok berlatar
belakang sastra Indonesia. Wayan Paing, Mahindu, Kadek Widiasih yang masih
banyak memiliki potensi untuk menggali dirinya dalam menulis Sastra Bali
Modern. Karya sastra Bali Modern secara
tidak langsung menjaga kelangsungan keberadaan bahasa Bali sebagai bahasa Ibu.
5. Pengembangan Sastra Bali Modern
Pengembangan
sastra Bali Modern perlu terus mendapatkan perhatian dengan harapan bisa
sejajar dengan sastra Indonesia. Pengembangan ini tidak hanya berupa pengembangan
bahasa juga penggalian tema - tema yang
belum digarap oleh penulis – penulis Sastra Bali Modern. Dengan demikian, akan
terjadi keberagaman tema dalam sastra Bali Modern. Hal ini sudah dicontohi oleh
Nyoman Manda dengan menggali unsur sejarah atau babad . IDK Raka Kusuma dengan
menggali tema G/30/S/ PKI ( I Nyoman Darma Putra, Perkembangan Sastra Bali
Modern 2010, BP Minggu, 30 Januari 2011).
Pengembangan
ini pun tidak hanya dilakukan dari kalangan pegiat sastra juga perlu dari
kalangan akademisi untuk tertarik melakukan kajian mengenai Sastra Bali Modern.
Penulis belum pernah mendengar Desertasi tentang Sastra Bali Modern. Semoga
Unud melahirkan pengkaji atau peneliti tentang Sastra Bali Modern yang selama
ini lebih banyak mengkaji Sastra Bali
Klasik.
6. Pemasyarakatan Sastra Bali
Modern
Sastra Bali
Modern perlu dimasyarakatkan atau disebarluaskan. Hal ini mengingat Sastra Bali
Modern masih amat muda usianya dibandingkan dengan Sastra Bali Klasik.
Masyarakat Bali seakan lebih menaruh nilai lebih terhadap Sastra Bali Klasik.
Menjamurnya sekaa pesanthian sebagai salah satu indikatornya. Hal ini juga
menguntungkan dari pelestarian bahasa Bali. Akan tetapi, Sastra Bali Modern tidak boleh dipinggirkan.
Beberapa penulis sastra Bali Modern juga mencintai sastra Bali Klasik, seperti
Made Suarsa menulis beberapa geguritan, A.A. Wiat menulis ke dalam Bali Simbar,
misalnya Swarga Rohana Parwa, Kapi Parwa, dan beberapa penulis lain pun sama –
sama menggeluti Sastra Bali Klasik dan Modern. Keduanya dapat berjalan
berimbang karena intinya mengambdi pada “ Sang Ibu” pada “ Dewi Keindahan”.
Pemasyarakatan
Sastra Bali Modern yang lebih penting
melalui lembaga pendidikan. Guru – guru, baik yang berlatar belakang bahasa Bali maupun
bukan bahasa Bali dapat mengembangkan Sastra Bali modern. Wujud nyatanya bisa
melalui pembelajaran langsung di kelas atau lewat ekstrakurikuler. Akan lebih baik lagi jika siswa disuruh
menulis atau membaca karya Sastra Bali Modern. Apresiasi di kelas atau di luar
kelas dalam mengapresiasi menggunakan bahasa Bali sebagai sarana komunikasinya.
Siswa
– siswa perlu semakin banyak melihat
contoh – contoh dari orang dewasa dalam berbahasa Bali. Sekali – sekali sapalah
anak didik dengan bahasa Bali. Penulis yakin, siswa akan membalasnya dengan
bahasa Bali. Mulailah dari orang dewasa sehingga menular pada anak didik.
Dengan harapan, bahasa Bali tetap
menjadi bagian dari hidupnya dan tidak merasa rendah hati dalam berbahasa Bali.
7. Simpulan
Beberapa simpulan yang dapat ditarik dari
uraian di atas.
1.
Bahasa Bali sebagai bahasa Ibu
perlu terus dijaga kelestariannya;
2.
Pergeseran pemakaian dari
Bahasa Bali berpindah berbahasa Indonesia atau asing;
3.
Bahasa Bali memiliki kelebihan
– kelebihan yang tidak dimiliki oleh bahasa Indonesia;
4.
Sastra Bali Modern sebagai
salah satu sarana pelestarian bahasa Bali;
5.
Pengembangan dan
pemasyarakatanSastra Bali Modern agar terus dilaksanakan;
6.
Kalangan akademisi agar
tertarik untuk mengkaji Sastra Bali Modern.
Daftar Pustaka
Chaer, Abdul.2003.Psikolinguistik
Kajian Teoritik.Jakarta: PT Rineka Cipta.
Dardjowidjojo, Soenjono.
2010.Psikolinguistik Pengantar Pemahaman
Bahasa Manusia.Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.
Dharmowijono, Widjajanti W
dan I Nyoman Suparwa.Psikolinguistik
Teori Kemampuan Berbahasa dan Pemerolehan Bahasa Anak.Denpasar: Udayana
University Press.
Halim, Amran ( Editor).1984. Politik
Bahasa Nasional.Jakarta: PN Balai Pustaka.
Iskandarwassid dan Dadang
Sunendar. Strategi Pembelajaran Bahasa.Bandung:
PT Remaja Rosda Karya.
Kridalaksana,
Harimurti.1985.Fungsi Bahasa dan Sikap
Bahasa.Ende- Flores: Nusa Indah.
Labels: Artikel