Cerpen Mbah



MBAH
Cerpen IBW  Widiasa Keniten
            Mbahku paling banyak punya istri di desaku. Dari istri tua sampai istri muda bahkan semi muda. Aku sendiri cucu dari istri ketiganya. Pernah kukatakan bahwa diriku ini cucunya. Ia tak percaya karena tak mirip dengan ayahku apalagi dengan dirinya. Mbahku curiga terhadap keberadaanku.
           Mbahku memang hebat. Meski punya banyak istri, ia tetap fit dan selalu kuat. Kata ayahku, mbahku menyimpan ilmu penakluk cinta. Ilmu itu diperoleh dari olah tapanya yang lumayan ketat dan berat. Empat puluh dua hari mutih dan tidak boleh bicara kepada siapapun. Konon ilmu itu mendapatkan bisikan gaib.
            Pernah kutanyakan, “Mbah, kenapa doyan kawin?”
            Dengan bangganya mbah menjawab. “Kasihan dunia ini akan sepi jika tak diisi dengan nafas manusia. Di samping itu, alam neraka maupun surga bisa penuh jika tak dikurangi dengan kelahiran.”
            “Ah, Mbah ada-ada saja.”
            “Mbah hanya delapan istri saja kau sudah kaget. Coba lihat para raja dulu berapa istri dan berapa selir dimilikinya. Mana ada yang berani mrotes? Mbah cuma delapan. Kau mestinya bangga punya mbah yang hebat seperti ini. Kau mau mewarisi ilmu mbah? Jangan seperti ayahmu itu. Ia hanya punya satu istri dan satu anak seperti kamu. Kalau kau mati, siapa yang ngawasi ayahmu. Sudah sering mbah suruh. Beristri lebih dari satu.”
            “Ayah PNS Mbah.”
            “Itulah salah ayahmu. Mau diatur oleh peraturan. Coba seperti Mbah. Siapa yang ngatur tak ada. Mbah suruh agar menjadi juragan buah tak mau. Sekarang rasakan, tak bisa seperti mbah ini. Banyak punya bini. Mbah yakin akan ada yang meniru gaya hidup mbah. Kau mau tidak mewarisi ilmu mbah?”
            “Aku masih sekolah, Mbah. Aku ingin mencari ilmu dulu nanti ngurusi masalah istri.”
            “Itulah salahmu. Belajar dari sekarang berpacaran dengan banyak gadis.”
            Aku menjadi malu pada perkataan mbahku. Bukannya bersyukur cucunya belum berpacaran justru berbanding terbalik dengan yang kuduga.
            “Mbah saat seusiamu hampir tiap minggu berganti pacar. Mbah anggap pacar itu seperti pakaian. Sekarang kemeja besok baju kaos. Mbah dikenal sebagai Arjuna mencari cinta.Gimana mau mengikuti jejak mbah?”
            “Nanti saja Mbah.”
            “Baiklah kalau itu pilihanmu. Tapi, jangan kau menyesal nantinya.”
            Aku meninggalkan kediaman mbahku. Aku pulang. Kulihat ayah dan ibuku lagi membicarakan sesuatu. Aku tak berani mengganggunya. Aku berjalan pelan-pelan.
            “Sini Agus!”
            Aku kaget. Ayahku melihat kehadiranku.
            “Kau dari mana?”
            “Tadi sempat ke rumah mbah. Ada apa Yah?”
            “Apa yang disampaikan oleh mbahmu?”
            “Tak menyampaikan apapun.”
            “Ayah tak percaya. Pasti kau disuruh mencari pacar sebanyak-banyaknya. Benar kan?”
            “Benar Ayah.”
            “Ayah juga disuruh seperti itu oleh mbahmu dulu. Tapi, ayah tak mau. Cuba kau lihat mbahmu sekarang. Ia bingung mengurus istri-istrinya sendiri. Paman-pamanmu juga banyak urusan. Mana sempat ngurusi orang tuanya lagi.”
            Benar juga kata ayah. Kediaman mbahku seperti panti jompo saja. Tapi, jika mbah tak punya istri banyak bisa-bisa rumah besar mbah akan kosong. Dan, kami menjadi kecil dalam rumah yang besar.”
            Jika dipikir-pikir benar juga sikap mbahku. Dengan semakin banyak orang, pekerjaan akan semakin cepat terselesaikan. Aku menjadi bingung sendiri. Apa aku ingin mengikuti mbah atau tidak.
            Ayahku cepat-cepat menyuruhku mandi dan segera makan. Aku menuju kamarku. Aku mandi. Saat mandi itu, aku seperti merasakan sesuatu. Kenapa terbayang teman-teman gadisku di sekolah. Aku seperti merasakan kenikmatan saat membayangkan gadis-gadis itu. Selesai mandi, tiba-tiba aku ingin bertemu mbah. Aku diam-diam meninggalkan rumah menuju rumah mbah.
            “Kau datang lagi. Ada apa?”
            “Mbah, boleh aku bertanya?”
            “Oh, tentu saja. Kau cucuku.”
            “Mbah kenapa tadi saat mandi aku membayangkan wajah teman-teman perempuanku?”
            Mbah berpikir sejenak. “Kau akan mewarisi ilmu mbah.”
            “Maksud Mbah. Aku akan beristri sama seperti Mbah?”
            “Benar! Berapa gadis yang kau bayangkan tadi?”
            “Dua belas Mbah.”
            “Dua belas. Berarti mbah akan kalah darimu. Mbah hanya delapan kau bisa dua belas. Kau cucu hebat.”
            “Tapi, itu hanya dalam bayangan saja Mbah.”
            “Dalam bayangan awalnya setelah itu terserah kamu.”
            “Ah, Mbah seperti iklan saja.”
            “Dulu, mbah juga seperti kamu saat mandi sempat membayangkan delapan perempuan. Eh ternyata benar terjadi. Sekarang, masuk kamar mbah. Hanya kau yang boleh memasuki kamar mbah.”
            Aku membuka pintunya yang berukir. Kuhidupkan lampunya. Kulihat lukisan Arjuna saat bertapa digoda tujuh bidadari dan juga saat Arjuna di surga dilayani oleh beberapa bidadari. Darah mudaku bergetar.
            Lututku tiba-tiba lemas dan duduk mematung memandang wajah Arjuna. Aku membayangkan diriku digoda oleh beberapa bidadari. Aku merasakan kenikmatan sampai tubuhku terasa lemas dan aku tertidur.
            Antara sadar dan tidak sadar aku mendengar suara mbah. “Kau yang akan mewarisi ilmuku. Kau akan memiliki dua belas istri.”
            Alam mimpiku terus berjalan. Aku merasakan seperti sebuah upacara pernikahan telah kujalani. Aku menikahi gadis-gadis yang pernah kubayangkan saat mandi. Satu per satu menjadi istriku di alam mimpi. Ia beranak dan setiap istriku melahirkan lima-lima. Tapi ada istriku di alam mimpi berselingkuh. Kulihat ia bersama laki-laki lain. Dan ia hamil. Anaknya aku yang pelihara. Aku ingin marah. Tapi, ia jawab dengan tersenyum. “Karena kau sudah tak perkasa lagi. Apa salahnya aku berselingkuh.”
            Aku berteriak. Tiba-tiba di sampingku kulihat mbah dengan senyum khasnya. “Bangunlah Cucuku. Kau telah menemukan yang kau bayangkan.”
            Aku tak menjawab. Aku pergi sambil bertanya-tanya, “Apa benar aku ini akan beristri dua belas  orang?”



           

                       

Labels: