Penghilangan
Teks dalam Pengembangan Basur
Oleh
IBW Widiasa Keniten
Teks geguritan
Basur yang ditulis oleh Ki Dalang Tangsub selama ini dua yang penulis temukan. Teks Pertama, geguritan
Basur yang ditranskripasikan oleh W. Simpen AB dan geguritan Basur transliterasi
Made Sanggra. Kedua geguritan ini memiliki kelebihan masing – masing.
Problematika yang diungkapkan pun amat beragam.Mulai dari masalah percintaan,
harga diri,
hubungan sosial, kehidupan mistis model Bali, obat – obatan, sarana
penangkal kekuatan pengléakan, sampai pada hakikat menjadi manusia yang
menyadari dirinya sebagai manusia. Teks ialah ungkapan bahasa yang menurut
pragmatik, sintaktik, dan semantik/ isi merupakan suatu kesatuan ( Partini
Sardjono Pradotokusumo, 2005 : 34).
Pengembangan teks geguritan
Basur menjadi lebih panjang jika dibandingkan dengan Kidung Perembon ternyata ada
pada / bait – bait yang dihilangkan.
Beberapa bait yang manumental seperti De
ngadén awak bisa tidak ditemukan dalam geguritan Basur transliterasi Made
Sanggra. Hal ini menarik karena pengembangan Basur ada bagian – bagian yang
dihilangkan dan ada bagian yang dipanjangkan bahkan ada penambahan tokoh –
tokoh,setting, alur, dan konflik yang
diungkapkan pengarang.
Pengembangan tokoh,
misalnya dengan penambahan Ni Garu yang digambarkan sebagai seorang perempuan
yang suka menggoda pria meski si pria
tidak menaruh hati padanya. Di samping itu, penggambaran fisiknya kurang
dirawat. Seorang perempuan yang digambarkan secara fisik dan psikhis kurang
sehat. Pengarang ingin menyampaikan bahwa gambaran fisik berbanding lurus
dengan psikhis. Penggambaran model ini
seakan mendikte perempuan yang berpenampilan kurang berkenan secara kejiwaan
juga sama. Setting waktu, tempat, dan
suasana pun tidak hanya di lingkungan rumah Ki Basur beserta keluarganya, Ni
Sokasti bersama ayah dan adiknya. Deskripsi tempat tinggal Ni Garu. Garu sering keluar desa atau sering membuat masalah
di desa menarik bagi pengarang.
Konflik yang
terjadi bukan hanya konflik batin I Tigaron dengan Ni Sokasti beserta keluarganya. Juga konflik
batin I Tigaron dengan Ni Garu . I Tigaron menginginkan seorang perempuan yang
ideal dalam hal ini diwakili oleh Ni
Sokasati. Perempuan yang menurutnya memiliki beberapa kelebihan – kelebihan
jika dibandingkan dengan perempuan yang lainnya. Sebagai seorang laki – laki,
ia berhak untuk memilih dan Sokasti juga berhak untuk menolak.
Konflik batin pun juga dialami Gede Basur sebagai orang tua yang ingin
anaknya hidup berbahagia. Ia menyarankan
agar menikahi Ni Rumanis meski kurang dari segi fisik, tetapi memiliki keterampilan.
Pengarang ingin menyampaikan manusia
memiliki kelebihan sekaligus kekurangan. Ni Garu tidak masuk kriteria perempuan
yang berstandar. Setiap orang tua mengharapkan anaknya hidup bahagia.
Penghilangan dalam Teks
Basur
Penghilangan dalam teks Basur
dilakukan dengan penggantian kata atau berupa sinomimi ( persamaan makna kata)
dan penghilangan teks baitnya/ padanya yang
tidak ada dalam teks Basur transkripsi Made Sanggra. Teks bait / pada mendekati sama hanya beberapa kata yang terdapat dalam bait
diganti. Di bawah ini, beberapa contoh kata – kata maupun larik yang diganti
dengan sinoniminya.
No
|
Bait/Pada Transkripsi
W. Simpen
|
Bait/ Pada
Transkripsi
Made Sanggra
|
Kata Bait / Pada
Transkripsi
W. Simpen
|
Kata Bait/ Pada Transkripsi
Made Sanggra
|
1
|
1
|
1
|
tabé,déwa gusti, tabé
|
tembé, déwa aji, lasia
|
2
|
2
|
2
|
kocap,
|
wénten,
|
3
|
4
|
4
|
langkung bisa,pan sinangguh adi guru,
ya japjap, sai – sai,
|
lintang eman,
bisa mangulanin kayun, ngastawa, ngajap sai,
|
4
|
5
|
5
|
jiwan bapa kalih,lunga, japjap sai,
|
Déwa sang ayu kalih,luas,
lali – lali,
|
5
|
6
|
6
|
néné,pecak ia biang idéwa,laksana luas,jumah ya,
|
tekén,iadi mara aoton, mémén idéwa,kajanan jumah,
|
6
|
7
|
7
|
teka,gipih prapti,
|
liu,manelokin,
|
7
|
8
|
8
|
Gedé Rempag, ical,maka, kari,
|
Ni Rempag,
luas,buka,kantun,
|
8
|
9
|
9
|
awak cerik tuara nawang, darsana,
|
awak tanpa nyama braya, ayahin,
|
9
|
11
|
12
|
Darma patuté telebang,déwa,apang titik,
inih bisa,
|
Darma saduné adegang,widhi,déwa asih, seger inih,
|
10
|
13
|
14
|
tainé nyén mangawas,awak kelih, pineh – pinehang di awak,
|
tainé gedé nyén mangawas,
suba kelih,pelajahin maningkahang awak,
|
11
|
14
|
16
|
eda bonggan bobog bocah, kedéké tuna-tunain,jeben sekenang
mangraos,apang widhiné nyak asung,palapanin ngisi awak, ngangken sahi, eda
gunjih, bangga ngelah kawisayan,
|
eda bogbog mudah rawos,
kedéké depang tunain,
alepang dewa sekenang,mamunyi ede samar saru, eda linyok ring
braya, para wargi, ring rerama tulah bahana
|
|
|
|
|
|
Penghilangan teks Basur tidak hanya berupa
sinonimi. Penghilangan juga dilakukan dengan penghilangan beberapa bait yang
terdapat dalam geguritan Basur transliterasi W. Simpen AB tidak ada dalam Basur
transliterasi Made Sanggra. Misalnya,
Cening jani suba nyandang,
demenin anak muani, eda pati cacelodoh, manuukin demen kayun, pang bedik maan
selselan, palapanin, masih maningkahang awak (bait 10) ( Anakku sekarang sudah pantas, dicintai para lelaki, janganlah
kurang waspada, mengikuti sekehendak hati, agar sedikit menyesal, hati –
hatilah, juga dalam bertingkah laku).
Kéto cening to ingetang, kalingan nyai enu
cenik, eda pati sumbar – sumbar, Ida Hyang Bhatara Wisnu,Sareng Ida Sanghyang
Brahma,ngangken sakti, laut kacepolan lingga ( bait 15) ( Begitulah Anakku
ingatlah, berhubung kamu masih kecil, janganlah mengaku – aku, Ida Hyang
Bathara Wisnu, dengan Ida Sanghyang Brahma, mengaku sakti, lantas diruntuhi
lingga).
Eda ngadén awak bisa, depang anaké ngadani,
gaginané buka nyampat, anak sai tumbuh luhu, ilang luhu ebuk katah, yadin
ririh, liu enu palajahang ( bait 18) ( jangan mengaku diri pintar, biarlah
orang lain yang menamai, ibaratnya seperti menyapu, setiap hari ada sampah,
hilang sampah debunya banyak, meski pintar, masih banyak yang perlu
dipelajari).
Penghilangan bait
menandakan bahwa Ki Dalang Tangsub dalam menciptakan Basur yang kedua
menjadikan karya pertamanya sebagai hipogram dasar penciptaan untuk Basurnya
yang kedua. Basur dengan kehidupan sosialnya dan kemistisannya. Penghilangan –
penghilangan atau penyenonimian dilakukan dengan kesadaran. Ki Dalang Tangsub
menciptakan Basur dengan maksud memperluas karyanya tidak hanya terbatas yang
terkumpul pada Kidung Perembon. Basur dalam Kidung Perembon sebagai jembatannya
dalam menciptakan karyanya. Babonnya ( sumber intinya) diciptakan barulah
karyanya yang kedua.
Penyebab Penghilangan
Penghilangan teks dilakukan
secara sadar oleh Ki Dalang Tangsub. Hal ini dilakukannya agar karyanya tidak
hanya terdapat dalam Kidung Perembon. Ki Dalang Tangsub menginginkan karya
Basur terus berkembang. Penghilangan teks
pada Basur dimungkinkan karena Ki Dalang Tangsub ingin menunjukkan bahwa
keberadaannya sebagai seorang pengarang mampu menciptakan sinonimi ( persamaan
makna ) kata yang sebelumnya tidak ada dalam Basur dalam Kidung Perembon.
Perbendaharaan
kosakata dalam bahasa Bali ternyata amat variatif. Dan hal ini, disadari oleh
Ki Dalang Tangsub. Kekayaan kosakata bahasa Bali perlu dibuktikan dengan karya
– karya terbaru. Penghilangan teks yang berupa bait atau pada dibuatkan sinominya ke dalam bait yang mendekati yang baru
meski kalau ditilik makna yang ada di dalamnya ada perbedaannya.
Penghilangan – penghilangan juga dilakukan
untuk menunjukkan kebaruan – kebaruan dalam kosakata, metafora – metafora
teramat beragam dalam kehidupan bahasa Bali. Diciptakanlah metafora – metafora
yang mampu menimbulkan renungan bagi pembaca geguritan Basur. Misalnya,
metafora, anggon manyuluhin raga (
suluh= lampu, sinar, cahaya, raga = badan, wadag, tubuh, diri pribadi) yang
dapat dimaknai bahwa sastra dipakai untuk menasihati diri agar bisa memilah dan
memilih yang mesti dijalankan dan tidak boleh dijalankan.
Pengembangan dalam Teks
Basur
Pengembangan teks Basur
dilakukan 1) memperpanjang alurnya; 2) menambah tokoh – tokohnya; 3) menambah
konflik – konflik yang dialami oleh tokoh; 4) pelukisan tokoh – tokohnya lebih
mendetail. Pengembangan dengan menambah beberapa bait / pada sebagai ciri khas sebuah geguritan.
Alur, rangkaian
peristiwa dengan dialog – dialog antartokoh memperkuat peristiwa yang
digambarkan oleh Ki Dalang Tangsub. Basur pada Kidung Perembon tidak sampai
pada kekalahan Gede Basur. Gede Basur hanya sampai pada kesadaran menjadi
manusia.
Basur transliterasi
Made Sanggra mengungkapkan Basur mengalami kekalahan karena ilmu pengleakannya masih berada di bawah Ni
Garu. Tokoh Made Garu sebagai anak I Wayan Subandar menjadi pelanjut dari Basur
Perembon: punggelin punang carita, kocap
wénten daha prapti, pianak I Wayan Subandar, pesengané Madé Garu, jegégé
mangonyang – ngonyang, ludin pangid, payasnyané melah pisan ( bait 109)(
dihentikan sementara cerita, diceritakan ada gadis datang, anak I Wayan
Subandar, namanya Made Garu, cantiknya menggoda hati, dan pantas, penampilannya
bagus sekali). Penggambaran tokoh Garu digambarkan secara kontradiktif seperti
( bait 110): awak selem sada cepag,
cangkem linggah jagut pangi, gigi maong langah – langah, isit biru bawong pulu,
kuping lombéng ebok barak, gladar – glidir, taluh kutu sambrag ngenah (
kulit hitam dan besar, mulut lebar dagu seperti kluek, gigi hitam jarang –
jarang, gusinya biru lehernya berpunduk, telinga lebar rambutnya merah,
berumbai – rumbai, telur kutu banyak tampak).
Tokoh Garu sebagai
pelanjut cerita diceritakan mencari ilmu pengléakan
karena cintanya pada I Wayan Tigaron justru dilarang oleh Gede Basur. Kehadiran
tokoh Dewa Durgha sebagai pemberi anugerah Pengléakan
pada Garu yang mampu mengalahkan I Gede Basur: yan tan I Ratu suwéca, pademang titiang né mangkin, jengah titiang
malipetan, sengsara titiang enu idup, betari Durgha ngandika, mendep cening,
mémé ngicen pangleayakan ( bait 140) ( kalau tidak I Ratu bermurah hati,
bunuhlah saya sekarang ini, malu saya kembali, sengsara saya masih hidup, Dewa
Durgha berkata, diamlah cening, ibu memberimu pangléakan).
Konflik terjadi tidak hanya antartokoh,
tetapi juga pada diri tokoh. Tokoh Tigaron dalam hatinya sebenarnya terpengaruh
juga oleh godaan Made Garu. Akan tetapi, Gede Basur sebagai orang tuanya melarangnya. Tokoh Tigaron tidak layak
berdampingan dengan Garu. Basur merendahkan martabatnya sebagai seorang perempuan.Garu
pun meyakinkan dirinya mampu mengalahkan Basur . Basur kalah dari segi ilmu pengléakan.
Ki Dalang Tangsub tidak lagi menceritakan
pertempuran mistis tokoh Garu dengan Basur. Pelukisannya diakhiri dengan
penyampaian ilmu – ilmu pengléakan Ni Garu
yang lebih tinggi dibandingkan dengan Basur. Hal ini berbeda dengan
pertempuran yang terjadi pada Kidung Perembon antara Basur dengan Ki Balian
Sadhu maupun dengan tokoh yang pura – pura menjadi balian.
Pelukisan tokoh yang dilakukan Ki Dalang
Tangsub lebih menonjolkan pada unsur fisik. Unsur luar seakan mewakili yang
terdapat di dalam psikhis tokoh. Tokoh Sokasti maupun Ni Rijasa dideskripsikan
fisiknya yang menarik hati setiap jejaka berbeda dengan tokoh Rumanis yang
dilukiskan fisiknya kurang sempurna, wajahnya pernah kena cacar.
Penghilangan dalam pengembangan Basur
membawa pada perubahan – perubahan terutama dalam alur, tokoh, pelukisan tokoh.
Penghilangan ada yang berbentuk sinonimi dan juga penghilangan bait atau pada. Penghilangan dalam pengembangan
sebagai konsekuensi logis dalam penciptaan karya sastra.
Labels: Artikel