Kontradiksi dalam Drama Men Tiwas dan Men Sugih
Oleh
IBW Widiasa Keniten
Sebuah drama anak – anak lebih mengarah pada dunia mendidik anak. Dengan
harapan, setelah membaca apalagi sempat menonton pementasannya diharapkan
terjadi perbahan moral, sikap, dan perilaku
ke arah yang lebih baik. Penanaman hal – hal baik hendaknya dilakukan
selagi dini. Kebiasaan – kebiasaan yang mengutamakan keutamaan moral, perilaku,
dan sikap semakin banyak dilihat, dibaca, dan didengar lambat laun akan
tertanam sikap – sikap yang santun terhadap sesama. Misalnya, naskah drama Men
Tiwa dan Men Sugih.
Naskah drma Men
Tiwas dan Men Sugih diangkat dari cerita rakyat. Drama ini ditulis oleh Ida
Bagus Anom Ranuara. Sebuah naskah drama yang dimainkan oleh anak – anak.Drama
yang menggambarkan sebuah kontradiksi terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Kontradiksi dimunculkan dalam nama tokoh, perwatakan tokoh, latar belakang sosial ekonomi tokoh, dan sikap
terhadap lingkungan hidup.
Kontradiksi Penamaan Tokoh
Penamaan tokoh yang jelas mempermudah
anak mengikuti alur drama. Anak akan terpengaruh oleh nama. Nama Men Tiwas, dan
Men Sugih, misalnya. Anak – anak dalam pikirannya terbayang seorang ibu yang
miskin dan seorang ibu yang kaya. Pola pemberian nama yang sederhana dan dekat
dengan anak akan lebih mudah mengingatnya dan lebih cepat memasuki perwatakan
dari tokoh yang dimaksudkan. Inilah kekhasan dari cerita rakyat. Nama sengaja
dipilih yang rada – rada unik jika dibandingkan dengan nama – nama tokoh drama
sekarang.
Pemberian nama yang
dengan latar sosial yang dekat dengan anak akan membuat drama itu semakin
dikenal dan anak – anak merasakan bahwa tokoh itu ada disekitar kehidupannya.
Tidak terlalu beban untuk mengingatnya.
Tokoh seorang ayah
juga diciptakan berkontradiksi, misalnya, Pan Tiwas dan Pan Sugih. Nama tokoh
ini menyesuaikan dengan nama tokoh ibu, Men Tiwas dan Men Sugih. Penamaan ini
mempermudah pemanggilan. Dalam kehidupan sosial digambarkan sebuah keluarga
yang dekat dengan kehidupannya. Jika kaya, diberi panggilan Pan Sugih dan Men
Sugih, Jika miskin, pan Tiwas dan Men Tiwas. Seakan – akan kehidupan sosial
ekonomi melekat dalam namanya. Tentulah ini berdasarkan pertimbangan yang logis
agar mudah, enak didengar. Meski tidak selamanya nama itu berkaitan langsung
dengan kehidupan sosialnya. Misalnya, namanya Sarjana belum tentu ia seorang
sarjana.
Tokoh anak juga
dibuat kontradiksi. Men Tiwas memiliki anak
I Polos dan I Lemet, sedangkan Men Sugih memiliki anak I Bagia. Anom
Ranuara menciptakan nama – nama yang sesuai dengan latar belakang sosial
ekonominya. Orang yang miskin, disimbolkan dengan polos, tidak terlalu banyak
tingkah, sedangkan orang kaya dibayangkan akan bahagia.
Kontradiksi Perwatakan
Perwatakan dalam tokoh juga
ditampilkan secara kontradiktif. Men Tiwas dan Pan Tiwas dilukiskan memiliki karakter yang bermoral,
tahu tatakrama, bisa menghargai orang lain. Bisa bersyukur terhadap karunia
sanghyang Widhi. Ini seakan menyampaikan kemiskinan karena harta bukanlah
menjadikan seseorang miskin dalam moral.
Tokoh Men Sugih
sebaliknya. Tokoh ini tidak memiliki karakter yang baik, tidak beretika, tak
tahu sopan santun, materialistis, tidak merasa puas terhadap yang sudah
dimilikinya, senang memperdaya orang lain, iri terhadap kesuksesan orang lain.
Dan menganggap harta itu adalah segala –
galanya. Pola pikirannya cukup menyelimet. Bersyukur terhadap yang sudah diperolehnya hampir tidak
ada.
Ternyata ada karakter
Pan Sugih yang sesuai dengan nama tokohnya. Pan Sugih kaya harta dan masih
memiliki belas kasihan pada orang miskin. Akan tetapi, Pan Sugih berada di
bawah kekuasaan istrinya : Dia tidak
malas. Mereka semua rajin. Hanya nasibnya belum mujur.
Karakter tidak
bermoral dimiliki oleh I Bagia. I Bagia terpengaruh oleh karakter Men Sugih.
Pengaruh moral seorang ibu tertanam amat kuat dalm diri I Bagia. Keluarga yang
terbiasa melihat ketimpangan sosial akan terpengaruh pada anak. Anak tidak
memiliki hati nurani terhadap sesama.
I Polos dan I Lemet
bernasib sama . Karena terlahir dari keluarga kurang mampu , tokoh ini menerima
keadaannya. I Polos dan I Lemet yang kurang gizi, dengan amat terpaksa menjadi
tidak sehat secara fisik, tetapi moralnya tetap mulia : Me… saya lapar. Lapar sekali. Men Sugih itu kejam sekali. Nasi yang
siap saya makan dirampasnya ( hal. 76).
Kontradiksi Sosial Ekonomi
Status sosial sering
berhubungan dengan status ekonomi. Seseorang yang kehidupan ekonominya mapan,
bagus akan lebih disegani bahkan terkadang disanjung – sanjung dalam pergaulan. Jarang
yang mau berpikir mengenai asal – usul kekayaannya. Yang penting kaya harta
secara otomatis melekat kaya moral.
Ternyata pola
berpikir seperti di atas tidak berlaku
pada pada tokoh Men Sugih. Men Sugih yang memiliki harta ternyata moralnya
kurang baik. Perlu dipertanyakan mengenai asal – usul kekayaannya. Ternyata Men
Sugih bergelimang harta karena mampu memperdaya orang lain dalam hal ini Men
Tiwas. Tokoh Men Sugih memiliki tabungan perilaku yang kurang sehat. Kurang
menghargai orang lain senang melihat orang lain menderita. Aklan – akalan yang
busuk ternyata dimiliki oleh Men Sugih :Perempuan
bodoh. Dia tidak tahu, kalu ada seekor kutu aku sembunyikan di balik kainku. Dan, akan aku katakan di
kepalaku masih tersisa seekor kutu. Ini berarti … aku boleh minta berasku
kembali. Nah, beras kembali… kutu di kepala bersih. Haha….
Yang mendekati
tepat sosial ekonomi dengan karakternya adalah Pan Sugih. Akan tetapi Pan Sugih
tak bisa berbuat banyak : Sebenarnya kutu
di kepalamu sudah habis. Tapi… kamu katakan masih tersisa seekor … gara – gara
akal busukmu menyembunyikan seekor di balik kainmu. Begitu kan ? ( hal. 73)
Penindasan terhadap
orang – orang miskin tampaknya sudah terjadi sedari dulu. Kebiasaan melihat
orang yang berada di bawah garis kemiskinan tidak mampu menggerakkan hati nuraninya untuk
membantu si fakir miskin.
Kekayaan yang
dimiliki Men Sugih tidak mampu
mengangkat moral. Justru ingin menambah terus dengan menumbuhkan kelobaan dalam
diri : Supaya lebih kaya lagi. Jauh lebih kaya dari Men Tiwas.
Celakanya si anak I
Bagia menjadi korban dari perilaku tidak puas terhadap kekayaan yang sudah
dimilikinya. Anak diajari agar hidup hedonis : Kalau berdua minta… akan dapat dua kali lipat. Ayo Ning.
Kontradiksi dengan
Lingkungan
Drama Men Tiwas dan
Men juga mengajarkan agar orang menjaga lingkungan hidup. Di satu pihak
mengharapkan agar lingkungan lestari di pihak lain justru menghancukan
lingkungan alam. Banjir yang melanda pemukiman disebabkan karena kurang
seimbangnya lingkungan hidup.
Manusia ingin hidup
nyaman. Akan tetapi, kesadaran terhadap kelestarian lingkungan amat rendah .
Pan Tiwas : Ini gara – gara ulah
bromocorah di hulu. Mereka seenaknya saja menebangi kayu – kayu besar.
Akibatnya, pada musim penghujan seperti ini terjadi banjir.
Permasalahan –
permasalahan yang kontaradiktif ditampilkan dalam drama Men Tiwas dan Men
Sugih. Pola berpikir yang kontradiktif ini mempermudah pemahaman terhadap
drama. Drama anak – anak tampaknya lebih mudah diingat dengan pola – pola yang
sifatnya bertentangan.
Penulis adalah guru SMAN 2 Amlapura
Email:ibw.keniten@yahoo.co.id
Labels: Artikel