Berita
Hangat
Cerpen
IBW
Widiasa Keniten
“ Aku mesti bisa
mengubah nasibku. Tidak ada yang mampu mengubah jalan hidup seseorang kalau
bukan dari orangnya,” bisik Gede Aditya.
Ia hidup dalam
kesendirian. Ayahnya telah meninggalkan dirinya untuk selamanya, sedangkan ibunya
menikah lagi .
Dalam
kesehariannya, ia hidup dengan berjualan surat
kabar. Orang menyebutnya sebagai loper koran. Penjaja warta kepada pencinta
berita. Aditya tidak tamat SMP. Ia tak kenal baju putih dengan celana biru.
Yang sempat dikenalnya hanya celana merah. Tapi, ia tetap bersyukur karena
masih sempat belajar membaca.
Sebelum koran –
Koran itu dijualnya. I baca dulu hingga bisa sedikit menceritakan kepada
pembeli mengenai isinya. “ Berita hangat ! Berita hangat !” Sapanya.” Ada demo. Ada bentrokan antarbanjar.
Ada pencurian. Ada koruptor yang lari ke
Singapura. Koran ! Koran! Koran !”
Satu, dua
sepeda motor berhenti dan membeli korannya. “ Terima kasih Pak!” sapanya
dengan enuh hormat.
Orang – orang itu ngeloyor pergi dan meninggalkannya.
Aditya kembali memanggil - manggil pembeli. “ Koran ! Koran! Ada perampokan di siang bolong. Ini lihat ! “
Gede Aditya memperlihatkan gambar orang yang diikat. Mulutnya disumpal dengan
kain.
“ Cari satu, Dik!”
“ Terima kasih, Pak.”
Aditya dikenal sebagai loper koran yang
ramah. Jika ada pembeli, yang hanya baca – baca sambil bolak – balikkan halamannya,
ia tak marah. Hitung – hitung cari
teman.
Ia menghitung penjualan korannya di hari itu.
Lumayan lakunya. Ucapan syukur tiada henti – henti ia panjatkan.” Terima kasih
Hyang Widhi. Kau masih memberikanku hidup.”Ia pulang. Ia hanya bekerja setengah
hari. Sorenya ia pergunakan untuk mengembalakan sapinya. Hampir tidak waktu
luang untuknya. Masa – masa remajanya telah tergantikan dengan deraan hidup.
Aditya tegar. Ia tak menyerah pada hidup.
Keyakinannya pada hidup dapat diubah oleh dirinya sendiri teramat kuat. Orang –
orang di banjarnya mengenalnya sebagai laki – laki yang tangguh.
Tangannya kuat.” Karunia Tuhan ini meski
kumanfaatkan secara lebih baik. Ia mesti bermakna.Tangan jika tidak dipergunakan
dengan baik, tidak akan menghasilkan
apapun.”
Jika tetangga punya kerja sekalipun Aditya tak
pernah mangkir. Kecekatannya dalam kerja tak ada yang bisa menyainginya. Itu karena ia terbiasa dengan kekerasan hidup.
Rasa belas kasihan banyak bermunculan di
antara tetangga dekatnya. Jika hari –
hari tertentu Aditya sering dikirimi makanan. Lebih – lebih pada saat odalan di
suatu pura. Ia hanya bisa berucap,”
Terima kasih.”
Ia tak pernah bersedih. Tak pernah
menangisi perjalanan hidupnya. Tak pernah lagi ingat pada ibunya yang telah
meninggalkannya. Meski ia tak diperhatikan oleh ibunya, hatinya tak ada
kebencian. Ia tetap sayang dan hormat pada ibu kandungnya. Karena seorang ibu,
ia bisa terlahir menjadi manusia.
Malam itu tumben ia bermimpi didatangi oleh ayahnya. Wajah
ayahnya sedikit sedih. Agak pucat. “ De, jagalah dirimu. Ayah tidak bisa
menjaga dirimu. “
“ Terima kasih Bapa. Tiang akan selalu
ingat pada pesan Bapa.”
Gede Aditya memperhatikan ayahnya. Ia
lihat ayahnya muntah – muntah dan tubuhnya semakin kurus.
“ Bapa kenapa? Bapa sakit?”
Ayahnya tak menyahut. Aditya melihat
ribuan ulat mengelinjang ke luar dari mulut ayahnya.
“ Ini perbuatan ibumu?”
“ Benar Bapa?”
“ Ibumu telah meracun bapa.Ibumu diperalat
oleh suaminya sekarang.Bapa mengetahui kelakuan ibumu. Ia berselingkuh
dengan seorang kepala desa. Suaminya
sekarang. Ibumu silau dengan jabatan.”
“ Tiang tak percaya Bapa.”
“ Nanti Gede akan percaya. “
Gede Aditya gelagapan. Tubuhnya berkeringat.
Ia mengejap – ngejapkan matanya. “Benarkah mimpiku tadi?” tanyanya. “ Aku tak
yakin akan mimpi tadi. Mimpi hanya sebuah ilusi yang tak perlu dipercaya.”
Aditya kembali mempersiapkan koran – koran
yang akan dijualnya hari itu. Pukul setengah empat pagi, ia sudah bangun. Koran
– koran dari percetakan biasanya pukul lima
pagi sudah datang. Ia mendatangi pengepul koran. Ia hitung. Satu,dua tiga,empat dan seterusnya sampai
jumlahnya dikira cukup. Ia baca satu koran sebagai bekal menjajakan koran.
“ Gimana De, sudah cukup?”
“ Tiang kira cukup. Ini ada berita anyar lagi.”
“ Tentang apa?”
“ Biasa tentang koruptor yang melarikan
diri. “
Gede Aditya meringis. Ia merasa heran. “
Kenapa orang – orang yang sudah berkecukupan tidak pernah merasa cukup. Uang
haram itu menjadikan dirinya tak punya makna dalam hidup. Tidakkah ada yang
lebih baik daripada menilep uang. Ia berpikir ternyata maling berkeliaran di
mana – mana.
Ia meraba dompetnya. “ Jangan – jangan
dompetku hilang. Jika uangku tercopet
bisa mati, “ gumannya.
Aditya punya pengalaman yang cukup unik. Uangnya
pernah dicopet oleh temannya sesama penjual koran. Hari itu tumben temannya
mentraktir makan. Ia ceritakan kemarin dapat memasang togel. Nomornya muncul.
Aditya mau saja makan. Setelah sore ia pulang. Ia raba kantungnya. “ Lho ke
mana dompetku?”
“ Yusuf ! Yusuf ! Ke sini !”
“ Kenapa?”
“ Pasti kau yang mengambil uangku?”
“ Nggak kok. Berani sumpah.”
“ Benar ! Berani sumpah ? Nanti Pak Haji
akan kusuruh me-Yassin- kan
dirimu.”
“Jangan ! Jangan De! Aku yang mencuri.
Tadi sudah kita makan bersama.”
Keduanya tertawa. “ Dasar anak bandel.”
“ Maaf De. Aku lapar sekali. Tapi, aku kan tak berdosa. Kau
juga ikut makan tadi. ”
Aditya memeluk temannya. “Kau pintar juga.
Belajar kolusi dari yang kecil – kecil,ya. Kenapa kau tak bilang – bilang. Kita
jangan terpengaruh oleh bapak – bapak yang di atas sana. Biarkan ia saja yang menjadi pencuri
berdasi. Meski kita loper koran. Kejujuran tetap kita pegang.”
“
Hebat kau De.”
“ Ayo kita pulang. Hari sudah menjelang sore.”
Hari itu tumben beberapa korannya tidak laku. Ia kembalikan lagi pada pengepul.
Ia katakan. “ Tiang sudah berusaha menjualnya, tapi tak banyak yang
meliriknya.”
“ Mungkin karena sudah mendengar beritanya
di TV. “
“ Bisa juga.”
Aditya pulang cepat – cepat. Ia sudah
berjanji akan membantu tetangganya yang sedang punya kerja. Ia merasa malu jika
tak sempat membantu orang lain. “ Selagi ada waktu berusahalah membantu orang
lain.”
Sampai di depan rumahnya, ia seperti
melihat seseorang. Ia merasa mengenal orang itu. Ia mengucek – ngucek matanya.
“ Apakah itu ibuku ? Apakah ini hanya bayangan saja.” Ia lihat
ibunya menangis.
“ Ke sini De. Ke sini De! Peluklah ibumu.”
Aditya terus mendekat. Saat mendekat, ia
memeluk angin. “ Ah, aku terbawa ilusi.” Ia duduk sambil menarik nafasnya dalam
– dalam. “ Ada
apa dengan ibu?” bisiknya. “ Apakah ibuku sakit?”
Tetangganya memanggil - manggil namanya.
“ Ada
apa tanyanya?”
“ Ayo ikut aku ke rumah sakit! Ibumu dimutilasi .”
Catatan :
Banjar : nama
organisasi masyarakat di Bali
Bapa : ayah
Hyang Widhi : Tuhan
Odalan : hari
kelahiran, upacara
Pura : tempat
suci agama Hindu
Tiang : saya
Labels: Cerpen