Inter
dan Antargeguritan Basur
Oleh IBW
Widiasa Keniten
Geguritan berasal
dari kata gurit bermakna ‘ gubah; karang; sadur’ . Geguritan adalah cerita
dalam bentuk puisi yang dapat dinyanyikan ( Kamus Bahasa Bali Indonesia, 2005 : 289) . Geguritan sebagai
salah satu karya sastra tradisional memiliki ciri tersendiri. Pertama, geguritan terikat pada
jumlah larik dalam satu bait / pada.
Kedua, tiap – tiap bait jumlah larik atau barisnya dalam hitungan tertentu,
misalnya ginada, satu bait berjumlah
tujuh larik atau baris. Ketiga, jumlah suku kata dalam tiap larik mengikuti
hitungan yang tetap, misalnya, delapan suku kata baris pertama. Keempat,
persamaan bunyi atau rima akhir yang selalu sama dalam bait – bait berikutnya,.
Ginada,
misalnya baris pertama 8-a,baris kedua
8-i, baris ketiga 8- a, baris keempat 8-u, baris kelima 8-a, baris keenam 4-i, baris ketujuh 8-a. Aturan – aturan itu bersifat baku.
Terkadang seorang penulis geguritan
melakukan perubahan ucapan terutama pada bunyi terakhir karena terbentur pada
bunyi rima akhir, misalnya / punika /
karena terbentur bunyi diubah menjadi / puniku
/ yang bersinonim bermakna ‘ itu ‘ Hal ini dilakukan karena kesulitan mencari
padanan kata yang tepat untuk kata yang dimaksud. Meski seorang penulis
geguritan hendaknya memiliki beragam kosakata, kaya akan rasa kata, dan makna
kata. Penulis juga mengalami kesulitan dalam mencari kata yang tepat mewakili
makna yang dimaksud.
Geguritan Basur
Geguritan Basur sebagai karya
seni banyak menginspirasi seniman – seniman lain. Geguritan ini telah digubah
menjadi seni pertunjukan drama tari arja. Geguritan ini memuat perjalanan
mistis sang tokoh, utamanya Basur. Basur diidentifikasikan sebagai simbol tokoh
yang mendalami ilmu hitam. Ilmu yang dipertentangkan dengan ilmu putih. Ilmu
ini sering diistilahkan dengan penengen
dan pengiwa ( kanan dan kiri).
Geguritan Basur umum dikenal
ditulis oleh Ki Dalang Tangsub.
Geguritan Basur salah satu dialihbahasakan oleh W. Simpen AB
yang termuat dalam Kidung Prembon. Sesuai dengan namanya Kidung Prembon memuat
beberapa subjudul geguritan antara lain Geguritan I Ketut Bagus, Geguritan Siwa
Tiga, Geguritan Basur, Geguritan I Ketut Bungkling, Kidung Cowak.
Kidung Prembon berbentuk cerita
berbingkai. Dalam akhir cerita dilanjutkan dengan cerita baru. Tukang ceritanya
dalam Kidung Prembon berganti – ganti
antara pria dan perempuan. Ini sebagai salah satu kekhasan dari Kidung Prembon.
Geguritan Basur juga
dialihbahasakan oleh Made Sanggra. Made Sanggra tahun 1988 yang diterbikan oleh
Cempaka 2 tidak menyebutkan sumber
lontar yang ditranskripsikan. Hanya menuliskan ditranskripsikan dari lontar.
Siapa pemilik dan penulis Geguritan Basur itu tidak disebutkan. Akan tetapi,
pada Geguritan I Gede Basur yang
diterbitkan oleh Wahana Dharma Sastra, Sukawati tahun 2006 disebutkan
penulisnya Ki Dalang Tangsub. Sumber lontar yang ditransiliterasikan dari koleksi Bli Made Rupag. Berarti Ki Dalang Tangsub menulis dua Geguritan
Basur.
Kedua geguritan ini menarik untuk
diapresiasi dan dibandingkan mengingat judulnya sama Geguritan Basur. Akan
tetapi, setelah dibaca kedua geguritan ini ternyata banyak terdapat perbedaan –
perbedaannya.
Intergeguritan Basur
Kedua Geguritan Basur ini
menggunakan tokoh utama I Gede Basur. Tokoh Basur berkeinginan meminang anak I
Wayan Karang, Ni Sokasti untuk I Tigaron.
Akan tetapi, cinta maksud I Basur
ditolak baik oleh I Wayan Karang maupun oleh Ni Sokasti. Yang paling
manyakitkan Ni Sokasti jelas – jelas mengatakan menaruhhati pada I Tirtha, anak
dari Made Tanu. I Gede Basur merasa dipermalukan. Ia pulang dan menyampaikan
pada anaknya I Wayan Tigaron. I Tigaron tidak terima. Ia mempengaruhi
ayahnya, I Gede Basur agar membunuh Ni
Sokasti. Ni Sokasti diselamatkan oleh seorang balian. Keduanya bertempur. Masing – masing mengatakan
kelebihan dan kelemahannya. Keduanya
sepakat untuk menjalani tugas dan kewajibannya masing – masing. Tidak
ada yang menang dan tidak ada yang merasa dikalahkan. Dialog terjadi lewat ilmu
mistis.
Suasana mistis
dalam cerita dari awal sudah kelihatan. Mulai dari meninggalnya ibunya, Ni
Sokasti. Ilmu – ilmu gaib seperti bukan lagi asing untuk digunakan. Ini juga
sebagai penanda pengarang menyenangi ilmu mistis. Penulis mampu memasukkannya ke dalam tokoh. Seakan – akan ilmu pengleakan yang dijalankan oleh I Gede Basur
berdampak tidak baik. Jika dicermati sebenarnya awal penggunaan ilmu itu karena
ketersinggungan saja. Sikap Ni Sokasti dan I Wayan Karang yang tidak berterima
di hati I Gede Basur. Jika tidak ada ketersinggungan, tentulah I Gede Basur
tidak akan melakukan untuk menyakiti Ni Sokasti : Ni Sokasti ia tuara lega, ngawé
wirang sakit ati, bapa nyadia ngualesang, lamakané uug empung, meneng déwa eda
nguérayang, yan tan mati, nora purna manah bapa. Artinya, Ni Sokasti tidak bersedia
menerima, membuat sakit hati, ayah bersedia membalas, agar hancur lebur,
diamlah anakku jangan bertindak, jika tidak mati, tidak akan sepurna perasaan
ayah.
Kedua Geguritan ini
sama – sama menggunakan pupuh ginada. Pupuh ginada sering digunakan untuk
menggambarkan tokoh yang sedang bersedih. Ginada dari kata dasar gada, mendapatkan sisipan /in/ menjadi
ginada dimaknai dipukul.Ginada Basur digunakan jika alur cerita berkaitan
dengan hal – hal mistis. Suasana menyeramkan terdengar jika melantunkan tembang
yang cocok dengan Ginada Basur.
Antargeguritan Basur
Beberapa perbedaan yang terdapat dalam
geguritan Basur.
Pertama, jumlah bait atau pada tidak sama. Geguritan Basur pada
Kidung Prembon terdiri atas 79, sedangkan Geguritan Basur yang
ditransliterasikan oleh Made Sanggra 149 pada. Berarti lagi setengahnya
dibandingkan dengan Geguritan Basur pada Kidung Prembon. Selisihnya 70 bait.
Kedua, ada penambahan tokoh, yaitu tokoh Ni
Garu dan alur pada Geguritan Basur yang ditransliterasikan oleh Made Sanggra.
Jika pada Geguritan Basur dalam Kidung Prembon, tokoh Basur tidak mati,
sedangkan pada Made Sanggra tokoh Basur mati. Basur dikalahkan oleh Ni Garu
juga karena sakit hati tidak diterima oleh I Gede Basur sebagai mantu. Ilmu pengleakan I Gede Basur lebih
rendah dibandingkan dengan Ni Garu setelah mendapatkan anugerah dari Batari
Durga. Ada
menang kalah pada Geguritan Basur yang ditransliterasi oleh Made Sanggra,
sedangkan pada Kidung Prembon tidak ada yang merasa menang dan merasa
dikalahkan.
Ketiga, di dalam Geguritan Basur yang
ditransliterasikan oleh Made Sanggra tidak ada bait atau pada yang amat terkenal : Eda
ngadén awak bisa, depang anaké ngadanin, gaginané buka nyampat, anak sai tumbuh
luhu, ilang luhu ebuk katah, yadin ririh, liu enu palajahang. Artinya,
jangan merasa diri pintar, biar orang lain yang mengatakan, ibaratnya seperti
menyapu, setiap hari ada sampah, hilang sampah debu banyak, meski pintar, masih
banyak yang mesti dipelajari.
Dalam Kidung Prembon bait itu terdapat
pada bait kedelapan belas, bagian Geguritan Basur. Dalam Geguritan Basur maupun I Gede Basur yang
ditransliterasikan oleh Made Sanggra berbunyi :Eda emed malajah nyastra, sai – sai pelajahin, anggon manyuluhin raga,
ala ayu né katepuk, ring sekala lan niskala, nging eda banggi, wiréh ngelah
kawisésan. Artinya, jangan jenuh belajar sastra, setiap hari pelajari,
pakai menerangi diri, buruk baik yang ditemui, di sekala dan niskala, dan
jangan sombong, karena memiliki kemampuan.
Keempat,
berarti ada bait atau pada yang sama dalam kedua geguritan ini, ada yang
tidak atau dikembangkan dari geguritan Basur yang ada pada Kidung Prembon dan
ada juga bait atau pada yang tidak
ditulis lagi.
Geguritan Basur Sebagai
Hipogram
Geguritan Basur yang terdapat
dalam Kidung Prembon sebagai hipogram dalam menciptakan Geguritan Basur yang
kedua. Hipogram adalah teks yang menjadi latar penciptaan teks lain. Hipogram
dapat ditampilkan bersifat potensial yang berupa teks dan alam atau dalam
kehidupan sehari – hari , bahkan terimplikasi maknanya dalam konvensi bahasa
serta ada bersifat aktual yang berupa teks – teks lain atau yang ada sebelumnya
( Gede Gunatama, Semiotika Riffaterre dalam Warisan dan Aku sebagai
Hipogramnya, Jurnal Prasi, Vol.3, 2005 : 32) .
Geguritan Basur yang ditransliterasi oleh
Made Sanggra belakangan ditulis setelah
Geguritan Basur yang ada pada Kidung Prembon. Hal ini terbukti dengan
penambahan bait, tokoh, dan alur pada Geguritan Basur yang ditransliterasi oleh
Made Sanggra. Dan yang menarik adalah bait atau
pada yang memuat ungkapan eda ngadén awak bisa tidak ditulis lagi.
Bisa jadi penulis tidak mengetahui bahwa
ungkapan eda ngadén awak bisa memuat
renungan yang amat mendalam.
Geguritan
Basur ada kemiripan dengan kisah
Calonarang yang sama – sama menonjolkan unsur – unsur mistis. Calonarang
menokohkan perempuan, sedangkan pada Basur menokohkan pria. Ada
semacam pembalikan kisah di Jawa agar membumi di Bali.
Nama – nama tokoh pun disesuaikan dengan nama yang umum di Bali.
Penulis Geguritan Basur ingin menyampaikan bahwa di Bali
pun ada ilmu seperti yang ditulis dalam kisah Calonarang. Artinya, ilmu hitam –
putih tidak hanya ada di tanah Jawa.
Perempuan Lebih Unggul
Geguritan Basur menandakan
bahwa seorang perempuan itu lebih unggul dalam ilmu pangeleakan.
Tokoh Ni Garu yang dihadirkan oleh pengarang
mempunyai kemampuan yang melebihi I Gede Basur. Basur sebagai seorang pria
tidak mampu mengalahkan ilmu yang dimiliki oleh Ni Garu : Buka
patpat ngelah roang/ pada mapitulikur roang/ yening kumpulang punika/ dadi ia
satus kutus/ ketoGaru eda sangsaya/ nah néjani/ alih I Basur pejahang// Artinya,
keempatnya memiliki pasukan, sama –sama dua puluh tujuh orang/ jika dikumpulkan
itu, menjadi seratus delapan/ begitulah Garu jangan ragu, cari I basur lalu
bunuh.
Ni Garu bukanlah seorang perempuan yang
bersikap mengalah. Ia ingin membuktikan bahwa seorang perempuan layak untuk
diperhitungkan bahkan mampu mengungguli seorang pria.
Perbandingan Ilmu I Gede Basur dengan I Garu
No
|
Nama Tokoh
|
Nama Ilmu Pangleakan
|
Jumlah pasukan
|
1
|
I Gede Basur
|
Bajera Kalika
|
100 orang
|
2
|
Ni Garu
|
Aras Ijo Maya.
Garuda Putih, I Campur Tala, I Anggrek, I Kebo Wangsul, I Cambra
Berag, I Gringsing, I Bintang Sumambang, I Suda Mala, Pudak Sategal, I
Sampir, I Waringin Pitu, Blegod Dawa, Jaka Tua, I Pering, Ratna Pajajaran,
Sampian Emas, Kebo Komala, I Misa Wedana, I Leyak Gundul, I Lenda, Jaran
Guyang, I Lendi, I Wedus, Wek Sirsa.
I Jaya Satru,
I Inggo,
Nyoman Numit.
I Ketut Belog
|
1.600 orang
27 0rang,
27 orang,
27 orang
27 orang
|
Berdasarkan tabel
di atas, dapat dikatakan bahwa I Basur
kalah jauh dibandingkan ilmu yang dimiliki oleh Ni Garu. Ini juga mengilustrasikan bahwa Ni Garu
sebagai seorang perempuan dengan usaha
yang sungguh – sunggsuh dapat menguasai ilmu di atas dengan baik. Seorang
perempuan mampu tidak bisa dipandang dengan sebelah mata dalam bidang ilmu pangleakan.
Nilai – nilai Moral
Geguritan Basur menarik untuk dibaca terdapat
nilai – nilai moral yang membuat lebih menyadari hakikat dari kehidupan.
Timbang rasa dalam mengambil sebuah keputusan ada di dalamnya. Kemarahan yang
sesaat dapat menghancurkan diri dan keluarga. Manusia tidak bisa lepas dari
godaan – godaan dunia yang jika tidak terpenuhi akan menimbulkan gejolak dalam
dirinya.
Kesombongan dan materi ternyata tidaklah selalu dapat
menyelesaikan masalah. Harga diri, kehormatan seorang perempuan tidak dapat
ditukar dengan harta. Perlu belajar menghargai seorang perempuan. Perempuan
juga memiliki kekuatan yang setara dengan pria . Perempuan tidak selalu lemah
atau terpinggirkan dalam mengambil keputusan.
Penulis adalah guru SMAN 2 Amlapura
Email:
ibw.keniten@yahoo.co.id
Labels: Artikel