Strukturalisme Genetik
Cerpen “ Blagbag “
Karya Gede Aries Pidrawan
Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten
Abstrak: Cerpen “Blagbag (Pasung) karya Aries Pidrawan
sebuah cerpen yang baik meskipun bukan merupakan karya besar. Tokoh-tokoh yang
ditampilkan sesuai dengan latar belakang sosialnya sehingga cerpen ini menjadi
padu. Kepaduan itu terlihat dari penokohan yang diungkapkan oleh pengarang. Tokoh
dan penokohan menyiratkan pandangan pengarang terhadap kehidupan sosial
masyarakat. Pengarang masih melihat adanya ketidakbebasan perempuan desa
sehingga diperlukan sebuah perubahan yang ditawarkan oleh pengarang dengan
menghadirkan tokoh psikiater. Strukturalisme genetik sebagai pendekatan dan juga sebagai metode digunakan dalam menganalisis cerpen “Blagbag”. Strukturalisme genetik
mengkaji karya sastra dalam kaitannya dengan ide atau gagasan pengarang dengan
kehidupan sosial masyarakat. Strukturalisme genetik berjalan bolak-balik dari
teks ke konteks dan kembali ke teks. Secara strukturalisme genetik, cerpen “Blagbag” menyiratkan ide atau gagasan
pengarang terhadap keterikatan yang dialami tokoh perempuan. Perempuan perlu
mendapatkan tempat yang sejajar sehingga kesetaraaannya dapat terwujud.
Kata kunci : strukturalisme
genetik, penokohan, pandangan dunia sosial
I.Pendahuluan
1.1
Latar Belakang
Sebuah karya sastra
dibangun oleh unsur-unsur yang saling berkaitan. Unsur-unsur itu merupakan satu-kesatuan. Unsur-unsur dalam
karya sastra seperti tema, alur, setting, penokohan, tokoh, saling berkaitan. Unsur-unsur di atas
diistilahkan dengan unsur struktural sebuah karya sastra.
Sebuah karya sastra menurut kaum
strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensi oleh
berbagai unsur pembangunnya. Analisis struktural dilakukan dengan
mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur
intrinsik fiksi (Nurgiantoro, 2010:37). Akan tetapi, analisis struktural yang
menekankan pada otonomi karya sastra dipandang memiliki kelemahan. Hal ini
disebabkan analisis struktural melepaskan latar belakang sosial dan budaya
sebuah karya sastra diciptakan. Untuk itulah, Goldmann memberikan alternatif
dengan strukturalisme genetik yang menekankan pada konsep “lingkaran
hermeneutika” dalam bentuk “bagian yang menjelaskan keseluruhan dan keseluruhan
yang menjelaskan bagian-bagian” dan prinsip “pemahaman-penjelasan” (Anwar, 2010:115).
Bagi Goldmann, karya sastra adalah
bagian dari sebuah keseluruhan yang lebih besar. Maka, karya sastra dipahami
secara dialektika. Pertama adalah memahami bagian-bagian yang menyusun sebuah
keseluruhan karya sastra. Kedua memahami karya sastra sebagai bagian dari
keseluruhan yang lebih besar. Faruk (1994) menyatakan bahwa pemahaman adalah
usaha untuk mengerti identitas bagian, sedangkan penjelasan adalah usaha untuk
mengerti makna dari bagian-bagian itu dalam fungsinya pada sebuah keseluruhan yang
lebih besar (Anwar, 2010:116). Secara teoretik, strukturalisme genetik
menyatukan antara analisis struktural karya sastra dengan analisis sosiologis
terhadap karya sastra.
Strukturalisme genetik lebih
menekankan pada pemikiran pengarang dalam menciptakan karya sastra. Tanggapan, pandangan,
sikap pengarang akan terlihat di dalam tokoh-tokoh yang diciptakan oleh
pengarang. Secara tersirat pengarang memasukkan ide, pandangan,dan sikapnya
terhadap kondisi sosial pada tokoh-tokohnya. Tokoh-tokoh inilah yang bergerak
sesuai dengan alur cerita yang diciptakan oleh pengarang. Konfilk batin dan
sosial tokoh bisa mewakili sikap, pemikiran, dan pandangan pengarang terhadap
masalah-masalah sosial. Dengan demikian, seorang pengarang tidak berdiam diri
dalam melihat masalah-masalah sosial. Keterkenan tokoh akan digambarkan melalui
penokohan. Penokohan secara tidak langsung menggambarkan situasi sosial yang dirasakan,
dipikirkan oleh pengarang. Pengarang mengintroduksinya ke dalam beberapa
penokohan-penokohan dalam cerpen.
Berdasarkan uraian di atas, akan
dicoba menganalisis cerpen “Blagbag”
(Pasung) karya Aries Pidrawan. Cerpen ini dirasakan agak unik karena di
dalamnya ada unsur mengekang kebebasan seorang perempuan. Seorang perempuan
yang dipasung dapat ditafsirkan sebagai pengekangan terhadap martabat seorang
perempuan. Aries Pidrawan sepertinya menunjukkan bahwa masih ada perempuan yang
diperlakukan tidak adil atau harkat dan martabatnya belum dihargai sesuai
dengan harapan Aries Pidrawan.
Untuk mendapatkan gambaran secara
menyeluruh akan dianalisis terlebih penokohannya selanjutnya dianalisis
strukturalisme genetiknya. Penggunaan metode dialektika strukturalisme genetik
menjembatani kekeringan dalam menggunakan analisis struktural. Dengan demikian,
akan ditemukan kaitan antarstruktur dan kaitan struktur dengan sosialnya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
masalah yang dikaji adalah 1) Bagaimanakah penokohan cerpen “Blagbag” (Pasung) karya Aries Pidrawan?
2) Bagaimanakah pandangan dunia sosial yang melatarbelakangi cerpen “Blagbag”
(Pasung) karya Aries Pidrawan ?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan masalah di atas, maka
tujuan dari penelitian ini adalah 1) untuk mengetahui penokohan cerpen “Blagbag”
(Pasung) karya Aries Pidrawan; 2) untuk mengetahui pandangan dunia sosial cerpen
“Blagbag “ (Pasung) karya Aries
Pidrawan.
II. Pembahasan
2.1 Penokohan Karya Sastra
Penokohan
sebuah fiksi tidak bisa dilepaskan dari tokoh. Tokoh menunjuk pada orangnya,
pelaku cerita (Nurgiantoro, 2010:165). Penokohan menurut Jones, (dalam Nurgiantoro,2010)
adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam
sebuah cerita. Tokoh-tokoh dalam fiksi meskipun merupakan rekaan atau imajinasi
pengarang, tokoh-tokoh fiksi tetap membangun satu-kesatuan dengan unsur-unsur
fiksi lainnya (tema, alur, setting). Tokoh-tokoh diciptakan oleh pengarang
sehingga mampu menggambarkan karakternya masing-masing. Tokoh protagonis maupun
antagonis yang diciptakan pengarang disesuaikan dengan tuntutan cerita sehingga
karya fiksinya menjadi kuat. Karakter menurut Abrams, (1981:20), apa yang
dikatakan dan apa yang dilakukan.
Karakter
menurut Ali, (dalam Korrie Layun Rampan,
2009:5) adalah pelukisan manusia yang menjadi pelaku, manusia yang menjadi objek
penulis. Setiap manusia memunyai keistimewaan dan kelemahan tersendiri memunyai
berbagai rasa ketika menghadapi atau berada dalam situasi tertentu.
Ini berarti seorang penulis cerpen hendaknya
rajin memperhatikan perilaku atau kebiasaan seseorang. Kebiasaan itu bisa
berupa cara berkata, cara menghadapi permasalahan- permasalahan. Keceriannya,
kesedihannya akan lebih baik lagi jika membaca buku-buku psikologi sehingga
lebih memperkuat dalam menggambarkan watak tokoh. Penulis cerpen bisa mengamati
karakter orang-orang terdekat atau teman-teman terdekat, misalnya, seseorang
yang suka tertawa pingkal-pingkal sampai meneteskan air mata. Orang yang
pendiam, tetapi sekali waktu mampu membuat orang lain tertawa. Atau orang yang
selalu serius setiap menghadapi masalah.
Sumardjo
memberikan cara agar bisa menggambarkan watak tokoh bisa dilakukan dengan
perbuatannya, ucapannya, fisiknya, pikiran-pikiran tokoh, dan bisa melalui
penerangan langsung. Penggambaran watak akan semakin hidup apabila penulis
cerpen benar-benar menghayati karakter-karakter yang digambarkannya. Menurut
Fananie (2002:87), karakter tokoh yang dipakai pengarang bermacam-macam.
Misalnya melalui tampilan fisik, dan bisa digambarkan secara tidak langsung.
Pengarang mengembangkan tokoh-tokohnya tidak bisa lepas dari kebiasaan
kreativitasnya. Fiksi mengandung dan menawarkan model kehidupan seperti
disikapi dan dialami tokoh-tokoh cerita sesuai dengan pandangan pengarang
terhadap kehidupan (Nurgiantoro, 2010:166).
2.2 Strukturalisme
Genetik
Menurut Goldmann bahwa karya sastra menggambarkan
struktur mental yang terletak dalam perilaku sosial dan perilaku sosial tidak
terlepas dari satu individu saja, melainkan juga dengan individu yang lain
ataupun kelompok. Konsep ini oleh Goldmann disebut sebagai unit dasar dari aktivitas
sosial yang dinamakan “subjek transindividual”. Karya sastra merupakan bentuk
dari produk kolektif kelompok sosial (Susanto, 2011:176). Konsep hubungan
diterapkan Goldmann dalam dua kerangka. Pertama, hubungan antara makna suatu
unsur dengan unsur lainnya dalam karya sastra. kedua, hubungan tersebut
membentuk satu jaring yang saling mengikat. Seorang pengarang menurut Goldmann
tidak mungkin memunyai pandangan sendiri. Pada dasarnya, pengarang menyuarakan
pandangan dunia suatu kelompok sosial. Keterikatan antara pandangan dunia
penulis dalam sebuah karya sastra dengan pandangan dunia pada suatu ruang dan
waktu tertentu (Junus, 1988).
Strukturalisme genetik berjalan
secara dialektis dari struktur teks menuju kestruktur sosial konkret dan
kelompok sosial pengarang yang hasilnya kemudian digunakan kembali untuk
memahami struktur teks sastra. Metode strukturalisme genetik adalah bagian
utama dari keyakinan teoretik Goldmann tentang posisi karya sastra sebagai
sebuah struktur yang dihasilkan oleh sebuah sistem sosial dan sejarah
masyarakat tempat karya sastra itu dilahirkan (Anwar, 2010:119). Bagi Goldmann,
struktur kemaknaan itu mewakili pandangan dunia (vision du monde) penulis, tidak sebagai individu, tetapi sebagai
wakil golongan masyarakatnya (Teeuw, 1984:153).
2.3
Sinopsis Cerpen “Blagbag”
Luh Sari mengalami ganguan jiwa. Ia
dipasung oleh orang tuanya. Hal ini dilakukan agar Luh Sari tidak mengganggu
lingkungan sekitarnya.Ia belum sempat diobati oleh orang tuanya (Pan Sari).
Setelah mendengar pembicaraan dari Luh
Rauh bahwa temannya ada juga yang menderita gangguan jiwa bisa sembuh setelah berobat ke psikiater dan bisa sembuh. Sebagai orang
tua, Pan Sari berkeinginan mengajak anaknya ke psikiater. Akan tetapi, istrinya
tidak menyetujui karena tidak memiliki uang untuk membayar psikiater. Kemiskinan yang menjadi penyebab istri Pan
sari tidak setuju berobat ke psikiater. Pan Sari (ayah Luh Sari) merasa jengkel
karena keinginannya tidak terwujud. Luh sari tetap sakit.
2.4 Penokohan
Tokoh-tokoh dalam
cerpen “Blagbag” dapat dideskripsikan sebagai berikut:
2.4.1
Tokoh Utama Luh Sari
Luh Sari digambarkan sebagai seorang
perempuan yang sedang mengalami gangguan jiwa. Kebebasan tokoh tidak ada. Luh
Sari dikekang atau dipasung kebebasannya. Penokohan yang digunakan oleh
pengarang disesuaikan kehidupan yang nyata (Nurgiantoro:168). Seorang perempuan
yang terganggu ingatannya dipasung atau dikekang kebebasannya.
2.4.2 Tokoh Ayah (Pan Sari)
Pan Sari digambarkan sebagai tokoh
yang memiliki karakter yang bertanggung jawab terhadap anaknya. Pan Sari tidak
ingin anaknya (Luh sari) mengalami ganguan jiwa. Pan Sari merasa terpanggil
agar anaknya terbebas atau tidak dipasung lagi. Akan tetapi, Pan Sari juga
memiliki karakter yang kurang berkenan di hati istrinya. Ia suka berjudi dan
mengadu ayam. Tokoh Pan Sari digambarkan secara bulat antara baik dan kurang baik.
2.4.3
Tokoh Ibu (Men Sari)
Tokoh Men sari (Ibu Luh Sari)
digambarkan memiliki karakter yang tahu diri. Seorang ibu yang menyadari
dirinya berasal dari keluarga miskin. Ia merasa tidak bisa membayar psikiater yang menurut
ukuran ekonomi keluarganya tidak bisa dijangkau. Penokohan yang digambarkan, Men
Sari seorang perempuan yang pasrah terhadap nasib yang dialaminya. Tidak berani
mengambil resiko karena menyadari perekonomiannya yang jauh dikatakan mapan.
2.4.4
Tokoh Luh Rauh
Luh Rauh digambarkan sebagai tokoh
yang memberikan jalan keluar agar Luh Sari bisa sembuh. Luh Sari hanya bisa
disembuhkan oleh seorang psikiater. Luh Rauh seorang perempuan yang suka
menolong, baik hati, menaruh empati dan simpati terhadap penderitaan orang
lain.
2.4.5
Tokoh Psikiater
Tokoh psikiater, tokoh terdidik. Psikiater
digambarkan sebagai tokoh yang mampu menyembuhkan, menyelesaikan masalah yang
dialami oleh Luh Sari. Akan tetapi, tokoh ini sampai akhir cerita tidak sempat
menyembuhkan penyakit Luh sari. Luh Sari tetap dipasung. Tokoh psikiater
digunakan sebagai tokoh sampingan. Tokoh yang tidak bertindak langsung, tetapi
memiliki peran untuk memberikan jalan keluar.
3. Struktur Genetik
cerpen “Blagbag”
Cerpen “Blagbag” mengungkapkan pandangan
pengarang yang masih melihat keterpasungan terhadap perempuan. Perempuan (Luh
Sari) tidak sempat menikmati kebebasannya. Perempuan masih terikat. Kebebasan yang diinginkan oleh
ayah Luh Sari ternyata tidak ditanggapi positif oleh Men Sari dengan alasan
ekonomi. Luh Sari perempuan yang masih terbelenggu oleh kaumnya sendiri.
Pengarang
berharap agar ada perubahan dalam diri seorang perempuan desa. Perubahan itu
dihadirkan lewat tokoh psikiater melalui tokoh Luh Rauh. Tokoh orang ketiga
diharapkan bisa memberikan kebebasan pikiran ternyata tidak mendapatkan
sambutan dari seorang perempuan (Men Sari). Men Sari masih mempertahankan
hal-hal yang dirasakannya mengusik ketemtramannya. Pengarang menunjukkan bahwa
teramat sulit untuk mengubah pikiran seseorang. Pengarang berpandangan bahwa perlu kerja keras dan perjuangan untuk mengadakan
sebuah perubahan. Di samping itu, Men Sari dan Pan Sari digambarkan sebagai
orang yang berasal dari kelas bawah. Hidupnya amat sederhana bahkan masih
berada di bawah garis kemiskinan. Secara tidak langsung pengarang menyampaikan
bahwa orang miskin susah untuk berobat. Seperti kutipan di bawah ini:
Uli di bungut
paoné Mén Sari gelur-gelur nyautin
pengajak kurenané. “Bli, naang té kenehang malu, kude bli ngelah pis sangkan
agem sajan bli lakar ngubadang pianakké keme?”
(Dari tungku perapian Men Sari teriak-teriak
menjawab permintaan suaminya.”Kakak, tolong dipikirkan dulu. Berapa Kakak punya
uang makanya bersemangat sekali Kakak akan mengajak berobat anak kita ini?)
3.1
Pengekangan terhadap Perempuan
Berdasarkan uraian dari sinopsis,
penokohan, dan strukturalisme genetiknya terlihat dengan jelas pandangan
pengarang terhadap dunia sosialnya. Pengarang masih melihat adanya praktik
pengekangan terhadap kebebasan seorang perempuan. Seorang perempuan masih
terikat dalam setiap tindakannya. Seperti kutipan berikut:
Ulian
sakitné Luh Sari, nyansan wai reramanné nyansan bingung. Apa buin sakitné Luh
Sari sing ngidaang ngenehin. Sagét ngeling kraik-kraik, sagét kedék ngakak. To
ngawinang Luh Sari jani mebelagbag. Makedadua limanné mategul. Batisné bareng
mategul.
(Karena sakitnya Luh Sari, setiap hari orang
tuanya bingung. Apalagi sakitnya Luh Sari tidak bisa dipikirkan. Kadang
menangis menjerit-jerit,kadang tertawa ngakak. Itu yang menyebabkan Luh Sari
sekarang dipasung. Kedua tangannya diikat.Kakinya diikat)
Bagi pengarang, hal ini agak aneh.
Perempuan dikekang justru oleh kaum perempuan juga. Laki-laki (ayah) justru
menyetujui adanya kebebasan. Kebebasan yang dimaksudkan oleh pengarang antara
lain, (1) bebas berbuat dalam tatanan yang benar; (2) bebas berkata yang
didasari oleh kesantunan wicara; (3) bebas berpikir yang didasari oleh nilai-nilai
moral keagamaan. Seperti kutipan di bawah ini.
“Meménné, mani laan bareng-bareng
ngataang pianakké meubad,” Pan Sari ngomong, sambil mekipekan ke umah paon.
Nanging sing ade pesaut....
(“Istriku,
besok mari sama-sama mengantar anak kita berobat,” Pan Sari berkata, sambil
melirik ke dapur. Akan tetapi, tidak ada jawaban).
Anjuran agar segera kebebasan itu
terwujud yang ditokohkan oleh psikiater, ternyata tidak dapat berterima.
Pengarang memberikan jalan keluar bahwa ada yang mampu memberikan kebebasan.
Akan tetapi, belum sepenuhnya bisa terwujud alasan yang dimunculkan karena
kemiskinan yang membelit:
“Kadén
Bli mayah limang tali, selaé tali, séket tali. Maubad ka psikiater apang Bli
nawang, paling bedik mayahné limang atus tali Bli. To mare acepok, ondén yén
meubad ping lime, ping nem.”...
(Kakak kira membayar lima ribu, dua puluh lima
ribu, lima puluh ribu. Berobat ke psikiater agar Kakak tahu, paling sedikit
membayar lima ratus ribu. Itu baru sekali berobat, apalgai berobat sampai lima
kali enam kali).
Pengarang
secara tersirat ingin menyatakan bahwa dalam keluarga miskin masih ditemui
adanya ketidakbebasan. Atau bisa juga dikatakan
bahwa orang miskin susah mendapatkan kebebasan.
IV. Penutup
4.1 Simpulan
1) Penokohan dalam cerpen “Blagbag (Pasung)” amat variatif.
Tokoh-tokoh perempuan (Luh Sari, Men Sari, Luh Rauh) digambarkan sesuai dengan
kenyataan sosial yang dialaminya;
2) Penokohan ayah (Pan Sari)
digambarkan sebagai tokoh yang menginginkan kebebasan;
3) Struktur genetik cerpen “Blagbag (Pasung)” menyatakan pandangan dunia sosial yang masih adanya pengekangan
terhadap kaum perempuan. Kebebasan seorang perempuan belum sepenuhnya
diperolehnya.
4) Cerpen “Blagbag (Pasung)” bukan sebagai cerpen yang besar. Cerpen “Blagbag “ (Pasung) sebagai
pengejawantahan perempuan desa yang tidak mendapatkan kebebasan.
4.2 Saran
1) Seorang perempuan hendaknya diberikan
kebebasan;
2) Kebebasan itu disesuaikan dengan
koridor-koridor sosial, moral, dan etika;
3) Pengekangan bukan merupakan jalan
keluar terhadap kehidupan sosial manusia.
Daftar Pustaka
Anwar,
Ahyar.2010. Teori Sosial Sastra.Yogyakarta:
Penerbit Ombak.
Fananie, Zainuddin.2002.
Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Nurgiantoro, Burhan. 2010. Teori
Pengkajian Fiksi.Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Mahayana, Maman S.2007. Ekstrinsikalitas
Sastra Indonesia.Jakarata: PT Raja Grafindo Persada.
Majalah Ekspresi. Cerpen “Blagbag”. Februari 2012. Tabanan: Pustaka Ekspresi.
Mulyana. 2005.
Kajian Wacana, Teori, Metode &
Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Priyatni, Endah Sri. 2010. Membaca
Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis.Jakarta: Bumi Aksara.
Susanto, Dwi.
2011. Pengantar Teori Sastra.Yogyakarta: Caps.
Teeuw, A.1984. Sastra
dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sumardjo,Yakob.1982. Masyarakat
dan Sastra Indonesia.Yogyakarta: Nur Cahaya.
Lampiran Cerpen Blagbag
Blagbag
Olih
Gede Aries Pidrawan
Ulian
sakitné Luh Sari, nyansan wai reramanné nyansan bingung. Apa buin sakitné Luh
Sari sing ngidaang ngenehin. Sagét ngeling kraik-kraik, sagét kedék ngakak. To
ngawinang Luh Sari jani mebelagbag. Makedadua limanné mategul. Batisné bareng
mategul. Yén sing kéto, sinah Luh Sari lakar melaib sradak-sruduk. Dugasé
maluan, dugasé Luh Sari kondén meblagbag, Sabilang sandikala Luh Sari melaib
pati kaplug tulén bangkung paling. Sekancan ané tepukine di malunné terubuke.
Tukad lan pangkung dalem-dalem ceburine.
Suba
duang bulan jani Luh Sari ngaba penyakitné ento. Konyang pisaganné suba takonine,
kenape pianakné bise kekéto. Ade pisagané ngoraang Luh Sari sakit ulian kéné
bebai, ade ngorang penyakitné luh Sari ulian keguna-guna, ade masih pisagané
ané ngoraang Luh Sari stress. “Jani nak
mule liu remajané defresi” Kéto pisagané nuturin.
Pan Sari
nyansan wai nyansan inguh. Ngoyong jumah, ningalin pianakné buke kéto sirahné
merase baat, awakné ngetor. To ne ngawinang Pan Sari sabilang wai sing taén
ngoyong jumah. Yén sing ka tajen, Pan Sari meceki, yén sing meaceki jeg pasti
sube meangguran, negak-negak di perempatan jalané gedé metékin montor liwat.
Miribang tajén lan cekiné sube anggone penyelimur manah tekén Pan Sari.
Patuh
ngajak semengané jani, Pan Sari sube meangguran di warungné Luh Rauh. Meli
kopi, godoh, lan roko. Ningalin Pan Sari ané negak di malun warungné,
iseng-iseng Luh Rauh metakon. “Bli, sube seger pianaké?.”
Mireng
petakon Luh Rauh, Pan Sari metolihan, nyedengang nyiup kopi ané sube nénggél di
malun bibihné. “Bih berat Luh.” Pan Sari mesaut bawak, lantas ngelanjutang
nyiup kopi.
“Pan
Sari, yén sing pelih ban tiang, tiang ngelah timpal kekéné masih sakitné. Ie
ngidaang seger ulian meubad ke psikiater,” Luh Rauh nuturin Pan Sari apange Luh
Sari énggal ngubadang pianakné ke dokter jiwa.
Ningeh
tutur Luh Rauh Pan Sari kingeh-kingeh. Mirib ie sing je ngerti ajak arti
psikiater. Égar Pan Sari mebalik nakonin. “Ape madan psikiater to Luh?.” Pan
Sari metakon sambil kenyir-kenyir, miribang ie lek ati ban kebelogané.
“Psikiater
to artiné dokter ané ngubadin anak ngelah keneh sing waras. Psikiater to
ngubadin soroh jelema ané sakitné keraik-keraik, kedék ngakak, lan
kenyem-kenyem sing beneh.” Luh Rauh lantas nuturang.
Ningeh
kéto Pan Sari égar kenehné, miribang jani ie sube nemu jalan apang sakit
pianakné énggal seger.
Pan Sari
melaib mulih. Ngalih kurenané, seger sajan kenehné Pan Sari mulih, lakar
nuturang unduk dokter ané ngidaang ngubadin penyakit pianakné. Tepukine
Mén Sari di umah metén sedeng
meilih-ilih, minab Mén Sari engkeb sajan
suud ngisiiang liman pianakné ané galak
tur keraik-keraik.
“Méménné-méménné,
jani jeg aluh sube, penyakit pianaké pasti énggal ilang,”. Mén Sari metolihan.
Mén Sari kesyab mireng munyin Pan Sari
né sing karuan unduk. Mén Sari lantas
metakon. “Bli, nden malu, adéng-adéngang
abeté ngeraos, tiang sing ngerti apa né keraosang Bli to?”
Ningeh
petakon kurenané ané nyujut buke kéto, Pan Sari lantas bengong. Mirib ie nu
nginget-ngingetang isin reraosanné Luh Rauh. “Kéné meménné, Bli tunyan sube
maan metakon ngajak Luh Rauh, ie ngoraang nawang tongos dokter ané dueg
ngubadin penyakit anak keraik-keraik, kedék ngakak, lan penyakit anak ané
kenyem-kenyem sing beneh.”
“Terus-terus?”
Mén Sari negak maekang.
“Dokteré
né dueg ngubadin to kaadanin psikiater Luh”. Kéto pesautné Pan Sari.
Ningeh
tutur kurenané buke kéto, Mén Sari
lantas bangun ke umah paon, ngalain Pan Sari di umah metén né kenyem-kenyem
ningalin pianakné. Pan Sari lantas maekin pianakné ané mebelagbag. Paekine
tekén bapanné, Luh Sari kenyem-kenyem puyung. Peliatné joh. Pan Sari lantas
ngusap-usap bok Luh Sari né nyansan wai nyansan medikang. Awakné nyansan wai
nyansan meragang. Muané pekos. Né nu mesisa tuah tulang ajak kulit dogén.
“Sabar luh, jani bapa sube nemu ubadné. Sing je mekelo Luh lakar ngabe sakité
ené.” Kéto Pan Sari nuturin pianakné. Nanging Luh Sari sing je rungu. Peliatné
tetep joh.
“Meménné,
mani laan bareng-bareng ngataang pianakké meubad,” Pan Sari ngomong, sambil
mekipekan ke umah paon. Nanging sing ade pesaut. Mén Sari nedeng sibuk ngupin sémprong. “Meménné,
mani laan bareng-bareng ngataang pianakké meubad.” Pan Sari nyumunin ngomong,
sada bangras.
Uli di
bungut paoné Mén Sari gelur-gelur
nyautin pengajak kurenané. “Bli, naang té kenehang malu, kude bli ngelah pis
sangkan agem sajan bli lakar ngubadang pianakké keme?”
Mireng
petakon kurenané buke kéto, Pan Sari mekipekan. Paling.
“Kadén
Bli mayah limang tali, selaé tali, séket tali. Maubad ka psikiater apang Bli
nawang, paling bedik mayahné limang atus tali Bli. To mare acepok, ondén yén
meubad ping lime, ping nem.” Mén Sari
nglanjutang raos sambil ngulak-ngulikang baa api. “Kalingké limangatus tali
rupiah, duang tali rupiah sing taén misi di kantong belinné. Hasil pegaén
beliné tuah anggon beli meliang-liang pedidi. Metajén, matuakan, lan meceki.
Bli mulih sing sajan taén nyisaang pis. Jani, di nemu sengsarané buke kéné,
mekejang biayané ben pipis Bli, tusing je ben munyi dogén.”
Mireng
raos kurenanné buke kéto Pan Sari bengong. Ape buin mireng pemayah dokteré ané
liu sajan, ilang semangatné Pan Sari lakar ngubadang pianakkné. Pan Sari sing
je nawang yén pemayah ubade di psikiater liu kekéto. Né kadengangé tekén Pan
Sari psikiater to patuh ngajak dokter-dokter né ade di Puskesmas, né dadi bayah
ban pipis limang tali rupiah. Pan Sari mejujuk, lantas megedi sambilanga
ngeremon.”Nah, pedidi sube nyai ngitungang. Jeleme luh liunan munyi.”
Di
bungut paonné, diastun baa apiné sube ngilab, Mén Sari nu iteh bungkut-bungkut ngupin sémprong.
Yéh peningalané mekumbengan. Ngenehang pianakné né sedeng meblagbag tanpa daya.
Yéh peningalan Mén Sari ne sube
mekumbengan ulung paketeltel.
Amlapura,
Desember 2010
Labels: Artikel