Kekuasaan
Patriarki dalam Basur
IBW
Widiasa Keniten
Patriarki dapat dikatakan sebagai
salah satu bentuk kuasa ayah terhadap anak. Setiap keputusan berada pada pihak
ayah. Penghormatan,, penghargaan terhadap perempuan amatlah rendah. Patriarkhi lebih mendominankan pria dalam
mengambil sebuah kebijakan,atau sebuah keputusan. Keputusan yang diambil bisa membuat
orang lain menjadi lebih berharga bisa juga sebaliknya. Yang berbahaya dalam
patriarki adalah adanya kesewenang – wenangan dalam mengambil keputusan.
Segala ditentukan oleh yang berkuasa yang dituakan. Dalam pemikiran yang
dituakan terkandung pengertian, yang bersangkutan dianggap mampu untuk
memberikan jalan yang terbaik dari sebuah permasalahan.
Karya sastra merekam budaya patriarki. Baik dalam
karya sastra modern maupun dalam karya sastra klasik. Sehingga memunculkan
trend sastra gender atau feminis. Hal ini sebagai reaksi terhadap budaya
patriarkhi. Yang sering menjadi korban patriarkhi umumnya perempuan. Ada
semacam pandangan bahwa perempuan dianggapnya lemah. Padahal, dalam kenyataan
teramat banyak perempuan – perempuan yang tangguh. Dalam karya klasik misalnya,
Ratu Nateng Dirah, yang mampu menjadi penguasa terhadap ilmu pengeleakan. Meski begitu, masih juga
dalam perjalanan sastra sosok perempuan dijadikan korban kekuasaan pria.
Kekuasaan sering dimaknai secara sederhana sebagai suatu dominasi yang
dilakukan oleh orang lebih kuat secara fisik dan mental kepada orang yang lebih
lemah atau yang dilakukan oleh orang terkenal atau orang yang mempunyai posisi
sosial lebih tinggi kepada mereka yang memiliki posisi sosial lebih rendah.
Kekuasaan adalah suatu tingkatan yang dimiliki seseorang karena popularitas,
kekuatan fisik, atau manipulasi legal ( Johnson dan Freedman, 2005 dalam Endah
Tri Priyatni, 2010: 50)
Patriarki sebagai salah satu yang
menarik diungkapkan oleh pengarang. Pengarang secara tidak langsung
mengungkapkan kekhasan dan keunikan dari patriarki. Pemikiran untuk menguasai
yang lemah, memengaruhi agar mengikuti jalan pikirannya adalah penanda
patriarki. Hal ini sebagai salah satu penanda bahwa karya sastra memiliki
kekhasan dan keunikan masing – masing.
Setiap karya sastra berbeda satu dengan lainnya lantaran keunikan dan
kekhasannya. Dari berbagai unikum itulah hadir, menjelma kekayaan kultural,
keberagaman, heterogenitas ( Maman S Mahayana, 2007 : 2). Pengarang sebagai
makhluk sosial tidak akan bisa dilepaskan dari masyarakatnya. Kekayaan kultural
masyarakat diungkapkan ke dalam karyanya. Pengarang tidak jauh dari
masyarakatnya. Pengarang – lewat
karyanya mencoba mengungkapkan fenomena kehidupan manusia, yakni berbagai
peristiwa dalam kehidupan ini. Karena karya sastra berisi catatan, rekaman,
rekaan, dan ramalan kehidupan manusia, maka pada gilirannya, karya sastra,
sedikit banyak, acap kali mengandung fakta – fakta sosial ( Maman S. Mahayana,
2007: 226).
Patriarkhi Basur
Ki Dalang Tangsub dalam geguritan
Basur mengungkapkan budaya patriarki. Sosok Basur, I Nyoman Karang, Ki Balian, adalah sosok
tokoh yang berperan dalam mengintroduksi pemikikirannya agar diikuti oleh orang
lain dalam hal ini anak maupun orang yang lagi sakit. Kemampuan yang ditokohkan, diidolakan amat
dihormati, disegani. Agar menjadi orang yang disegani dihormati memerlukan
proses yang cukup panjang. Boleh dikatakan tokoh – tokoh di atas sudah melewati
beberapa ujian sehingga segala perintahnya meski diikuti dalam konteks
geguritan Basur oleh anak – anaknya.
Pengarang menampilkan anak –anaknya
karena anaklah yang paling mudah, paling dekat untuk dijadikan lahan dalam
penerapan pemikiran patriarki. Di samping menggambarkan bahwa anak wajar untuk
dikuasai dan sang ayah merasa memiliki kuasa. Jika ditilik tentulah tidak ada
kebebasan yang diberikan terhadap anak. Segalanya bersumber pada orang tua.
Orang tua menjadi titik sentrum dalam setiap pengambilan keputusan.
Yang paling menonjol memperlihatkan
kekuasaannya adalah I Gede Basur. Basur dianggap memiliki kelebihan – kelebihan
di antara orang – orang dewasa seusianya. Kelebihan itulah yang menyebabkan
dirinya seperti berlaku sewenang – wenang : Beli
tuah nunas ica, pianak cainé Sokasthi, beli ngidih papatutan, I Tigaron anggén
mantu, kanggo cai ngawé wenang, eda matari, keneh cainé kanggoang Saya ( Basur) minta kesedianmu, anakmu
Sokasthi, saya ( Basur) minta persetujuanmu, I Tigaron jadikan mantu, pakailah
kekuasaanmu, jangan member tahu, pikiranmu saja dijalankan).
I
Basur secara tersirat dan tersurat mengharapkan agar I Nyoman Karang mengikuti
jalan pikirannya. Pemaksaan dan tekanan, ancaman ada di dalamnya. I Nyoman
Karang menyadari dirinya lemah. Tidak akan mampu melawan kehendak , kemauan
dari I Basur. Basur memiliki kuasa. Perekonomiannya yang lancar sebagai
penopang bahwa Basur mampu bertindak sesukanya karena didukung oleh uang. Uang
menimbulkan kekuasaan model baru dalam diri Basur. Di samping itu, Basur menyadari dirinya memiliki kelebihan –
kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lain.
Ilmu dan uang dapat membuat orang mabuk
akan kekuasaan. Merasa diri paling hebat, paling tahu, paling mapan sehingga
ego tumbuh untuk melakukan penindasan kepada orang lain. Penindasan psikhis
lebih berat jika dibandingkan dengan penindasan fisik. Mental dan rohaniah
seseorang dapat berubah karena tekanan – tekanan dilakukan secara terus –
menurus sehingga dalam pikiran terbentuk sebuah sekemata ( pengalaman –
pengalaman ) baru yang berdampak dalam bersikap. Sikap tegas dan penolakan
merupakan salah satu alternatif untuk menyatakan identitas diri untuk melawan
meski segala resiko pasti akan didapatkan. Sebuah keberanian melawan adalah
tindakan terpuji karena harkat dan martabat sebagai manusia dilecehkan.
Penolakan I Nyoman Karang cukup unik. Ia memberikan segala keputusannya pada
anaknya: I Nyoman Karang angucap, apa
keman tiang beli, sampunang juga geéesonan, apan kakuasaan ipun, titiang kari
mapuilangan, kéto beli, sadya tan sadya druwénang ( I Nyoman Karang
berkata, apa guna diri saya, janganlah cepat – cepat, karena keputusannya, saya
masih bertimbang, begitulah kakak, bersedia tak bersedia milik bersama).
I Nyoman Karang tetap menghormati
anaknya dan memberikan kebebasan dalam menentukan sikapnya. Sikap berani
melawan pada diri Nyoman Karang dengan tetap menghormati I Gede Basur dengan
harapan tidak timbul ketersinggungan dalam diri I Gede Basur. Orang yang
memiliki uang dan kekuasaan cepat merasa tersinggung karena tidak mampu memilah
kepentingan dirinya dengan kepetingan orang lain, mengukur orang lain
berdasarkan ukuran sendiri.
Tokoh Balian Sadhu memiliki kuasa
terhadap Basur karena kemampuan ilmunya melebihi kemampuan Gede Basur.
Penempatan kekuasaannya cukup apik dan menarik. Tidak dilakukan dengan
kekerasan. Semakin bermoral seseorang lebih bisa menempatkan orang lain pada
tempatnya. Basur setelah kalah tidak direndahkan martabatnya. Balian Sadhu
menghargai orang yang sudah dikalahkan. Harga diri orang tetap menjadi
perhatiannya. Manusia meskipun sudah kalah harus tetap dihrmati, dihargai, dan
dikasihi, Balian Sadhu memahami dengan baik kemanusian seseorang:kéto Gedé nah resepang, beli manyayangang
cai, I Gedé Basur angucap, yadin kéto titian tinut, beli eda nguwérayang, kéto
Beli, sampunang ngarusak titiang ( Begitulah Gede toleng diresapkan, kakak
menyangi kau, I Gede Basur berkata, meski begitu saya seturut, kakak jangan
sewenang –wenang, begitu Kakak, jangan menyakiti saya).
Kekalahan yang dialami Gede Basur tidak
membuat harga dirinya direndahkan. Basur tetap sebagai manusia yang punya harga
diri. Keberhasilan Ki Balian Sadhu juga bukan membuatnya semakin merasa dirinya
hebat justru membuat dirinya semakin menyadari dirinya ada yang belum
dipahaminya. Manusia ada kelebihan dan kekurangannya. Menghormati orang lain
lebih utama daripada merasa menang.
Korban
Patriarki
Patriarki tenyata
menimbulkan korban. Korban yang paling dekat adalah anak. Karena orang tua
merasa mempunyai kuasa terhadap anaknya. Orang tua masih berperan dalam
memilihkan pasangan hidupnya. Tigaron diintimidasi agar mengalihkan
perhatiannya pada Ni Rumanis. Tigaron tidak bisa mengelak. Lebih – lebih I Gede
Basur menyuruhnya agar menikahi Ni Rumanis. Rumanis juga menerima.
Konsekuensinya harus bisa menerima kelebihan dan kekurangan Tigaron. Tigaron
juga berusaha menghilangkan perasaan cintanya pada Ni Sokasthi.Patriarkhi telah
mendorong laki – laki melakukan praktik – praktik dominanasi sehingga ia
menganggap perempuan merupakan pihak yang dikasai. Sebagai pihak yang dikuasai,
laki – laki memiliki anggapan bahwa perempuan itu penurut, mudah ditaklukkan,
pemegang urusan domestik, menyenangkan dan objek seks, serta objek kekerasan (
Adib Sofia, 2009: 65).
Penentuan pilihan ini banyak dipengaruhi
oleh I Gede Basur. Meski, dalam hatinya Tigaron tidak terlalu mencintai Rumanis
karena kuasa orang tualah sebagai penyebabnya: Ni Sokasthi nah engsapang, mirib Widhi manambakin, Ni Rumanis déwa
kanggoang, diapin burik masih luung, magaé anteng tur pradnyan, selem bangkit,
munyi manis kadi gula ( Ni Sokasthi tolong dilupakan, mungkin Hyang Widhi
menghalangi,Ni Rumanis diterima, meski cacar(tidak mulus ) mukanya juga cantik,
bekerja giat juga pintar, hitam manis, suaranya manis bak gula).
Tigaron tidak bisa mengelak karena
situasi dan kondisinya yang menyebabkan. Di satu pihak keinginannya
mempersunting Ni Sokasthi tidak terwujud. Dibandingkan tidak mendapatkan
pasangan dengan berat hati mengikuti pilihan orang tuanya ( Basur).
Keterbatasan dan ketidakberanian mengambil keputusan dari Tigaron disadari
betul oleh Basur. Anak yang selalu dimanja tidak akan berani mengambil sebuah
keputusan yang pasti. Karakter ketergantungan terhadap orang tua amat tinggi.
Kemandirian amat kurang. Menyadari akan kebiasaan anaknya yang tidak bagus
itulah, makanya Basur memberikan saran dan diikuti oleh Tigaron. Kekuasaan yang
dilatari dengan patriarkhi bisa mempengaruhi psikis anak. Anak selalu ragu
dalam mengambil sikap. Makanya, perlu keberanian dari anak dalam untuk
menyatakan bahwa dirinya berhak memilih dan berhak untuk menolak.
Garu juga mengalami dampak korban
dari kuasa patriarki yang sedikit berbeda.
Garu dihinakan oleh Gede Garu. Ia remehkan sebagai seorang perempuan. Harga
dirinya benar – benar berada di titik nadir. Harkat dan martabatnya direndahkan.
Garu diusir oleh Basur karena dianggap mengusik rasa cinta Tigaron. Akan
tetapi, Garu tidak menyerah.Ia menyatakan melawan terhadap sikap tidak
manusiawinya Basur. Garu merasa terpanggil untuk menyatakan dirinya sebagai
seorang perempuan yang tangguh.
Kekuasaan patriarki tidak hanya
memengaruhi anak juga berdampak pada orang lain. Sikap sewenang – wenang
menimbulkan akibat yang membekas pada kejiwaan anak. Anak tidak dapat
menentukan pilihannya. Rasa ketergantungan membekas sampai pada penentuan
sebuah keputusan. Anak yang selalu
dicekoki sedari kecil jiwa kemandiriannya tidak akan ditemukannya. Perlunya
sikap mandiri dan berani menyatakan sikap agar identitas dan kemanusiaan tetap
dihargai.
Labels: Artikel