“ Siat Kapetengan “ dalam Basur

“ Siat Kapetengan “ dalam Basur
IBW Widiasa Keniten

            “ Siat Kapetengan” merupakan istilah yang lumbrah di kalangan pegiat ilmu gaib. “ Siat Kapetengan” berarti bertempur yang dilakukan pada malam hari. Mengapa malam hari? Malam dipersonifikasikan sebagai tempat yang bebas untuk membangkitkan keilmuan. Pertempuran ini tidak terjadi secara fisik. Kedua pelaku biasanya berada di rumah – masing ? Terus mengapa bisa berkelahi? Perkelahian ini ini terjadi setelah keduanya sama – sama memohon dan dilalui dengan proses nglekas ‘ mengeluarkan mantra untuk menjalankan ilmu hitam; berubah wujud dengan ilmu hitam’ ( Kamus Bali Indonesia,2005:436).
Nglekas juga bisa di dalam kamar dan diusahakan agar tidak diketahui oleh keluarga. Seorang yang akan bertempur sama –sama kesatria. Hampir tidak ada pertempuran yang saling keroyok atau main hakim sendiri atau melakukan tindakan mencari bantuan orang lain. Benar – benar sportif. Kalau kalah mengakui kekalahan dan biasanya ada perjanjian. Perjanjian bisa beraneka ragam, misalnya seseorang bersedia menghadap Yangkuasa jika sudah memiliki cucu pertama atau seteleh rumahnya selesai dipugar.
Pertempuran itu terjadi karena ingin menjaga harkat dan martabatnya sebagai manusia. Manusia tentu tidak ingin dilecehkan atau direndahkan martabatnya. Adu ilmu  dijalankan. Menguji yang kuat dan yang masih perlu belajar. Ilmu yang berbeda aliran, misalnya antara ilmu hitam dan ilmu putih. Ilmu hitam tergolong ilmu yang digeluti oleh orang – orang yang ingin menjalankan pengiwa. Kelompok pengiwa, misalnya pengleakan. Pengleakan pun ada tingkat – tingkatnya sesuai dengan kemampuan dan anugerah yang diberikan oleh Dewi Durgha. Untuk bisa naik tingkat, ada prosesi upacara dan upakaranya sehingga bisa menguasai ilmu yang diterimanya dengan mudah dan hidup dalam dirinya. Sebuah ilmu yang dikuasai dengan baik akan terus diasah dan diuji sehingga diyakini ilmu itu bisa dikatakan mumpuni.  
            Lawan dari pengiwa dikenal dengan istilah penengen . Tengen berarti kanan. Nengen berarti melaksanakan ilmu putih yang dikuasainya berkaitan dengan ilmu yang bergerak dari aliran putih. Putih dianggap berada di pihak kanan. Istilah kiwa- tengen selalu berada pada dua perbedaan yang sama – sama mempunyai kekuatan. Penengen umumnya dikuasai oleh para dukun yang benar – benar mengabdikan dirinya pada jalur ilmu putih, Swadarmaning Balian. Untuk membuktikan kedua ilmu ini benar – benar hidup dilakukanlah pengujian. Siapa yang paling mempuni kiwa atau tengen? Daya gerak ilmu kiwa lebih cepat dibandingkan dengan ilmu tengen. Unsur kawisesan, energi gerak yang diusahakannya cepat menerjang musuhnya. Ilmu tengen, pelan, tetapi pasti.   
            Dalam Geguritan Basur, dua tokoh yang menjalankan ilmu kiwa, yaitu I Gede Basur dengan Ni Garu, sedangkan ilmu tengen dilakoni oleh Balian Sadhu. Pemberian istilah Balian Sadhu sudah mengandung makna dukun yang berjalan pada koridor kebenaran, selalu menekankan pada ajaran kebajikan dan kemanusiaan.  Pertempuran ternyata tidak hanya terjadi antara kiwa dengan tengen saja. Antara kiwa atau yang sama – sama menjalankan pengleakan juga terjadi pertempuran. Tokoh Gede Basur bertempur dengan Ni Garu yang dikenal sebagai tokoh pengleakan.


Tidak Membunuh Ada Perjanjian
            Tokoh Balian Sadhu yang menjalankan ilmu putih, kebajikan pada orang lain ternyata mampu mengalahkan kekuatan yang dimiliki oleh Gede Basur. Pertempurannya terjadi pada malam hari. Basur mulai nglekas pada sandikala, peralihan dari sore menuju petang. Batas ini dianggap amat baik untuk memulai suatu ilmu hitam, mempertemukan dua waktu yang sama – sama berada di batas ambang. Masa – masa transisi dari sore menuju petang. Samar, tidak jelas antara sore dengan petang. Makanya orang – orang dulu menyarankan agar hati – hati pada saat sandikala.
 Pertempuran terjadi sama – sama kuat. Akan tetapi, penulis Basur , Ki Dalang Tangsub tampaknya ingin menonjolkan kemenangan pada Balian Sadhu, maka kemenangan berada padanya. Secara tersirat tergambar bahwa kebenaran selalu menang. Seorang dukun yang mumpuni akan teramat mudah menentukan  pelaku yang menyakiti. Dukun memiliki tetenger,  ilmu menafsir berdasarkan ciri – cirinya dan diyakini. Keyakinan itu didapatkannya dengan rajin melakukan olah batin, olah rasa, dan olah budi sehingga kontak dengan yang menyakiti amat mudah didapakannya:kaki Balian dabdab ngucap, Gedé Basur musuh cening, I Déwa tagih tadaha, mendep mapi tan tuhu, kaki bakal masang préntah, tumuli raris, Kaki Balian ngucap pelapan ( Kakek dukun berbicara pelan, Gede Basur musuh anakku, engkau ingin dimakan, diamlah pura – pura tidak tahu, kakek akan memasang perintah, selanjutnya, kakek balian berbicara pelan – pelan).
Kerendahhatian Ki Balian Sadhu tampak sekali. Ia tidak mau menyatakan akan mampu mengalahkan Gede Basur. Caranya benar – benar menghargai orang lain. Basur baginya juga manusia yang memiliki harkat dan martabat yang mesti dihormatinya. Seorang yang ilmunya sudah tinggi tidak mau menyombongkan dirinya lebih – lebih menganggap orang lain bodoh. Setiap orang memiliki kelebihan masing – masing.
Sebagai orang yang selalu bejalan pada garis Dharma, Ki Balian Sadhu berusaha melakukan pendekatan secara persuasif. Basur diharapkan jangan melakukan tindakan pembunuhan: Unda -  unda yan nyalahang, eda manuwukin budi, bas tuara mangelah salah, kasakitin bas nglaut, anak salah maji satak, tagih aketi, lebihan Gedé Midanda ( pikir – pikir jika menyalahkan, jangan mengikuti hati, karena tidak memiliki salah, disakiti keterlaluan, orang salah hanya berharga dua ratus, minta seratus ribu, kelewatan  Gede menenda). Kutipan ini menyiratkan bahwa Ni Sokoasthi memiliki salah. Akan tetapi, tingkat kesalahannya tidak setimpal dengan tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh Gede Basur.

Sekarang Pembunuhan
            Jika dibandingkan dengan situasi kekinian, tidak jarang terjadi tindakan pembunuan dengan beragam sebab. Sebuah perkelahian bisa terjadi hanya masalah yang tidak terlalu rumit bahkan melibatkan sekelompok orang, baik dalam lingkup banjar atau geng yang bisa dibayar oleh  orang – orang berada. Perkelahian tidak dapat menyelesaikan sebuah masalah. Kesalahan yang sebenarnya kadang – kadang tidak diketahui oleh pelaku tindakan kriminal. Akan tetapi, karena uang yang membuatnya bisa berubah menjadi bringas. Hati manusia sudah tidak mengenal kasih sayang.
            Pertempuran yang dilakoni oleh Ki Balian Sadhu dengan Gede Basur patut menjadi renungan. Seorang yang sama – sama mengakui kelebihan dan kelemahan masing – masing dan bersedia memberi maaf kepada orang lain. Mungkin tindakan ini yang jarang dijalankan dewasa ini. Logika berpikir terkadang dikalahkan oleh ego yang ingin membunuh. Padahal, yang dibunuh adalah sesama manusia. Kemanusiaannya hilang hanya karena sebuah masalah yang bisa dicarikan jalan keluarnya.
            Ki Dalang Tangsub secara tersirat ingin melukiskan bahwa siat kapetengan tetap menjaga harkat dan martabat manusia. Tidak berhak manusia meniadakan yang lain. Nyawa tidak dapat dibeli. Nyawa mesti dihargai karena itu anugerah Sanghyang Widhi dan meyakini bahwa tindakan apapun akan berdampak terhadap hidup dan kehidupan sekarang dan masa yang akan datang.

Menghormati yang Kalah
            Kelebihan yang cukup mendasar yang ingin disampaikan oleh Ki Dalang Tangsub adalah orang yang kalah pun wajib dan wajar dihormati. Penghargaan terhadap kekalahan orang lain dalam arti tidak merendahkan yang kalah  setelah  orang yang mengganggu dikalahkan. Sebuah tindakan yang terpuji jika mampu menempatkan kekakalahan orang lain pada porsinya. Kemenangan yang diperoleh dengan menghormati kekalahan orang lain akan dikenang sebagai sebuah keputusan yang terpuji.
            Ki Dalang Tangsub mengharapkan agar orang - orang yang mendapatkan kemenangan tidak mabuk dengan kemenangan justru menjadi titik balik untuk mensyukuri karunia dari Sanghyang Widhi. Sebuah kemenangan memang selalu diharapkan dalam sebuah pertempuran. Akan tetapi, kemenangan yang diperoleh dengan cara – cara yang kurang elegan akan berdampak pada kekurangharmonisan hubungan timbale - balik sesama manusia atau komunikasi akan  menjadi macet.
            Ki Dalam Tangsub ingin menanamkan kerendahhatian orang – orang yang mendapatkan kemenangan. Mabuk karena kemenangan bisa jadi akan melupakan harkatnya sebagai manusia. Dan ini tidak diharapkan oleh Ki Dalang Tangsub. Kemenangan – kemenangan yang diperoleh perlu dijaga kelangsungannya dan bermanfaat bagi umat manusia. Memberikan contoh pada umat manusia saat mendapatkan kemenangan jangan terlalu berbesar hati atau merendahkan martabat orang lain :Kéto Gedé nah resepang, beli manyayangang cai, I Gedé Basur angucap, yadin kéto titiang tinut, beli eda nguwérayang, kéto Beli, sampunang mangrusak titiang (begitulah Gede tolong dihayati, kakak mengasihimu, I Gede Basur berkata, meski begitu, saya turut, Beli jangan berlaku kurang sehat, begitu Kakak, jangan merusak saya).
            Berlaku kasih pada pihak yang kalah amat jarang dilakoni sekarang ini. Jika dilihat kenyataan sehari –hari, orang – orang yang mendapatkan kemenangan dalam suatu pemilihan bupati atau pemilu tidak jarang yang berbuat kurang sehat dengan menyingkirkan yang tidak mendukung pada saat pemilihan. Jka ini berlanjut, tentu akan terjadi tindakan balas dendam untuk selanjutnya. Sebuah tindakan yang tidak berkenan sebagai orang – orang elite. Orang – orang terdidik tentulah tidak mengharapkan sebuah balas dendam  dalam hidup .
            Ki Dalang Tangsub tampaknya sudah menangkap perilaku manusia pada masa – masa yang akan datang bahwa sebuah pertempuran sering dimaknai dengan melakukan peniadaan terhadap yang kalah. Padahal, kemenangan itu hanya sifatnya sementara. Kemenangan akan terus diuji selama masih ada di dalam daur kehidupan. Ki Dalang Tangsub menyadari hakikat bahwa sebuah kemenangan tidak ada yang kekal akan terus mengalami perubahan – eprubahan selama manusia itu memiliki sifat untuk bertempur atau berperang.
Menyingkirkan yang Kalah
            Dalam Geguritan Basur, terjadi sebuah pembalikan yang sering dialami oleh orang yang mabuk kemenangan. Jika dalam perebutan atau pemilihan sekarang ini terjadi sebuah tindakan yang kurang berkenan. Tidak jarang orang – orang yang terpilih menyingkirkan orang – orang dirasakannya mengganggu pada saat pemilihan. Amat berbeda dengan contoh – contoh yang diberikan oleh Ki Dalang Tangsub lewat karyanya Geguritan Basur. Basur tidak pernah disingkikan oleh Ki Balian Sadhu. Basur tetap ditempatkan pada porsinya sebagai seorang Basur. Kedudukan yang dimiliki oleh Basur tidak diganggu oleh Balian Sadhu. Balian sadhu pun menyadari kelemahan – kelemahannya sebagai manusia. Dan  tidak mungkin bisa mendapatkan kelebihan – kelebihan yang dimiliki leh Basur. Kelebihan – kelebihan inilah yang dilihatnya oleh Balian Sadhu yang mesti dijaga dan dihormati bukan justru dirusak tatanan  yang sudah berjalan normal.
            Berikan tempat sesuai dengan porsinya, bukan dengan menyingkirkannya. Tidak akan menjadi seorang yang terpuji merebut kedudukan dengan menyingkirkan orang lain lebih – lebih dengan menjelek – jelekannya. Ki Balian Sadhu bisa menempatkan hal itu dan memberikan Basur pada hak hidupnya : ngurug tukad dalem pisan, dadi baan tiang ngecosin, sing arepin titian tepeng, lampah titiang tuara santul, Beli bisa buka kéto, titiang bani, nyampahin Beli tuara bisa ( membendung sungai yang dalam pun, saya mampu menyeberangi, setiap yang hadapi bisa tembus, perjalanan saya tidak ada hambatan, Kakak bisa seperti itu, saya berani, mengatakan Kakak tidak bisa).
            Orang yang menyadari kelebihan orang lain dan tidak cepat mabuk pada kemenangan perlu dipupuk terus. Sebuah kemenangan yang didapat ternyata di dalamnya ada hal – hal yang kalah berada pada diri yang sebagai pemenang. Kekakalahan ini yang benar – benar disadari oleh Balian Sadhu. Itulah yang menyebabkan Balian Sadhu tidak  menepuk diri setelah Gede Basur mengakui kekalahannya. Artinya, di balik kemenangan ada kekalahan.

Kekalahan dengan Menyingkirkan Musuh
            Dalam siat kepetengan, ternyata tidak hanya terjadi pada golongan tengen dengan golongan kiwa. Antargolongan kiwa sendiri terjadi pertempuran. Hal ini menarik disikapi. Ternyata dalam sebuah kelompok yang sama – sama menjalankan  satu profesi terjadi perang untuk menyingkirkan orang lain. Kenyataan ini sering terjadi dalam sebuah organisasi. Tidak jarang sebuah organisasi yang dulunya bersatu karena sama – sama satu visi dan misinya lantas pecah karena merasa paling berjasa atau ingin merebut sebuah status. Dalam Geguritan Basur, diperankan dengan tokoh Ni Garu yang merasa dihinakan oleh Gede Basur setelah dilarang bercinta dengan Tigaron, anak Basur.
Seorang manusia, Ni Garu  tersinggung karena ulah dari Gede Basur yang tidak bisa menghargainya sebagi manusia:apang titiang bisa ngiwa, musuh titiang apang mati, I Gedé Basur ia bregah, titiang mrika saking patut, manelokin I Tigaron, ipun pedih, manundung tur mangandupang ( agar saya bisa ngiwa, musuh saya agar mati, I Gede Basur ia angkuh, saya ke sana karena benar, melihat I Tigaron, ia marah, mengusir dan memperlakukan seperti binatang).
Kejadian – kejadian di atas teramat sering terjadi. Dalam sebuah organisasi terkadang merasa diri paling hebat atau paling berjasa dan berhak mengatur orang lain. Secara tersirat Geguritan Basur menyampaikan hal itu.Dan harapannya tidak terjadi seperti yang diungkapkan oleh Ki Dalang Tangsub.
“Siat kapetengan” dalam Geguritan Basur bukanlah bermaksud meniadakan orang – orang yang dikalahkan. Kemengan bukan segala – galanya. Kemenangan hendaknya bisa menghormati orang yang dikalahkan. Dalam kemenangan sebenarnya ada kekalahan. Menghargai kemenangan, dilakukan dengan menempatkan orang – orang yang dikalahkan pada porsinya masing – masing.

Labels: