Etika Wicara Tokoh Basur
IBW Widiasa Keniten
Berbahasa
memerlukan sebuah etika. Keteraturan dan tatakrama berbicara berdampak pada
mitra tutur. Dampak itu bisa melekat pada mitra tutur. Tidak jarang sebuah
perselisihan akibat dari bahasa yang terucapkan. Sebuah kata terucap kurang
tepat , akan memengaruhi psikhis orang yang mendengarnya. Dampak psikhis ini
bisa berupa ketersingungan yang
berakibat pada permusuhan.
Untuk itulah,
berwicara hendaknya memperhatikan etika. Minimal siapa yang diajak berwicara?
Apa yang disampaikan,? Apa tujuan penyampaiannya ? Ada apa dibalik yang
terucapkan? Seseorang yang memahami etika wicara berusaha yang disampaikannya
berjalan di dalam koridor kebenaran. Artinya, berusaha memperkecil
ketersingungan pada orang lain ( mitra tutur).
Bahasa sebagai
sarana komunikasi tidak bisa dipungkiri lagi. Melalui kekuatan bahasa seseorang
bisa menyampaikan ide, gagasan, sikap
kepada orang lain. Konsep mengodekan kode bahasa kepada orang lain, baik itu
pendengar maupun membaca. Pembaca dalam pikirannya akan mendekodekan lagi.
Proses ini berjalan antara penutur dengan mitra tutur.Dalam kenyataannya tidaklah
semua yang terkonsep dalam pikiran pembicara, penulis dapat tersalurkan melalui
bahasa atau boleh dikatakan bahasa sendiri memiliki beberapa kelemahan.
Kelemahan – kelemahan bahasa bisa dari internal bahasanya maupun dari unsur
pendukung bahasa, misalnya faktor sosial yang beraneka ragam.
Sebuah tuturan
lisan maupun tulis seorang pembicara maupun penulis amat memperhitungkan aspek
etika berwicara. Dengan bahasa yang
beretika manis didengar sehingga mitra
tutur tidak merasa disakiti hatinya. Dalam Hindu, Kekawin Niti Sastra, ada konsep penggunaan bahasa yang
amat mulia. Dari berbahasa akan mendapatkan kebahagiaan ( manemu laksmi), mendapatkan
penderitaan ( manemu duhka), mendapatkan sahabat, teman , dan merukunkan
persaudaraan ( manemu mitra) dan bahasa juga dapat mendapatkan bahaya ( pati
kapangguh). Tampaknya dalam Geguritan Basur kemampuan, kemauan berbahasa yang beretika inilah amat
ditekankan.
Beberapa tokoh tidak bermain – main dengan
bahasa karena menyadari kesalahan berbahasa akan berakibat fatal. Dampak yang
ditimbulkan dari bahasa yang terucap bisa selamanya. Dampak itu itu bisa
positif maupun negatif. Dampak positifnya seperti yang tertera dalam Niti
Sastra ( manemu laksmi dan manemu mitra) dampak negatifnya ( manemu duhka dan
pati kapangguh). Tokoh – tokoh dalam Basur benar – benar menghargai hakikat
bahasa sebagai sarana komunikasi. Maka, dipilihlah etika dalam berbahasa. Etika
menghargai mitra tutur. Mitra tutur sebagai penguasa atau orang yang disegani
ataupun sebagai saudara ataupun terhadap anak.
Beretika dalam Wicara
I Nyoman Karang menyadari
kekuatan dari sebuah pembicaraan.Karena itu ia amat beretika dalam berwicara.
Etika wicara ini berkaitan dengan norma – norma sosial dan sistem budaya yang
berlaku dalam suatu masyarakat ( Abdul Chaer,2010 : 6 ). Wicara yang keluar
hendaknya berasal dari kebenaran bukan dari kemampuan membohongi orang lain dengan
bahasa. Bahasa yang kotor datangnya dari pikiran yang kotor juga. Saat tertawa
pun ada etikanya. Tertawa yang kurang tepat bisa membuat orang lain
tersinggung. Misalnya, saat orang bersedih hendaknya tertawanya jangan sampai
keras – keras agar jangan dianggap tak bisa menjaga mulut. Berbicara dengan
jelas, tegas, pasti tidak mengada - ada
apalagi dalam berbicaranya ingin membohongi mitra tutur hendaknya dijauhkan
lebih – lebih pada orang yang patut dituakan. Bahasa yang digunakan benar –
benar dipilih dan terpilih : eda bogbog
mudah raos, kedéké depang tunain, alepang déwa sekenang, mamunyi eda samar
saru, eda linyok ring braya, para wargi, ring rerama tulah bahana ( jangan
berbohong mudah berbicara, tertawa perlu diperhatikan, beretika engkau
hendaknya, berbicara jangan tidak jelas, jangan berbohong pada orang lain, pada
orang – orang, pada tetua karena berani dampaknya ).
Dari petikan di
atas, I Nyoman Karang amat mewanti – wanti agar anaknya ( Sokoasthi dan Ni
Rijasa) menjaga betul bahasanya. Bahasa yang kurang tepat saat diucapkan akan
membuat mitra tutur menjadi kurang segan terhadap kita. “ Mulutmu harimaumu” pepatah
itu tampaknya tepat digunakan untuk melukiskan harapan dari I Nyoman Karang. Ia
tidak ingin anaknya menemui bahaya dari bahasa yang diucapkannya.
Sedari kecillah sudah ditanamkan agar bisa
berwicara yang beretika, secara santun. Pembiasaan berwicara yang beretika yang
santun akan melekat pada diri anak dalam perkembangan selanjutnya. Kesantunan
wicara ini sebenarnya secara tidak langsung menghormati diri sendiri atas
kemampuan berbahasa yang dimilikinya. Hatilah – hatilah dengan mulut. Sekali
mulutmu tak benar akan menghilangkan kepercayaan mitra tutur. Lebih – lebih
setelah anaknya menginjak remaja. Masa – masa kritis sebagai remaja disadari
oleh I Nyoman Karang. Banyak pria yang akan menggoda dan saat itu perlu benar
memerhatikan kesantunan saat menolak lamaran. Anak bagi I Nyoman Karang adalah
representasi dari orang tuanya. Tidak jarang perilaku seorang anak,
dibandingkan dengan orang tuanya. Seakan – akan karakter orang tua tercermin
dari anaknya. Untuk itulah I Nyoman Karang mewanti – wanti agar anaknya bisa
menjaga harga dirinya, keluarganya.
Sebuah keluarga bisa hancur karena kelakuan seorang anak begitu juga
sebaliknya.Kemuliaan keluarga bisa disebabkna oleh perilaku seorang anak.
Etika Wicara Menolak
Lamaran
Menyampaikan
lamaran pada orang lain amat memerhatikan bahasa. Terkadang dipilih orang –
orang yang yang mampu berbahasa dan dipercaya mampu menyelesaikan sebuah
lamaran secara mudah dan meringankan hati, perasaan, dan pikiran. Melamar
seorang gadis tidaklah mudah. Terkadang sebuah lamaran bisa batal karena faktor
bahasa yang tidak berkenan dengan yang punya anak gadis.
Seorang yang
melamar dan merasa yakin akan kemampuan
berbahasa bisa langsung dari orang tua si pria. Seperti I Gede Basur, ia merasa
yakin karena kemampuan dan kelebihan – kelebihan yang dimilikinya selama ini.
Siapa pun tidak akan berani menolak yang dikehendakinya. Akan tetapi, dalam
kenyataannya ada yang tidak terkena dampak dari kekuasaan I Gede Basur. I Nyoman
Karang, misalnya. Basur melamarkan I
Tigaron ( anak kesayangannya) agar Nyoman Karang bersedia bermantukan dirinya :
beli tuah nunas ica, pianak cainé
Sokoastihi, beli ngidih pepatutan, I Tigaron anggén mantu, kanggo cai ngawé
wenang, eda metari, keneh cainé kanggoang ( saya minta kesediamu, anakmu
Sokoasthi, saya minta yang sebenarnya, I Tigaron jadikan mantu, terserah padamu
yang berkuasa, jangan memberi tahu, pikiranmu saja dipakai). Tampaknya I Gede
Basur terbiasa dengan kesewang- wenangan dalam bersikap dan berbahasa. Sikap
otoriter ingin diterapkan pada Nyoman Karang, sedangkan Nyoman Karang menyadari
sikap itu tidak berterima pada dirinya maupun pada orang lain termasuk pada
anaknya, Ni Sokoasthi.
Nyoman Karang yang
pintar mengolah bahasa mampu menolak lamaran I Gede Basur dengan teramat
santun. Harapannya tidak terjadi kesalahpahaman dengan I Gede Basur. Nyoman
Karang mengetahui Basur punya beberapa kelebihan yang tidak dimiliki oleh
Nyoman Karang. Pengolahan bahasa dipakai untuk menolaknya: I Nyoman Karang angucap, apa kéman tiang beli, sampunang jua gegésonan,
apan kekuasan ipun, titiang kari mapuilangan, kéto beli, sadya tan sadya
druwénang. ( I Nyoman Karang menyahut, apa kewenangan saya, Kakak, janganlah
terlalu cepat, karena ia ( Ni Sokoasthi yang menentukan, saya masih bertimbang,
begitulah Kakak, diterima ataukah tidak sama – sama dimaklumi).
Sikap I Nyoman
Karang benar – benar santun, beretika saat menolak lamaran I Gede Basur. Ia tidak
berani mengambil sikap yang arogan meski terhadap anaknya sendiri. Anak berhak
memilih dan menentukan pilihannya sendiri. Itulah yang diharapkan oleh I Nyoman
Karang. Akan tetapi, Basur tidak seperti itu. Setiap yang dikehendakinya mesti
dituruti. Sikap penolakan ini dilakukannya karena ingin menghargai anaknya yang
juga punya sikap.
Etika Mengalihkan Wicara
Seorang penutur terkadang
terjadi pergolakan dalam dirinya antara dirinya dengan kepentingan orang lain.
Penutur yang piawai mengolah bahasa akan berusaha mengalihkan arah wicaranya
sehingga tokoh yang diajak berbicara terlebih dahulu tidak merasa terganggu
harga dirinya. Prinsip kesopanan juga berlaku dalam pemikiran tokoh. Kesopanan
dalam wicara menyangkut kebijaksanaan, kemurahan, penerimaan, dan kerendahan
hati ( F.X. Nadar, 2009:29).
Dengan menerapkan prinsip berwicara
seperti ini diharapkan tidak ada ketersingungan akibat wicara yang diujarkan.
Tokoh Nyoman Karang saat mengalihkan wicaranya dengan menyapa I Made Tanu
dengan menanyakan dari mana datangnya? Sebuah pembuka pembicaraan kepada
seorang tamu yang bertandang ke rumahnya. Etika sebagai tuan rumah maupun
sebagai tamu secara sosial terpenuhi : Madé
uli dija busan, I Madé Tanu nyaurin, Beli titiang uli jumah, Nunas ica
kapilulut, I Thirta ia jumah juang, bangiang driki, Ni Sokoasthi tunas titian (
Made dari mana tadi, I Made menjawab, Kakak saya dari rumah, minta tolong
terikat cinta, I Thirta ia ambil, biarkan di sini, Ni Sokoasthi saya pinang).
I Made Tanu
sepertinya tidak memperhitungkan Gede Basur yang terlebih dulu datang untuk
meminang Ni Sokoasthi. Kurang perhatiannya terhadap harga diri I Gede Basur
sebagai tokoh yang disegani tidak dipedulikannya lagi. Semua berhak untuk
menyatakan simpatinya dan permintaannya pada I Nyoman Karang. Kemampuan
berbahasa I Made Tanu sangat apik. Kerendahhatian ia gunakan untuk meruntuhkan
hati I Nyoman Karang dengan berucap,” I
Madé Thirta bangiang driki” I Thirta biarkan di sini ( di rumah I Gede
Basur). Sebuah teknik memengaruhi I Nyoman Karang agar menaruh simpati pada
dirinya.
Sokoasthi Sang Pelanggar
Etika
Pada saat berwicara inilah terjadi konflik
dalam diri tokoh. Tokoh Basur, tokoh I Nyoman Karang, tokoh Made Tanu, dan juga
tokoh Ni Sokoasthi. Ucapan Sokoasthi yang kurang beretika berakibat fatal. Inilah
awal dari sebuah permusuhan karena bahasa yang keluar dari mulut kurang
beretika.
Seseorang yang lebih dulu datang
semestinya diberikan penghargaan lebih dibandingkan dengan yang datang
belakangan. Agaknya, Sokoasthi tidak menyadari dampak dari ucapannya yang
menyuruh Made Thirta datang ke rumahnya. Penolakan Sokoasthi, secara tidak
langsung mengatakan bahwa I Tigaron tidak pantas mendampingi dirinya. Atau,
Made Thirtalah pria yang dia pilih. Sebuah wicara yang tidak diharapkan oleh I
Gede Basur. Jika Sokoasthi menyadari bahaya yang ditimbulkan akibat wicaranya,
niscaya Basur tidak naik pitam. Basur datang dengan maksud menyampaikan isi
hati anaknya lantas dirinya dilecehkan di hadapan orang lain. Ia yakin bahwa Ni
Sokoasthi tidak akan melakukan tindakan yang kurang beretika. Lebih – lebih Ni
Sokoasthi dikenal sebagai perempuan berbudi. Perempuan yang bisa menghargai
orang tua. Perempuan yang penuh tatakrama dalam berwicara. Akan tetapi, dalam
kenyataannya bisa berlaku kurang etis.
Sebuah wicara yang tidak beretika
dilakukan oleh Ni Sokoasthi: Ni Sokoasthi
raris ngucap, kema suba bapa mulih, tundén mai belin titian, ngudiang jumah
tuah mangulgul, ajak mai énggal – énggal, raris mulih, tan kacrita di jalan ( Ni Sokoasthi selanjutnya berucap, silakan ayah
pulang, suruh kemari kakak saya ( I Thirta) , kenapa di rumah hanya mengganggu,
ajak kemari cepat – cepat, selanjutnya pulang ( I Made Tanu), tidak diceritakan
di perjalanan).
Menyuruh orang lain ( I Thirta) agar datang
ke rumahnya menandakan kurang berharganya Basur di hadapan dirinya. Padahal,
berasal dari keluarga yang menjaga etika saat berwicara. Basur tidak terima
akan sikap Ni Sokoasthi. Seorang yang terpelajar tidak beretika saat berwicara.
Basur Dilecehkan
Sikap Ni Sokoasthi
dengan mengalihkan arah pembicaraan yang dalam inti pembicaraan berisi penolakan
terhadap permintaan I Gede Basur. Basur sebagai orang tua merasa dirinya
dilecehkan. Tamu yang datang belakangan diresponnya berlebihan, sedangkan
dirinya dianggapnya tidak punya arti. Basur menyadari bahwa permintaannya tidak
berterima. Sebagai orang tua, ia tidak terima akan sikap Nyoman Karang dan Ni
Sokoasthi . Wajarlah Basur marah. Sebagai manusia yang punya harga diri, Basur
meninggalkan tempat kediaman Nyoman Karang :
I Gedé Basur ia érang, gelis budal tan papamit, sarauhé maring umah, I Tigaron
gelis matur, kénkén bapa sida karya, jua mamadik, reramannya jengah ngucap
( I Gede Basur ia merasa jengkel, selanjutnya kembali pulang, sesampainya di
rumah, I Tigaron cepat berkata, bagaimana Ayah berhasil? saat meminang, ayahnya
marah berucap).
Berwicara yang
tidak beretika membuat hubungan sosial bisa terputus.Etika saat berwicara
hendaknya benar – benar diperhatikan agar mitra tutur tidak merasa tersinggung.
Ketersingungan membuat hubungan sosial akan tidak berjalan harmonis. Sebuah
komunikasi sosial akan berjalan maksimal jika penutur dan mitra tutur ada
saling pengertian. Etika wicara membuat
mitra tutur merasa dihargai harkat dan martabatnya sebagai manusia.
Labels: Esai