Basur : Karakter, Peran Ganda Tokoh

Basur :  Karakter, Peran Ganda  Tokoh
IBW Widiasa Keniten

          Karakter seseorang dipengaruhi oleh faktor lingkungan, dan pembawaan . Manusia yang dilahirkan memiliki fisik dan psikis tidak akan bisa dilepaskan dari faktor pembawaan dan lingkungan. Pembawaan, termasuk bakat, minat, intelektual, emosional. Karakter – karakter dalam diri manusia dapat menjadi inspirasi bagi penulis. Penulis melakukan pengamatan terhadap karakter –
karakter yang memengaruhi perkembangan seseorang dan menghidupkan karakter – karakternya dalam tokoh – tokohnya. Karena itulah kesusastraan bisa menjadi wahana persemaian nilai dan praktis moralis yang efektif (Yudi Latif,2009:85).  Nilai – nilai moral, etika, sosial, budaya, adat,  religius tampak dalam tokoh. Tokoh memegang peran yang penting dalam sebuah karya sastra. Karya sastra akan semakin hidup jika dinikmati, dirasakan dan diresapkan nilai – nilainya. Paling tidak ada yang menempel di dalam rasa. Itu berarti sebuah karya sastra tidak hanya sakadar dibaca atau dinikmati, tetapi juga menyingkap makna yang tersembunyi hingga dapat dimengerti, dihayati, diinterpretasi ( Damhuri Muhammad,2010:v). Geguritan Basur menyimpan beragam makna yang bisa digunakan sebagai sarana untuk membangun karakter  yang menurut ( Jendra, 2009 : 10 ) etis moralis.
            Keragaman karakter tokoh  dalam Geguritan Basur sebagai penanda bahwa Ki  Dalang Tangsub mengamati perilaku manusia dalam keseharian. Tokoh – tokohnya adalah orang – orang yang bergelut dengan kehidupan sehari – hari dalam sebuah desa. Kekentalan suasana desa dengan kebiasaan – kebiasaan diungkapkannya  . Tokoh – tokoh yang jika dipilah menjadi dua tokoh berkarakter baik, dan berkarakter  kurang baik. Hal ini mengindikasikan manusia memiliki dua sisi yang berbeda. Akan tetapi, tetap menyatu dalam diri tokoh – tokohnya. Karakter – karakter itu sengaja dipertentangkan sehingga penikmat atau pembaca bisa menemukan hal – hal yang bisa dicontoh dari tokoh – tokoh yang ditulisnya. Membangkitkan dan menghidupkan tokoh dimulai dari kemampuan pengarang membangun karakter – karakternya sehingga karyanya menjadi menarik, enak dibaca dan setelah membaca mendapatkan nilai – nilai kemanusiaan  yang ingin diungkapkan atau disampaikan.
Boleh dikatakan karya sastra menghidupkan karakter manusia dalam tokoh – tokohnya. Tokoh bukan hanya tempelan belaka, tetapi ia menyatu dengan karakter yang diperankan oleh tokoh. Tokoh Basur, Tigaron, Ni Garu  sering diidentifikasikan sebagai tokoh yang berkarakter kurang baik, sedangkan tokoh I Nyoman Karang, Ni Sokoasthi, Ni Rijasa, Made Tanu. I Thirta , Kaki Balian ( Balian Sadhu) sebagai tokoh yang berkarakter baik. Ada tokoh Kaki Balian yang memiliki karakter berpura – pura. Ki Dalang Tangsub memiliki kemampuan menghidupkan karakter tokoh – tokohnya sehingga karyanya dikenang dan menarik dibicarakan sampai sekarang. Karya Basur termasuk karya yang monumental dari beberapa geguritan yang ditulisnya.

Citra Karakter Dukun
            Seorangdukun ( balian)  dalam Geguritan Basur dipilah menjadi dua, dukun yang benar – benar mengabdi pada kehidupan manusia dan dukun yang hanya sebagai kedok saja sebagai dukun. Dukun – dukun yang benar – benar serius menjalankan ajaran kebenaran akan menjadikan dirinya bermartabat di masyarakat. Begitu juga sebaliknya, dukun yang menyalahi aturan – aturan sebagai dukun( balian) akan mendapatkan hasil dari perbuatannya.
 Ilustrasi perdukunan menarik diperhatikan karena sekarang ini beberapa  dukun  hanya sebagai kedok saja. Dalam kenyataannya, dukun  melakukan tindakan kurang terpuji seperti pelecehan seksual, menipu, menghipnotis dengan beragam cara sehingga mengganggu kebahagiaan orang lain. Bukan kesembuhan yang didapatkannya, justru penderitaan batin yang tidak kalah sakitnya. Fisik bisa diobati dengan ramuan, tetapi sakit psikis tidak mudah untuk disembuhkan. Luka hati dan batin bisa membekas selamanya dan berdampak menjadi trauma. Kelakuan dukun yang kurang terpuji inilah mencoreng citra dukun yang benar – benar mendarmakan hidupnya bagi kemanusiaan. Anugerah yang didapatkannya tidak dijalankannya dengan benar. Dukun yang memegang tuguh darma perdukunan niscaya akan berhasil menjadi dukun yang mumpuni dan disegani dalam masyarakat.

Membangun Karakter Sejak Dini
            Karakter seseorang akan lebih baik dibangun semenjak dini. Karakter ini banyak dipengaruhi oleh  kehidupan keluarga.Keluarga sebagai lingkungan utama dan pertama banyak memengaruhi karakter anak. Lingkungan keluarga yang harmonis, rukun terlihat dari sikap dan perilaku si anak. Anak yang kurang mendapatkan pendidikan berkarakter di keluarganya terlihat dalam perkembangan selanjutnya teruama dalam komunikasinya dengan orang lain.
            Tokoh – tokoh Ni Sokoasthi dan Rijasa sebagai tokoh yang dididik oleh I Nyoman Karang dalam kehidupan yang harmonis, bisa berlaku sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabatnya.  Manusia yang diharapkan adalah manusia yang berjalan dalam koridor kebenaran. Ni Sokoasthi dan Ni Rijasa selalu ditanamkan agar terbiasa menabung, berlaku santun, bersembahnyang setiap hari raya keagamaan, berbakti pada orang tua dan kasih pada sesama. Model pembanguan karakter yang seperti inilah perlu terus ditanamkan pada anak.
Geguritan Basur sebagai sarana untuk menyampaikan visi dan misi Ki Dalang Tangsub. Ki Dalang Tangsub tidak ingin generasi mudanya teledor terhadap kehidupan. Kehidupan mesti direncanakan secara matang sehingga menjadikan generasi yang akan datang lebih baik dari generasi sebelumnya. Contoh – contoh yang digunakan oleh Ki Dalang Tangsub cukup menarik. Keluarga yang mendidik anaknya dengan kemanjaan akan menjadikan anak tidak bisa mandiri dan kesulitan dalam mengambil sikap jika menghadapi sebuah masalah.
            Tokoh Tigaron sebagai ilustrasi tokoh yang dimanja oleh orang tuanya, I Gede Basur. Dampak dari pemanjaan itu adalah ketidakmampuannya untuk mengambil sikap. Tigaron cepat rapuh setelah cintanya tak terbalaskan. Seseorang yang tidak bisa menerima kenyataan akan membuatnya tidak bisa menentukan keputusannya.
            Tokoh Ni Garu, anak Wayan Subandar juga hampir mirip dengan karakter Tigaron. Ni Garu tidak mampu menerima kenyataan bahwa dirinya tidak cocok bersanding dengan Tigaron. Jika dilihat dari latar belakang keluarganya. Tigaron dan Garu termasuk keluarga yang memiliki kesejajaran status.
            Karakter – karakter yang tumbuh dalam diri seseorang tidak bisa dilepaskan dari awal pembentukannya. Pengaruh orang tua akan menjadikan seorang anak itu mandiri ataukah tidak.
Peran Ganda Ayah
            Geguritan Basur tidak mencantumkan ibu yang berperan dalam mendidik anaknya.Keluarga I Nyoman Karang tidak   melukiskan ibu dari Ni Sokoasthi dan Ni Rijasa. Cuma sekilas diungkapkan bahwa ibunya meninggal semasih Ni Sokoasthi dan Ni Rijasa masih kecil. I Gede Basur juga tidak diceritakan siapa istrinya, tetapi memiliki anak I Tigaron. Made Tanu juga tidak diceritakan istrinya begitu juga Wayan Subandar. Apa yang dapat ditarik dari cerita ini?
            Peran ayah tidak hanya sebagai kepala keluarga juga sebagai ibu bagi anak – anaknya. Cinta kasih dari seorang ibu hampir tidak didapatkannya. Komunikasi terjalin dengan ayah saja. Wajarlah ada perbedaan dalam membangunkaan, menumbuhkan  nilai – nilai moralnya. Jika orang tuanya amat sibuk ( I Gede Basur dan Wayan Subandar), maka anak akan menjalankan segala keinginannya tanpa memedulikan orang lain. Dampak dari kebiasaan ini adalah setelah anak memasuki jenjang remaja. Masa mencari identitas dirinya akan terusik. Jika pergaulan luar yang dominan, maka anak cenderung akan mengikutinya seperti I Tigaron dan Ni Garu.
            Dua keluarga I Nyoman Karang dan I Made Tanu dapat menjalankan peran gandanya sebagai ayah dan sekaligus ibu bagi anak – anaknya, sebaliknya I Gede basur dan I Wayan Subandar tidak bisa. Anak terlepas dari harapan orang tuanya. Anak berjalan menuruti keinginanya sendiri – sendiri. Kepedulian terhadap keluarga dan lingkungan sosial budaya hampir tidak ada. Sosok ibu tidak masuk dalam hati anak. Inilah dampak dari ayah yang tidak bisa mengambil peran ganda.
            Ki Dalang Tangsub lebih menonjolkan peran ayah dalam mendidik anak. Untuk itulah, tokoh ibu tidak dimunculkan. Atau boleh dikatakan, Ki Dalang Tangsub ingin menyampaikan bahwa pertama, seorang ayah bisa mendidik anaknya, dengan beragam resikonya; kedua, seorang suami  yang ditinggal pergi oleh istrinya tetap setia dan memiliki tanggung jawab untuk membesarkan serta  menjaga anak – anaknya; ketiga, cinta seorang ibu tidak dapat digantikan oleh seorang ayah; keempat, anak yang kurang dekat dalam kehidupan keluarga bisa berbuat sesuai dengan keinginannya.

Ayah di Mata Anak
            Seorang ayah di mata anaknya bisa menjadi tokoh idolanya atau bisa juga sebaliknya. Anak membenci ayahnya. Sosok I Nyoman Karang dan I Made Tirtha dianggap sosok ayah yang diidolakan oleh anak – anaknya. I Nyoman Karang termasuk orang yang berhasil mendidik anak – anaknya. Ni Sokoasthi dan Ni Rijasa tumbuh menjadi anak – anak yang berkarakter luhur. Keseimbangan menjalankan perintah agama, misalnya bersembahyang, peduli dengan lingkungan sosial, tidak merasa hebat, hendaknya rendah hati masuk dalam pikiran dan perasaannya, jangan ego menjadi anak: eda emed malajah nyastra, sai – sai palajahin, anggon manyuluhin raga, ala ayu né katepuk, ring sekala lan niskala, nging eda banggi, wiréh ngelah kawisésan ( jangan jbosan – bosan untuk belajar sastra, setiap hari dipelajari, pakai mengintrospeksi diri, baik buruk akan ketemu, di sekala dan niskala, dan juga jangan ego, merasa memiliki kemampuan).
            Seorang anak yang disuruh agar belajar terus tentulah dimulai dari orang tuanya. Contoh terdekat adalah orang tuanya. Jika orang tuanya terbiasa disiplin belajar sedikit tidaknya akan memengaruhi anaknya. Amatlah jarang ditemukan jika orang tuanya enggan belajar lantas anaknya besikeras untuk belajar. Ayah yang baik tentulah sebagai contoh bagi anak – anaknya. Ki Dalang Tangsub mewakilkannya lewat tokoh I Nyoman Karang. Ayah yang ideal baginya adalah dekat dengan anak, rajin berkomunikasi dengan anak, dan juga gemar belajar.
            Hal berbeda terjadi pada tokoh Gede Basur. Basur hampir tidak pernah memberikan nasihat – nasihat etis moralis. Tigaron diberikan kebebasan bergaul dengan siapa pun. Kepedulian terhadap perkembangan anaknya hampir tak pernah dihiraukannya. Anak mencari – cari tokoh yang bisa diijadikan panutan. Akan tetapi, Tigaron tidak menemukannya. Tigaron bertindak sesuai dengan keinginannya. Setelah remaja, I Gede Basur tidak mampu memberikan yang diminta oleh anaknya untuk meminang Ni Sokoasthi barulah disadari keterlambatannya dalam mendidik anaknya. Nasihat – nasihatnya setelah I Tigaron menderita tekanan batin akibat tidak berhasil meminang Ni Sokoasthi :lamun sadia suba bakat, melahang cening ngayumin, eda mlajah mamotoh, eda jedig mamunyi jendul, somahé déwa sayangang, sai –sai, patepetin apang melah ( kalau berhasil dan diterima, jagalah Anakku membinanya, jangan belajar berjudi, jangan ego berbicara marah, istrimu disayangi, setiap hari, diusahakan terus agar rukun).
            Nasihat – nasihat itu tidaklah seberapa meresapnya jika dibandingkan dengan membiasakan mulai dari kecil. Kebiasaan yang benar ditanamkan semenjak awal secara tidak langsung akan menjadikan anak menyadari hakikatny sebagai manusia.Kesalahan mendidik anak tampak setelah anak menginjak remaja. Masa – masa kritis bagi seorang remaja. Tidak jarang remaja terjerumus karena salah dalam menyikapi sebuah keputusan. Keputusan yang salah umumnya disesali setelah terjadi sesuatu. Sering penyesalan selalu datang terlambat.
            Yang paling berat adalah tokoh Ni Garu. Garu, seorang perempuan yang berani bertindak sesuka hatinya. Ia keluar dari koridor kebiasaan umum. Setiap yang ada dalam hatinya itulah yang diusahakannya. Ia tak peduli apakah orang lain suka ataukah tidak? Baginya, kebebasan berpikir, berbuat, berbicara itulah yang lebih utama. Tokoh ini memang tidak digambarkan mendapatkan sentukan kasih sayang dari orang tuanya, I Wayan Subandar. Ia langsung melesat sesuai dengan keinginannya. Ni Garu  berjalan sesuai dengan kebiasaannya. Harga diri Garu dilecehkan. Akan tetapi, dari pelecehan – pelecehan yang diterimanya, Garu bangkit dan menunjukkan Garu yang sebenarnya. Garu mampu merubuhkan orang – orang yang merasa kuasa terhadap dirinya. Dan memperlihatkan bahwa dirinya juga berkuasa: Buka patpat ngelah roang, pada mapitulikur siki, yéning kumpulang punika, dadi ia satus kutus, kéto Garu eda sangsaya, nah né jani, alih I Basur pejahang ( keempatnya memiliki pengikut, sama – sama dua puluh orang, kalau disatukan itu, menjadi seratus delapan, begitulah Garu jangan ragu, dan sekarang, cari I Basur bunuhlah).
            Garu menunjukkan dirinya wajar diperhitungkan sekaligus memberikan pembelajaran pada sosok laki – laki dalam hal ini diperankan oleh Basur agar jangan menganggap rendah terhadap seorang perempuan. Kekuatan dan kemampuan perempuan setimpal bahkan lebih dibandingkan dengan laki – laki.
Karakter – karakter yang diungkapkan dalam Geguritan Basur secara tidak langsung mengungkapkan karakter manusia. Manusia  berada dalam dua sisi kehidupan. Kemampuan memilih dan memilah yang benar serta  berguna  itulah yang diperlukan sehingga kehidupan dapat berjalan harmonis.
           

Labels: