Cerpen Arisan

Arisan
IBW  Widiasa Keniten

            Istriku punya kebiasaan terbaru. Ia mengumpulkan teman – temannya untuk mengadakan arisan. Anehnya semuanya menyambutnya dengan suka cita. Bahkan disertai canda tawa. Arisan pertama, arisan alat – alat rumah tangga.
            Sebelum arisan dilaksanakan, seperti biasa disertai dengan kegiatan ngrumpi. Yang diceritakan tentang suaminya yang tak betah di rumah. Anak yang  tak menurut pada orang tua. Anak gadisnya yang meminta HP . Tetangga yang memiliki mobil baru. Yang paling dominan ceritanya tentang suami yang suka berselingkuh.
            Terkadang aku tinggalkan mereka saat ngrumpi. Waktu yang dihabiskan untuk mengocok undian yang hanya beberapa menit dikalahkan dengan cerita ngalor ngidul yang kuanggap   tak perlu. Agar tak membuat tersinggung, aku berusaha tersenyum saat meninggalkan mereka.
            “ Maaf, tiang mau ke rumah sakit sebentar. Teman kantor tiang ada yang kecelakaan kemarin.” Aku sengaja tidak memberikan mereka melanjutkan bertanya.Misalnya, kapan kecelakaannya? Di mana kecelakaan? Dengan siapa bertabrakan? Toh tidak akan diperlukan baginya. Aku cepat – cepat pergi.
            Saat aku pulang. Kutemui istriku dengan senyumnya yang khas. Ia manja sekali. “ Bli tadi aku yang dapat undiannya. Itu lihat barangnya?” Istriku menunjuk pada sebuah panci dan alat masak yang lain.
            “ Kan sudah punya alat masak. Kenapa mau ngambilnya? Kasi yang belum punya.”
            “ Ah, Bli. Bisa untuk nanti.”
            “ Ya, sudah.Kumpulkan saja. Biar jadi sarang tikus.”
            Istriku merasa tersinggung. Ia cemberut. Aku tinnggalkan saja dia sendirian. Aku cuci tangan lalu mandi. Takut ada tertempel virus di baju atau ditubuh saat menenggok teman di rumah sakit.
            Habis mandi aku ke pemerajan. Aku sembahyang. Istriku sibuk dengan kebanggaannya yang baru. Ia ceritakan pada tetangga setiap yang dating ke rumahku.  Semua memujinya dan berucap syukur ada acara arisan. “ Bisa kumpul – kumpul dibandingkan dengan tahun – tahun sebelumnya. Tempat curhat sekarang  susah. Semua pada sibuk .”
            Hati kecilku sebenarnya tak setuju kegiatan seperti ini. Buang – buang waktu. Bagiku, waktu itu bisa digunakan untuk membina dan mangasuh anak. Ia lebih utama daripada arisan.
            Ketidaksetujuan istriku diketahui juga. Ia merayuku. “ Bli jangan apriori dulu dengan usahaku. Nanti akan kubuktikan bahwa arisan ini dapat membuat kehidupan kita lebih mewah. Lebih enak. Tidak seperti sekarang serba pas – pasan. Tanggal 1 dapat gaji. Tanggal 10 sudah habis untuk bayar utang. Bayar rekening air, listrik dan biaya SPP anak kita. “
            “ Semoga saja,” jawabku singkat.
            “ Terima kasih atas doanya.”
            Sudah beberapa kali ini arisan tetap berjalan normal. Setiap bulan bergantian tempatnya. Setiap minggu kedua, setiap bulan mesti ada arisan. Aku sebagai tukang antar jika arisannya agak jauh. Biar semakin dekat dan saling mengenal suami teman – temannya.
            Entah kenapa dalam arisan itu disepakati untuk mengadakan arisan uang. Mereka antosias sekali. “ Jika dulu arisan alat rumah tangga sekarang kita tingkatkan dengan arisan uang. Dengan uang, lebih praktis dan lebih gampang.”
            Semua menyetujui disertai dengan tepuk tangan.
            Aku hanya sebagai penonton tak bisa banyak bicara.
“Dengan uang segalanya bisa beres. Keluarga bisa hancur karena tak beruang. Keluarga bisa damai karena uang. Sekarang jika tak beruang, tak akan dilirik orang. Meski pintar, banyak punya pengetahuan kalau taka beruang, tak akan dipercaya.”
Istriku seakan mendapatkan angin segar dari pembicaraan teman – temannya. Tampak keceriaan di wajahnya. “ Bulan depan kita mulai.”
“ Berapa mulainya?”
“ Ya kita mulai dengan satu juta rupiah saja.”
“ Satu juta,” bisikku dalam Hati. “ Apa aku tak salah dengar. Dari mana akan didapatkan uang satu juta rupiah untuk arisan, sedangkan jatah keluargaku satu setengah juta. Itupun dikurangi dengan cicilan  di warung tetangga.”
Dengan penuh semangat, istriku mempertegas lagi.” Ya, satu juta saja. Gimana bisa?”
“ Tentu bisa. Lebih juga taka apa – apa. Makin banyak makin bagus.”
Kembali hatiku terkejut.
Kami pulang. Di perjalanan istriku bercerita tentang rencana arisannya. Ia yakin usaha arisan ini akan semakin digemari. Memang semenjak ada arisan, pertemuan antaristri semakin sering. Begitu juga antarsuami. Sang suami sudah terbiasa menunggu berjam – jam. Kalau tidak ditungui, bisa mencak – mencak. Dikatakan tak setia. “ Setianya saat pacaran saja. Mana janjimu yang dulu, “ katanya.
Kecemasan semakin tumbuh di hatiku. Tetangga yang tak setuju sudah menaruh curiga.  Berita miring mulai tersiar. Istriku tak seramah dulu lagi.  Dandanannya agak menor. Yang paling menyakitkan istriku dicurigai mendua hati.
Berita – berita itu tak kulayani. Aku yakin istriku tetap pada janjinya dulu. Tak akan berani bermain dengan pernikahan. Aku akui semenjak ada arisan hidup rumah tanggaku semakin baik. Peralatan rumah tangga semakin lengkap. Ada mesin cuci. Ada rice cooker. Aku merasakan juga nikmatnya. Tapi, yang satu ini arisan dengan jumlah uang jutaan apa mungkin bisa?
“ Bu dari mana akan ibu ambilkan uang untuk arisan?”
“ Gampang, Bli.”
“ Mudah?” tanyaku.
“ Bu Wayan Narti sudah kupinjami uang. Saat arisan nanti ia bawa uangnya. Bli tak usah khawatir,” sambil mendekatkan tubuhnya ke badanku.” Nanti kita bisa kaya. Kalau kaya, kita bisa pelesiran ke mana kita sukai.”
“ Dengan berutang, Ibu arisan.”
“ Kenapa? Memangnya tak boleh berutang? Negara saja berani berutang. Kenapa kita tak berani? Sekarang kalau kita takut, kita tak akan bisa maju – maju. Harus bisa main untung rugi. Jangan terlalu idealis, Bli.”
Aku tak berani lagi bertengkar. Kutahu istriku mengidap  tekanan darah tinggi. Jika marah terlalu keras, ia akan kolaps.
Arisan uang berjalan. Usul baru muncul lagi.” Siapa yang berani nembak lebih besar ia yang mendapatkan arisannya sekarang ini.”
“ Usul yang bagus itu. “
Tembak- menembak terjadi. Mulai lebih dua ratus lima puluh ribu, lima ratus ribu. Terus berkelipatan dua ratus ribu. Terakhir istriku berani nembak satu setengah juta.
 Sorak- sorai, tepuk tangan kudengar. “ Hebat, Bu Ayu. Hebat Bu Ayu.”
Aku geleng – geleng. “ berani sekali istriku sekarang ini.”
Selesai arisan, aku tak bicara apapun. Ia tahu aku marah. Ia perlihatkan hasil arisannya. Sengaja ia masukkan ke sakuku sambil berucap, “ Terima kasih, Bli. Bli telah membantuku menjadi seorang pemberani.”
Arisan demi arisan berjalan. Istriku semakin menjadi – jadi. Ia sudah berani meminjam puluhan juta. Setiap kutanyai selalu jawabannya agar aku tenang saja. “Pasti bisa dilunasi dengan arisan. “
Orang – orang di kantorku menyebutnya seorang istri yang pintar membahagiakan suami. Katanya aku beruntung mendapatkan istri seperti dia.
Berembus berita tak sedap. Istriku sudah banyak berutang. Kulihat ia agak pendiam akhir –akhir ini. Tetanggaku bilang banyak yang mencarinya saat aku di kantor. Berita lain kudengar. Jika panagih utang datang, istriku cepat – cepat sembunyi.
Sebagai suami kutanyai,” Bu benar berita itu?”
” Benar, Bli. Sebentar lagi, pegadaian akan datang ke rumah kita.”


Catatan
Tiang                : saya
Pemerajan        : tempat suci

Labels: