Negeri
Subak
Oleh IBW
Widiasa Keniten
Darmawangsa
merasa tidak enak pada rakyatnya. Rakyat baginya lebih utama dibandingkan
dengan kekuasaan yang dipikulnya. Ia malu saat beberapa rakyatnya tidak bisa
melanjutkan produksi tempe, tahu dan beberapa makanan kecil hanya gara-gara
kedelai. Lebih malu lagi, Hastinapura dulunya dikenal swasembada pangan
tiba-tiba rontok. Bahkan kesan kemiskinan menghiasi kehidupan rakyatnya.
Kesejahteraan hanya sebuah mimpi yang seakan-akan susah untuk diraihnya.
Negeri
tempe sebagai ikon Hastinapura rontok. Negeri gemah ripah lohjinawi tiba-tiba tak memiliki kedelai. Terus ke mana
swasembada dulu? Apakah hanya sebagai obat penenang agar tampak makmur padahal
kemiskinan menjadi sahabat setia kehidupan?
Darmawangsa
memangil semua adik-adiknya, sahabat-sahabatnya. “Adik-adikku. Sudahkah kau
dengar suara rakyatmu?”
“Suara
apa, Kakak?” tanya Bima, Arjuna, dan Nakula-Sahadewa.
“Rakyat
kita tidak bisa melanjutkan produksinya hanya gara-gara tidak ada kedelai.
Beberapa usaha bahkan ada yang gulung tikar. Adikku pasti sering melihat tahu
dan tempe menjadi sahabat dari nasi rakyat kita. Kakak lihat kedelai hilang di
pasaran. Harganya pun melonjak tinggi.”
Keempat
adik Darmawangsa saling tatap. Mereka selama ini telah melupakan rakyat
kecilnya. Terlalu sibuk dengan kesenangannya masing-masing. Bima jarang makan
tempe apalagi tahu. Ia sukanya serba instan dan berkalori tinggi. Daging paling
utama. Arjuna lain lagi. Ia sukanya piknik ke negeri lain. Lupa dengan negeri
sendiri. Katanya studi banding. Entah apa yang dibandingkan. Nakula-Sahadewa
sibuk dengan kuda-kudanya. Sering ke salon untuk merias wajahnya hingga lupa
merias negerinya. Hampir setiap minggu mengadakan lomba busana.
Keringat
dingin meleleh di tubuh adik-adik Darmawangsa. Mereka merasa bersalah telah
melupakan kepercayaan rakyat yang diembannya. Saat pemilihan dulu, keempatnya
berjanji akan menjadikan Hastinapura lebih makmur, subur, tidak ada impor
kebutuhan pokok. Nyatanya hanya indah didengar tak seindah setelah menduduki
jabatan.
“Apa
yang sudah Adikku lakukan terhadap keluhan rakyat kita?”
Satu
pun tak ada yang menjawab. Keempatnya menunduk. Ketegaran wajah tidak terlihat
lagi. Bima dengan suara lantangnya mengakui kesalahannya. “Kakak, maafkan Bima.
Bima telah lupa terhadap tanggung jawab yang Kakak berikan. Bima telah
melupakan rakyat kecil.”
Arjuna,
Nakula-Sahadewa pun berani mengakui kekeliruannya. “Maafkan Arjuna, juga
Nakula-Sahadewa. Kami terlena dengan pujian dari negeri-negeri lainnya. Barulah
hamba menyadari ternyata pujian tidak selalu sama dengan kenyataan.”
“Terus
apa yang mesti kita lakukan agar rakyat menjadi lebih makmur?”
Bima
mengacungkan tangannya.”Akan Bima datangi dulu sawah-sawah yang dulunya
produktif, Kakak. Bima meyakini ada yang tidak benar dengan sawah-sawah kita.”
Bima
disertai dengan adik-adiknya menyamar. Keempatnya berlaku seperti petani. Tak
ada yang mengenalnya.
“Beginilah
nasib kita sekarang. Pupuk mahal, obat-obatan mahal, saat produksi harganya
murah. Yang paling menyedihkan sawah-sawah kita sudah dikepung oleh investor. Jalur
air sudah tak selancar dulu. Subak kita tidak seproduktif dulu lagi. Lama-lama
bisa menjadi sawah beton.”
“Benar,
Ayah. Pemimpin kita jarang memikirkan tentang pertanian. Padahal, perutnya
hanya akan bisa membuncit kalau ada hasil dari sawah. Apakah mereka akan makan
beton nantinya?”
“Terus
maumu apa?”
“Paling
tidak ada aturan yang jelas tentang subak. Sawah-sawah jangan diubah menjadi
kawasan perumahan. Aku yakin nanti air pun akan sulit kita dapatkan. Aku dengar
di hulu sungai hutannya sudah rusak. Penggalian pasir batu terus dilakukan.
Bisa jadi kita akan kelaparan. Buktinya sekarang, kedelai yang pernah surplus
tak pernah kita alami lagi.”
Bima,
Arjuna, Nakula-Sahadewa baru tersentak. Ternyata banyak ketimpangan yang
dialami rakyatnya. Rakyat kecil tak berani protes. Keempatnya kembali menghadap
Darmawangsa.
“Gimana
Adik-adikku?”
“Kita
telah kecolongan Kakak.”
“Kecolongan
gimana?”
“Beberapa
sawah telah berubah menjadi perumahan. Di samping itu, harga pupuk, obat-obat
pertanian semakin mahal. Yang paling menyedihkan hutan-hutan kita banyak yang
ditebang. Debit air terus mengecil. Terjadi pengundulan hutan.”
“Terus
apa usaha Adikku?”
“Akan
saya cari pembeli tanah-tanah sawah kita. Aku yakin ada perbuatan terselebung
di dalamnya. Jika rakyat kecil miskin, ia akan mudah dihasut. Jika hal ini
terjadi, niscaya keamanan negeri ini terancam. Kakak juga perlu membuat perda
tentang hutan, perda Subak, perda air. Dan berani bertindak jika ada yang
melanggarnya.”
“Terima
kasih Adik-adikku. Kakak berusaha menjadi pemimpin yang mengasihi rakyat bukan pemimpin
untuk melanggengkan kekuasaan. Kesejateraan rakyat sebagai tolok ukur seorang
pemimpin berhasil. Kakakmu ini malu jika
pemimpinnya berpoya-poya sementara rakyatnya kelaparan.”
Adik-adik
Darmawangsa saling mengangguk. “Kami setuju Kakak.”
“Terima
kasih. Ayo, kita berjuang Adik-adikku demi kesejateraan rakyat.”
Labels: Kisah-kisah Wayang