Berguru pada Rembulan dan
Matahari
Cerpen IBW Widiasa Keniten
Mencari guru tidak mudah. Menerima
murid juga tidak mudah. Ia harus diuji. Jika bisa melewati ujian, barulah
diterima. Aku salah satu yang gagal dalam melewati beberapa ujian. Kuputuskan untuk mencari guru sendiri. Aku mengadu pada
matahari. Aku mengadu pada rembulan.
“Matahari, kau sebagai saksi siang
hari sudah melihat kegagalanku mencari guru. Kau mesti memberikan jawaban.”
Malam juga kumengadu. “Rembulan, kau
saksi malam hari. Kau mesti bisa mencarikan jalan keluar. Apa kau mau hidupku
tanpa guru? Tentu tidak,” jawabmu. “Kalau tidak bantulah aku.”
Kedua sinar itu tak ada yang
menjawab. Aku tak mau putus asa. Putus asa tidak akan memberikan harapan.
Kutatap wajahnya setiap pagi. Kutatap wajah rembulan setiap malam. Keduanya
terkadang tersenyum terkadang murka. Aku
tak peduli. Toh keduanya jauh di atas sana. Tak mungkin akan menuruniku.
Jika matahari dan rembulan mendekatiku bukan hanya aku saja yang terbakar atau
tertimpa rembulan.
“Apa maumu, Nyoman?”
Aku membalikkan wajahku. Aku tak
bisa berkata sepatah pun. Kulihat seperti wajah matahari di hadapanku. “Kenapa
tak panas?” bisikku. “Maaf siapa kau?”
“Aku matahari yang kau tatap setiap
pagi.”
“Ah, aku tak percaya. Matahari
panas, sedangkan kau biasa-biasa saja.”
“Baiklah!”
Tiba-tiba panas memancar dari
tubuhnya. Ia membakar tubuhku. Kulit dan tulang belulangku hancur menjadi abu.
“Gimana, percaya tidak aku ini Matahari?”
Aku menyembah berkali-kali. “Kau
memang matahari. Tapi, kalau aku menjadi abu, aku tak bisa menatapmu setiap
pagi. Lagi pula aku tak bisa berguru padamu.”
“Baiklah!”
Ia kembalikan wadagku seperti semula.
Kugerak-gerakkan badanku tak ada yang kurang.
“Sekarang terimalah aku sebagai
muridmu.”
Ia tertawa.”Aku bukan guru. Aku matahari
yang hanya bisa membakar dan menyinari alam ini.”
“Tapi, aku sudah berjanji akan
menjadikanmu guru. Itu sudah tekadku sedari dulu. Semua guru tak mau
menerimaku. Katanya tak pantas diterima murid sepertiku.”
“Baiklah! Kalau itu keinginanmu. Aku
menerimamu.”
Aku merasa suka cita. Matahari bisa
menjadi guruku. Aku datangi setiap hari lebih-lebih pada hari-hari suci. Ia
berterima kasih karena aku satu-satunya siswa yang paling aneh. Aku berani
protes. Berani menentang. Matahari suka jika aku berdebat padanya.
Aku bertanya hal-hal yang menurutku
konyol. “Kenapa sinarmu panas?”
“Dengan panas bisa membakar. Bisa menghidupkan,
sekaligus bisa menghancurkan “
“Maksud Guru?”
“Matahari membakar pikiranmu yang tidak
baik menjadi kembali menyadari hakikat kemanusiaan.”
“Syukurlah! Guru bakarlah pikiranku.”
Guruku tertawa. “Yang bisa membakar
bukan diriku. Tapi kau yang bisa membakar.”
“Waduh mana mungkin? Aku bukan
matahari.”
“Coba kau tarik nafas kesadaranmu! Kau
panaskan pikiran-pikiran hitammu. Pasti kau akan menghirup bau tak sedap.”
Aku mencobanya. Ternyata benar. Bau
busuk keluar dari pori-pori kulitku. Baunya menyebar menyesakkan nafasku. Aku
pingsan. Guru Matahari menghilang. Aku merasakan gelap gulita. “Guru! Guru!
Guruuuuuuuuuuuuuuuu!” teriakku berulang-ulang. Guru Matahari tak muncul-muncul.
Aku yakin guruku marah besar karena bau busuk dari tubuhku mengganggu
pernafasannya. Aku menyesali diri. Kenapa bau busuk subur di tubuhku?”
Sebagai manusia yang ingin belajar
banyak, aku tanyakan pada Guru Rembulan. Guru Rembulan agak ramah. Jarang
kulihat marah. Adem dan selalu memberikan kesejukan.Setiap kata-katanya bahkan
perilakunya banyak dipuji-puji.
“Guru,”sapaku penuh hormat.
“Ada apa muridku?”
“Boleh aku mengganggu ketenangan Guru?”
“Memangnya selama ini guru pernah
memarahimu?”
“Tidak! Tapi aku takut.”
“Kenapa mesti takut. Jika ingin belajar
tak usah takut. Takut salah satu dari musuh yang sengaja menghambat kemajuan.”
“Begini Guru. Kenapa tubuhku berbau
busuk sekali?”
Guru Rembulan tersenyum. Senyumnya
memberikan kesejukan di hatiku.
“Anakku. Pernahkah kau menghitung berapa
kali kau berbohong pada dirimu setiap hari?”
“Sama sekali tidak pernah. Jangankan
menghitung kebohongan. Menghitung kebaikan juga tidak pernah.”
“Katakanlah dalam satu hari kau
berbohong tiga kali. Sekarang, kalikan rata-rata 30 hari. Berarti 90 kebohongan
dalam sebulan. Sekarang, 90 kebohongan dikalikan 365 hari atau dalam satu
tahun. Berarti 32.850 kebohongan. Lantas kau hanya sekali saja berbuat
kebaikan. Wajar tubuhmu berbau busuk.”
Aku menjadi ngeri saat mendengar
kata-kata Guru Rembulan.”Pantas Guru Matahari meninggalkanku,” bisikku. “Apa
yang mesti aku lakukan Guru?”
“Ya, berhenti berbohong.”
“Tapi, Guru rasanya susah aku melakukan
hal itu.”
“Kalau susah, biarkan saja tubuhmu
dikerubuti kebohongan.”
“Aku tak mau Guru. Jika aku mati nanti,
pasti banyak lalat, ulat yang menikmati tubuhku.”
“Ya tentu saja karena bau busukmu.”
Kulihat Guruku damai-damai saja. “Guru
ada tidak jalan yang paling sederhana?”
“Ada.”
“Bisa Guru beri sedikit saja.”
“Kau mandi saja dengan air kejujuran.
Sirnalah kebusukanmu.”
“Lho, gampang sekali Guru mengatakan.”
“Memangnya ada yang susah dijalankan.”
Semenjak itu, aku mulai setiap pagi berlaku
jujur, berkata jujur, berpikir jujur. Teman-temanku memanggilku siswa jujur.
Saking jujurnya, aku diperdaya. Maling memasuki sekolah kejujuranku. Aku
ditanyai. “Di mana letak brankas sekolahmu?”
Kujawab jujur. “Di sana di samping
ruangan guruku.”
“Terima kasih,” jawabnya.
Dengan mudahnya ia mencongkel brankas.
Aku melongo. Maling-maling itu dengan suka cita membisikiku.”Kau memang jujur.
Terima kasih.”
Besok paginya aku diinterograsi oleh
polisi. Kukatakan sejujur-jujurnya. Polisi geleng-geleng. “Kau mesti bisa
menempatkan kejujuran. Jika sudah tahu orang jahat, jangan berlaku jujur.
Gimana kalau nyawamu diambil? Apakah kau akan mempersilakan?”
Kembali aku dipusingkan oleh ulahku
sendiri. Aku mengadu pada Guru Rembulan.
“Guru. Aku sudah jujur. Kenapa berbalik
aku kena akibatnya.”
“Ya. Karena kau tak bisa menempatkan
kejujuran.”
“Waduh. Tambah pusing aku ini. Berbuat
jujur berisiko. Apalagi tak jujur lebih berisiko.”
Aku duduk menyendiri. “Mendingan memetik
daun biar tenang,” bisikku. Setiap daun, kutulisi kata jujur. Hampir puluhan
daun kutulisi. Setelah kutulisi, kuhanyutkan. Tiba-tiba datang pencari ikan membawa
daun-daun yang kutulisi tadi. Tak kusangka ia mengendong daun-daun itu. “Ini
daun yang kau hanyutkan. Terima kasih. Berkat kau, aku mendapatkan banyak ikan.
Lihat ikan-ikan ini di tubuhnya tertulis kata jujur. Nanti akan kumasak. Akan
kujadikan pepes dan kubagi-bagikan pepesnya biar yang dimakan kejujuran.”
Aku melongo. Pencari ikan itu ngeloyor pergi.
“Pak!Pak! Kembalikan kejujuran itu!” Pencari ikan
tak mempedulikan kata-kataku. Ia terus pergi. “Dasar manusia ingin enaknya
sendiri.”
“Siapa yang kau umpat?”
Aku membalikkan tubuhku. Kulihat Guru Matahari
tersenyum ramah. “Guru! Maafkan aku tak bisa menyambut Guru.”
“Sedari tadi, aku melihat kelakuanmu agak jujur.”
“Tapi, karena kejujuran, aku diperdaya.”
“Ah, guru tak percaya.”
“Buktinya, aku diolok-olok. Bukankah kejujuran bisa
membahayakan.”
“Itu hanya perasaanmu saja.”
“Bukan Guru. Waktu ini, brankas digasak maling
karena aku jujur.”
“Itu hanya sebagian kecil dari kejujuranmu. Guru
yakin kau tak berbau busuk sekarang ini.”
“Tak mungkin Guru. Pasti lebih busuk.”
“Tadi, kau bisa memberikan kejujuran pada pencari
ikan. Sudah puluhan kejujuran kau berikan pada sesama. Boleh aku membakar
tubuhmu sekarang ini?”
“Oh, jangan Guru.”
“Nah, itulah buktinya. Kau sudah semakin jujur. Kau
takut dibakar karena kau jujur takut.”
“Waduh semakin puyeng aku Guru.”
“Siswa yang jujur memang sering pusing. Pusing
karena melihat ketidakjujuran.”
“Sudahlah Guru. Aku tak bisa menerima perkataan Guru
yang kupikir agak aneh.”
“Kalau gitu, Guru pergi.”
“Jangan Guru. Jangan pergi! Jika Guru pergi, siapa
yang menyinariku.”
Guru Matahari menatapku.”Kau memang muridku yang
jujur. Dalam hatimu, akan bersinar kejujuran. Walau kau susah, usahakan selalu.
Guru akan selalu dekat di hatimu.”
Aku mengejap-ngejapkan mataku.
“Guruuuuuuuuuuuuuuuuu! Jangan pergiiiiiiiiiiii!”
Istriku menepuk-nepukmu. “Kau mengigau. Makanya
jangan tidur terlalu malam.”
“Ke mana Guru, Bu?”
“Guru siapa?”
“Guru Matahari dan Rembulan.”
“Dasar Suami pembual. Mana ada Guru Matahari dan Rembulan.
Ayo sana cuci muka dan ngopi sekalian.”
Aku seperti sapi dicocok hidungnya. Tapi, di hatiku
bertanya-tanya apa benar Guru Matahari dan Rembulan hadir di hatiku.”
Labels: Cerpen