Petani
Indraprasta
IBW Widiasa Keniten
Sawah
Indraprasta memang dikenal subur dan makmur. Para petaninya mengolah pertaniannya
dengan memadukan teknologi pertanian dengan adat kebiasaan yang diterimanya
secara turun-temurun. Hampir tidak pernah para petaninya mengeluh. Sawah-sawahnya
ditatanya secara terasering. Indah kelihatannya. Banyak para pelancong yang
tertegun melihat keindahan sawah-sawah di Indraprasta.
Kotoran
sapi diolahnya dijadikan pupuk organik. Jerami-jerami diolahnya menjadi kompos.
Hampir tidak ada yang terbuang. Lenguhan kerbau dan sapi menambah semangat para
petani di Indraprasta untuk mempersembahkan yang terbaik. Pada saat-saat
tertentu utamanya pada hari raya suci, para petani mempersembahkan sesajen
sebagai ungkapan atas karunia Hyang Widhi pada umatnya. Kegembiran tersirat di
hati para petani. Ada yang melantunkan geguritan sebagai ucapan syukurnya.
Kedamaian dan keindahan seakan menyatu dalam keseharian hidupnya.
Mata
air yang berada di hulu sungai dirawatnya seperti merawat hatinya. Tak pernah
sampai debitnya berkurang. Pohon-pohon yang tumbuh di samping kanan-kirinya
dijaganya seperti menjaga pikirannya agar tak terkotori oleh
keinginan-keinginan. Tak ada yang berani menebangnya. Dibiarkan tumbuh subur sesubur
jiwanya. Pohon beringin, beberapa pohon lain dan juga bambu dijaganya. Beragam
bambu tumbuh di tebing sungai. Di samping untuk menahan longsoran tanah juga
menambah asrinya sungai. Liukan ujung bambu seperti mengucapkan terima kasih
karena dijaga dengan cinta kasih. Darmawangsa memang memberikan rakyatnya
mencari bambu kalau ada upacara besar. Kalau tidak, tidak boleh menebang.
Itupun kalau bambu yang sudah berusia tua. Tidak sembarangan bambu bisa
diambil.
Suara
sunari memanggil-manggil burung pipit agar mendekat. Beberapa burung
meliuk-liukkan tubuhnya mengitari sawah-sawah di Indraprasta. Para petani
tersenyum melihat tarian para burung. Mereka juga memelihara burung hantu. Burung
hantu memang musuhnya tikus. Malam-malam terdengar burung hantu mengintai
musuhnya.
Darmawangsa
suka-cita melihat rakyatnya bisa menikmati hidupnya. Sebagai raja yang arif dan
bijaksana, Darmawangsa membangun koperasi pertanian. Hasil-hasil pertanian
lebih-lebih saat musim panen tidak lagi jatuh ke tangan tengkulak, tetapi
dibeli oleh koperasi. Para petani pun senang karena tak pernah khawatir akan
kelangsungan hidupnya. Keuntungan yang diperoleh koperasi juga menjadi keuntungan
para petani. Wajarlah anak-anak petani
yang bisa melanjutkan pendidikannya. Di samping itu, Darmawangsa juga membangun
sekolah khusus untuk anak-anak yang kurang mampu. Giri Ulangun nama sekoahnya.
Giri simbolis dari ketegaran, kekuatan. Ulangun bermakna ‘keindahan’. Lewat
pendidikan, agar tumbuh keindahan-keindahan yang sejati hingga bisa bertemu
dengan yang Mahaindah. Tak ada yang dipungut bayaran. Pikirannya sederhana
saja. Tidak ada sebuah negeri bisa maju tanpa pendidikan yang unggul. Tidak
jarang anak-anak para petani yang memiliki kemampuan lebih dibandingkan dengan
anak-anak kota.
Meski sudah cukup maju,
Darmawangsa tidak cepat merasa berhasil. Ia seorang raja yang selalu mendengar
suara rakyat. Semua rakyatnya dihormati dan dihargai. Di sebelah timur negerinya
masih ada lahan yang kering. Darmawangsa ingin menyulap lahan kering menjadi
lahan yang subur makmur seperti sawah-swah yang sudah tertata dengan cukup
baik. Dipanggilah adik-adiknya. Bima, Arjuna, Nukula-Sahadewa.
“Adik-adikku berempat ada yang
perlu kakak sampaikan.”
Keempatnya saling lirik. Rasanya
tak pernah kesalahan yang dilakukannya selama ini. “Adikku. Kakak belum merasa
puas dengan kemajuan para petani kita. Masih ada yang perlu kita bangun di
negeri ini. Kita tidak boleh berpikir bahwa membangun itu hanya sekali sudah
selesai. Membangun negeri ini berkesinambungan, Adikku. Kakak ingin kalian
memberikan masukan agar lahan kering di timur Indraprasta ini bisa diubah
menjadi lahan yang subur makmur.
“Aku punya ide Kakak,” sahut
Nakula sahadewa. Keduanya memang paham dalam bidang peternakan karena saat
penyamaran dulu. Keduanya ditugasi mengembalakan kuda.
“Apa idemu, Nakula-Sahadewa?”
“Akan kuajari mereka beternak
sapi yang benar. Kotoran sapi dan pakan ternaknya diolah oleh para petani dan
ada kelompok petani. Bila perlu dibuatkan kandang yang permanen. Siapa tahu ada
pelancong yang tertarik saat melihat kandang kita bagus. Mereka bisa
berkeliling melihat peternakan.”
“Bagus sekali idemu Nakula
Sahadewa.”
“Terus Arjuna apa idemu?”
“Akan kuajari mereka seni tari
dan gending-gending. Setelah mereka selesai bekerja, malamnya, waktunya
digunakan untuk mengolah rasa. Budaya kita akan tetap terjaga.”
“Bagus idemu, Arjuna. Terus kau
Bima apa idemu?”
“Sebagai belawa, kujari mereka
mengolah makanan. Makanan khas Indraprasta bisa dikemas secara lebih baik. Tidak
seperti sekarang masih konvensional. Nanti kita jual ke negeri seberang tidak
hanya untuk negeri Indraprasta.”
Darmawangsa merasa bersyukur
memiliki adik-adik yang mau bertukar pikiran dan bersedia memberikan masukan
demi kemajuan negerinya.
“Sekarang mulailah bekerja.
Karena waktu amat berharga bagi kita.”
“Baiklah Kakak. Kami akan
membangun negeri Indraprasta.”
Para petani lahan kering merasa
berbangga karena diperhatikan oleh pemimpinnya. Mereka bersyukur memiliki raja
yang peduli terhadap para petani.
Labels: Kisah-kisah Wayang