Bawang
Putih dan Bawang Merah
Cerpen
IBW Widiasa Keniten
Alkisah di suatu negeri kaya raya. Konon, tongkat kayu
bisa jadi tanaman. Hiduplah sebuah keluarga yang kadang-kadang akur dan
kadang-kadang tak terurus. Keluarga ini memiliki dua orang putri yang sedang
menginjak remaja. Bawang Putih dan
Bawang Merah namanya. Orang tuanya sering kalang kabut dibuatnya mungkin karena
keduanya sering dikunjungi oleh para jejaka. Hp-nya tak pernah lepas dari
tangannya.
“Bawang Putiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiih! Ke mana adikmu?”
“Ia menghilang Bu.”
“Mengilang? Maksudmu?”
“Tadi, Hp-nya terus berdering. Aku yakin ia pergi bersama
kekasihnya.”
“Kekasihnya? Beraninya anak itu bercinta dengan laki-laki
yang ibu benci itu.”
“Itulah Bu. Ia anak yang bandel. Tak pernah mendengar
nasihat Ibu. Diusir saja Bu!”
“Diusir?”
“Benar! Untuk apa punya anak seperti dia sukanya
keluyuran dengan kekasihnya.”
Ibu Bawang Merah mengerjitkan keningnya. “Benar juga
perkataan Bawang Putih. Tapi, aku seorang ibu, apa benar tindakanku itu.
Jangan-jangan ia berterima kasih karena aku usir.”
Orang tua Bawang Merah gelisah. Kelakuan anaknya
mengganggu ketenangannya. Bahkan, orang-orang di lingkungannya mengisukan
Bawang Merah sudah sering mengajak laki-laki lain. Yang teranyar isunya, Bawang
Merah sudah berbadan dua.
“Bawang Putih! Sekarang juga, cari Bawang Putih. Ia sudah
terlalu lama menghilang.”
“Di mana saya cari, Bu.”
“Entah ke mana pun kakimu melangkah.”
“Tidak bisa seperti itu, Bu. Gimana kalau kita laporkan
sama polisi?”
“Bisa juga. Silakan kau ke kantor polisi!”
Bawang Putih melaporkan adiknya.”Pak, adikku menghilang.”
“Di mana hilangnya.”
“Nah, itu yang saya tidak tahu. Justru itu yang saya mau
laporkan.”
“Sejak kapan menghilang?”
“Sudah sebulan.”
“Sebulan? Kenapa baru dilaporkan? Mestinya setelah dua
hari saja menghilang, sudah dilaporkan.”
“Sebelumnya, sudah sering pergi. Saya kira akan pulang
kembali. Tapi, setelah dua hari bahkan sampai sekarang belum juga pulang.”
“Baiklah kalau itu yang diinginkan. Nanti, saya
kordinasikan dulu. Semoga cepat tertangani. Kalau bisa, diberitakan juga di
media massa.”
“Baiklah Pak!”
Berita mulai beredar. “Telah hilang seorang remaja,
Bawang Merah. Barang siapa yang menemukan tolong menghubungi Bawang Putih atau
alamat yang tertera di bawah ini.”
Beberapa orang berpartipasi mencari Bawang Merah. Tidak
ketinggalan keluarga Bawang Merah. Berita cetak dan elektronik mewartakan. Sampai
detik ini, Bawang Merah belum juga bisa terdeteksi. Rumor beredar. Bawang Putih
bisa saja dimutilasi. Di lingkungannya, ditemukan mayat membusuk karena
dimutilasi. Diperkirakan mayat itu Bawang Merah.
Orang tua Bawang Merah melakukan tes DNA. Ternyata mayat
itu bukan Bawang Merah. Lagi-lagi ibunya pusing. “Bawang Putih! Bawang Putih!
Cari Bawang Merah! Cepaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaat!”
Berkali-kali ibu Bawang Putih memanggil namanya. Namun,
tak ada yang menjawabnya. Ibunya memasuki kamarnya. Ternyata Bawang Putih juga
menghilang.
“Apa maunya Bawang Putih? Bawang
Putiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiih! Bawang Putiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiih!” tetap
tak ada yang menyahut. Tetangga sebelahnya ditanyai juga tak bisa memberikan
jawaban yang pasti.
“Mungkin diculik, Bu.”
Orang tua Bawang Putih pingsan. Ia menjerit-jerit.
“Bawang Merah! Bawang Putih pulaaaaaaaaaaaaaaaaaaang! Jangan tinggalkan ibu,
Anakku.”
Orang-orang di negeri itu kalang kabut. Bawang Merah dan
Bawang Putih, anak-anak terpilih meskipun sering membandel. Ia pintar bergaul.
Pintar menghibur orang-orang di sekitarnya. Hampir semuanya merasa kehilangan.
Mereka sepakat mengabadikan namanya menjadi tanaman. Beramai-ramailah mereka
membudidayakan bawang merah dan bawang putih. Setiap hari, hampir semua masyarakat
di sana membicarakan tata cara mengoah tanah agar tanamannya menjadi subur. Beberapa
kali para petaninya bisa panen bawang merah dan bawang putih dengan hasil
maksimal.
“Syukur
ada Bawang Putih dan Bawang Merah. Karena kedua anak gadis itu kita bisa
menikmati tanaman bawang merah dan bawang putih. Tidak perlu lagi mengeluarkan
uang belanja untuk membeli bawang merah dana bawang putih.”
“Aku
juga merasa berhutang pada Bawang Merah dan Bawang Putih. Jika ia masih ada
pasti akan kujadikan menantu. Akan kujodohkan anakku.”
“Mana
mungkin Bawang Putih dan Bawang Merah menerima anakmu.”
“Siapa
tahu. Namanya juga usaha.”
Entah karena humus sudah berkurang, bawang
merah dan bawang putih tidak bagus lagi.
Berita di media massa kembali ramai sama seperti saat
Bawang Putih dan Bawang Merah menghilang. Para penguasa dan pengusaha
menyatakan bawang merah dan bawang putih tidak akan bisa tumbuh lagi di
negerinya. Maka, perlu bantuan dari negeri antah berantah. Para penguasa dan
pengusaha bekerja sama. Bawang putih dan bawang merah gampang diperoleh.
Pasar-pasar dipenuhi dengan bawang merah dan bawang putih. Para petani yang
dulunya petani bawang merah dan bawang putih sudah menggadaikan tanahnya
lebih-lebih pernyataan para penguasa dan pengusaha menguatkannya. Sebagai
masyarakat desa, setiap yang disampaikan oleh para penguasa dan pengusaha
ditelannya mentah-mentah.
“Sekarang kita dapat mempermainkan orang-orang goblok
ini.”
“Maksudmu?”
“Aku sebagai penguasa. Kau pengusaha. Kita berjabat
tangan untuk urusan bawang merah dan bawang putih. Biarkan bawang merah dan
bawang putih hanya sebagai cerita saja.”
“Sekarang, stok bawang merah dan bawang putih jangan
dikeluarkan. Biar harganya melambung. Dan kita bisa membagi keuntungan.”
“Sebagai pengusaha, aku setuju.”
“Tapi ingat persentasenya.”
“Oh, tentu. Nanti, akan kubagi-bagi biar tak ada yang
protes.”
“Pintar juga kau.”
Kembali bawang putih dan bawang merah menghilang,
orang-orang di negeri itu mencari-cari sisa-sisa tanaman yang masih tumbuh sambil melantunkan lagu-lagu pujian
pada bawang merah dan bawang putih: Bawang
putih kembalilah. Kami rindu suaramu. Kami rindu ceriamu. Tumbuh dan tumbuhlah
sebagai anak yang santun. Kembalilah Bawang Putih! Kembalilah Bawang Putih!”
Entah
karena lagu atau karena rasa cintanya pada Bawang Putih dan Bawang Merah. Kedua
tananam itu tumbuh subur. Tidak ada yang berani mengganggunya. Daun-daunnya
yang menghijau tidak ada yang memetiknya. Kalau dulu, masih sempat membuat
sayur daun bawang. Sekarang, sebagai penghormatan, tidak ada yang berani
bermain-main.
“Nanti, akan kujadikan bibit bawang ini.”
“Aku lain lagi, aku berharap dengan tananam ini Bawang
Putih dan Bawang Merah bisa kembali ke negeri ini.”
“Aku juga seperti itu. Ayo kita rawat dan jaga tananam
yang kecil ini!”
Pertumbuhan bawang putih dan bawang merah mengganggu
ketenangan para penguasa dan pengusaha. Kembali diisukan bahwa tanah yang
ditanami bawang putih dan bawang merah akan disulap menjadi perumahan.
Tanah-tanah yang dikelola oleh masyarakat itu katanya milik negara. Para petani
mesti segera mengosongkan dan meninggalkan desanya tanpa ada uang pengganti.
“Gimana ini? Tanah kita akan diambil.”
“Kita protes beramai-ramai.”
“Pada siapa kita protes.”
“Ya, penguasa dan pengusaha itulah kita protes.”
“Kita rakyat kecil. Suara kita amat kecil.”
“Tapi, kita tak boleh menyerah. Menyerah berarti
bertanding sebelum kalah.”
“Baiklah! Aku setuju.”
Masyarakat desa itu itu mendatangi DPR mendatangi
anggotanya.
“Berikan kami hidup! Tanah ini sudah kami tempati bertahun-tahun.
Nenek, kakek kami juga mengelola tanah ini.”
Anggota dewan yang terhormat itu tidak ada yang keluar.
Satpam mengatakan sedang kunjungan kerja ke negeri asing. Katanya lagi sedang
menjajagi budidaya tanaman bawang putih dan bawang merah. Masyarakat desa itu
melanjutkan demonya ke kantor bupati, ke gubernur, ke presiden. Tak ada jawaban
yang menggembirakan.
“Rasain. Tanahmu akan kujadikan lapangan golf. Nanti para
penguasa dan pengusaha bisa menikmati daerahmu dengan suka cita. Akan kubuatkan
makanan khas rasa bawang merah dan bawang putih biar lidahnya bisa
menari-nari.”
Tanah masyarakat desa itu diratakan. Alat-alat berat
didatangkan. Teriakkan dan tangisan tak ada yang mendengar. Berubahlah wajah
desa itu menjadi lapangan golf yang tampak asri. Banyak penguasa dan pengusaha
datang silih berganti. Setiap minggu, ramai menikmati permainan.
“Kau memang hebat. Tak salah kita berjabat tangan.”
“Orang-orang bodoh. Jika tanaman itu subur, kita tak bisa
seperti ini. Setiap usaha rakyat yang mengganggu ketenangan, kita ambil alih
mungpung lagi berkuasa.”
“Itulah kita. Manusia-manusia hebat. Bisa mengatur negeri
ini.”
Siang itu, entah kenapa wajah-wajah penguasa dan
pengusaha itu berubah menjadi Bawang Merah dan Bawang Putih. Orang-orang desa
yang kehilangan Bawang Merah dan Bawang Putih tersentak kaget.
“Pasti ini pelakunya! Pasti ini pelakunya! Aku yakin
mereka sengaja menghilangkan jejak Bawang Putih dan Bawah Merah. Ayo kejar
mereka! Kejaaaaaaaaaaaaaaaaaar!” Penguasa dan pengusaha itu terbirit-birit
seperti tikus comberan yang berusaha menyembunyikan dirinya.
Labels: Cerpen