Kisah-kisah Masa Kecil
Judul
Buku : Gancaran Mersun
Penulis : Wayan Paing
Penerbit : Pustaka Ekspresi, 2012
Tebal : 55 Halaman
Wayan Paing sebagai salah seorang
guru di SDN 6 Bunutan dan seorang penulis produktif mengumpulkan karya-karya
prosanya (gancaran) dalam satu buku dengan mengambil salah satu prosanya,
“Mersun”. Kumpulan prosa ini memuat 18
prosa. Prosa-prosa dalam “Mersun” ini hampir
semuanya pernah dimuat di dalam Bali
Orti.
Ciri khas dari prosa Wayan Paing
mengisahkan masa kecil masyarakat pedesaan dengan segala suka-dukanya. Sebagai seorang
guru, Wayan Paing menyisipkan nilai-nilai pendidikan moral, budi pekerti dalam
prosa-prosanya. Tidak sakadar prosa biasa, prosa yang di dalamnya mengisahkan
nilai-nilai pendidikan yang sekarang ini sudah mulai terkikis.
Wayan Paing secara tidak langsung ingin
menyampaikan beberapa media sosial kemasyarakatan bisa dijadikan ajang
menularkan, meneruskan, dan mengaplikasikan nilai-nilai pendidikan yang
diwariskan oleh para leluhur. Paing mengajak pembaca untuk mengenal lebih dekat
budaya yang bisa dijadikan media pembelajaran. Media-media itu misalnya, mejuug ‘mengumpulkan hasil usaha
selanjutnya dibagi rata’ Mersun ‘mandiri’
matelisi ’menabung bersama’. Meski untuk anak-anak masa sekarang, media itu
sudah jarang dilakukan. Paing mendokumentasikan budaya lokal yang mengedepankan
masyarakat desa yang masih komunal-agraris.
Dunia anak-anak penuh dengan
keceriaan, kegembiraan, kekeluargaan, serta kerja sama untuk saling berbagi antarsesama
diungkapkan oleh Paing amat menarik untuk dicermati. Paing mengisahkan sebuah
keluarga desa yang harmonis dengan pola pikir yang sederhana, kerja keras, suka
berbagi, saling membantu. Sebuah keluarga desa tidak banyak permintaan . Tokoh menyadari
hidupnya serba paspasan yang utama bisa melanjutkan sekolah: ....Ngawit Somané jani, da ja mabekel
pipis ka sekolahan. I mémé lan i bapa tusing nyidaang munduhang bekel masuk
wiréh masan-masan maayahan lan maurunan lakar nyanggra odalané. Tiang ajak
tatelu suba masi nyanggupin (hlm.17). (Mulai
Senin ini, jangan minta uang jajan ke sekolah. Ibu dan ayah tidak bisa
mengumpulkan uang sekolah karena masa-masa melaksanakan tugas adat dan
mengeluarkan uang untuk menyambut upacara. Saya bertiga sudah menyetujui). Keluarga
desa memiliki cita-cita maju meskipun perekonomiannya serba kurang.
Usaha ketiga anak ini patut dicontoh.
Tanpa uang jajan berusaha belajar agar bisa maju. Satu pesan dari ibunya
meskipun tidak membawa uang jajan jangan sekali-kali meminta pada orang lain.
Bagi seorang ibu, perbuatan minta-minta itu tidak bagus agar tidak menjadi
kebiasaan....”yadiastun tusing mabekel.
Da pesan natak tekén timpalé ané mablanja. Lek mémé nepukin. Tiang ajak tatelu
manggutan (hlm. 18). (meskipun tidak membawa uang jajan. Jangan meminta
pada temanmu yang berbelanja. Malu ibu melihat. Saya bertiga mengangguk).
Pesan-pesan moral yang disampaikan
oleh Wayan Paing cukup menarik. Kemandirian, tidak suka minta-minta, saling
berbagi diawali dengan kerja keras patut menjadi renungan karena dalam
keseharian sikap-sikap meminta yang bukan haknya sering terjadi. Hal ini
dipandang kurang bagus.
Tokoh-tokoh yang dihadirkan Paing
sesuai dengan latar pedesaan yang komunal-agraris muncullah kata-kata bréngbéng ‘jurang’ damar ‘lampu’ oncor ‘
obor’ unuh ‘mencari sisa’ lemek ‘subur’ resik ‘bersih’ piling ‘
kincir dari bambu’. Kata-kata ini amat jarang digunakan dalam komunikasi
keseharian dewasa ini.
Sebagai sebuah prosa yang
mengisahkan masa kecil, tokoh tiang ‘saya’ mendapat porsi yang lebih.
Cuma, Paing belum membandingkan kehidupan anak-anak desa dengan kehidupan
anak-anak zaman sekarang yang lebih banyak dimanjakan dengan dunia maya. Paing rasanya perlu mengungkapkan dunia anak-anak
desa yang sudah dipengaruhi oleh teknologi sehingga terlihat perubahan
pandangan dan pola pikir anak-anak desa.
Buku prosa (gancaran) ini amat layak
dibaca oleh pendidik, peserta didik, pecinta sastra dan bahasa Bali, masyarakat
umum jika berkeinginan mengetahui kisah anak-anak pedesaan yang ingin maju
dengan segala tingkah polahnya yang menggelitik. Pola pikir, harapan anak-anak desa tergambar
dalam prosa (gancaran) Mersun ini.
IBW Widiasa Keniten
Labels: Resensi