Cerpen Derita Ibu Deritaku

Derita Ibu Deritaku
Cerpen IBW  Widiasa Keniten

            Ayahku terkena struk. Sudah hampir setahun ini ibu dan aku disibukkan untuk mengurus ayahku. Pengeluaran keluargaku semakin bertambah. Biaya rumah tangga, adat, dan biaya pengobatan. Tabungan Ibu semakin hari semakin menipis.
Ayahku dulu seorang kabag sebuah  dinas. Ia tidak bisa terima saat tiba – tiba terjadi mutasi besar – besaran di dinasnya. Ayahku bukannya hanya dicopot jabatannya, tapi juga diturunkan pangkatnya. Alasan penurunannya karena tidak loyal pada atasan.
 Ayahku memang agak idealis. Ia sering mengutarakan ketimpangan – ketimpangan yang  terjadi di dinasnya. Ayahku tak mau diajak membuat laporan fiktif terhadap sebuah proyek yang didanai dari pusat. Kepala dinas tidak terima . Ayahku kena getahnya. Tidak lagi menjadi kabag. Ia menjadi pegawai biasa, tanpa jabatan. Rupanya ayahku tak bisa terima. Ia merasa sakit hati.  Karena tak kuat lagi, ia terkena struk. Awalnya mulutnya yang miring. Kedua kaki dan tangannya menjadi kaku. Terakhir ayahku tak bisa bicara lagi.
Ibuku sudah berusaha mencarikan obat. Beberapa balian sudah didatangi. Pengobatan alternatif juga dijalani. Tabib – tabib yang mempromosikan dirinya di media massa sudah kami datangi. Toh Ayahku tak bisa sembuh. Sekarang, ia hanya bisa duduk dikursi dengan pandangan kosong.
Karena sakitnya yang teramat sangat itu, ayahku dipensiunkan. Meski usia pensiunnya sebenarnya belum waktunya. Otomatis gajinya juga tidak penuh kami dapatkan. Keluargaku berusaha menerima cobaan ini.
Ibuku berusaha semaksimal mungkin menutupi pengeluaran keluargaku. Ia mengajar di sebuah SMP Negeri. Sorenya dengan terpaksa mengadakan les tambahan. Kami tidak sempat lagi seperti dulu. Bercanda dengan ibu, bercanda dengan ayah, meminta pendapatnya tentang diriku.
Tampak ibuku teramat lelah. Setiba dari ngajar sorenya, kusempatkan memijati kakinya. Kubuatkan boreh agar tubuhnya tidak kedinginan. Senyumnya mengembang saat kubuatkan air panas.
“ Terima kasih, Anakku.” Sambil menuju kamar mandi.
Kubuatkan sedikit sayur kesukaan ibuku. Beliau suka sayur hijau. Tetanggaku yang panen sayur hijau memberiku tadi sore. Kucampurkan dengan bumbu – bumbu kesukaannya.
Sehabis mandi, ibuku ke merajan. Ia mengucapkan syukur pada Hyang Widhi yang  masih bisa menjalani hidup yang semakin menggila ini. Ia memohon diberikan jalan terang pada Hyang Widhi. Ia berharap Hyang Widhi merasuki  pori – pori jiwanya.
“ Bu, ini masakanku.” Ia tersenyum.
“ Kau memang pintar, Anakku. Ayahmu sudah kau suguhkan?”
“ Sudah Bu. Tadi aku suapi ayah. Beliau sudah bisa menelan beberapa sendok  bubur. Semoga besok semakin banyak makan buburnya.”
“ Semoga ayahmu bisa sembuh.”
“ Mudah – mudahan Hyang Widhi mengabulkan permohonan kita.”
Aku memperhatikan ibuku. Ia bercerita tentang harga beras yang semakin merangkak naik. Harga – harga kebutuhan tak pernah turun. Sedangkan gaji yang diterimanya tetap sama.
“ Bu, bagaimana kalau aku sekolah sambil kerja?”
Ibuku tak menjawab. Aku yakin beliau berat hatinya untuk memberikanku bekerja pada sebuah toko. Toko yang tidak terlalu jauh dari rumahku kebetulan menerima karyawan yang bekerja setengah hari. Sepulang dari sekolah aku maunya bekerja di toko Serbada.  Aku pikir tidak akan mengganggu waktu belajarku. Aku sekolah di sebuah SMA. Meski banyak kegiatan di sekolah, aku cuma mencari satu ekstra sebagai persyaratan agar bisa naik kelas.
“ Bu, berikan aku bekerja di toko,ya?” pintaku berulang – ulang.
“ Di toko serbada  yang baru diresmikan kemarin di selatan rumah Bapa Parta itu. Tadi aku sempat menanyakan ada lowongan pekerjaan untuk anak – anak seusiaku .”
“ Baiklah ! Kalau itu kemauanmu.”
Aku gembira menerima keputusan ibuku. Aku membuat surat lamaran pekerjaan. Hanya berselang beberapa hari aku sudah dipanggil untuk menjalani tes wawancara. Aku ditanyai asal – usulku. Nama ayahku, nama ibuku .  Kukatakan sejujur –jujurnya. Bapa Wayan sebagai pemilik toko Serbada itu tampaknya menerima. Ia kelihatan manggut – manggut. Lebih – lebih saat kukatakan nama ibuku Luh Karyani.
“ Mulai besok bekerjalah di sini.”
“ Terima kasih,” jawabku.
Aku bekerja paruh waktu. Aku tidak sempat lagi meluangkan waktu untuk bercerita dengan teman – teman seusiaku. Teman – temanku mengerti kesulitanku. Setiap bel akhir berbunyi, aku cepat – cepat pulang. Makan dan berganti pakaian unuk menuju toko Bapa Wayan.
Hampir enam bulan sudah aku bekerja di toko Serbada  milik Bapa Wayan. Aku kadang – kadang diajak mengambil barang – barang  ke kota lain. Bahkan, pernah aku menginap pada sebuah hotel. Saat itu, aku tak sempat menyampaikan pada ibuku. Ibuku tak sempat tidur malam itu. Saat tiba di rumah, kupeluk ibuku. Aku minta maaf. Aku diinterograsi. Aku sampaikan tak terjadi sesuatu padaku.
“ Syukurlah,” kata ibuku.
“ Memanya kenapa, Bu?” tanyaku.
Ibuku terdiam. Tapi, dari raut wajahnya beliau tampak geram dan marah. “ Sudahlah ! Ayo makan dulu. Sudah ibu buatkan makanan kesukaanmu.”
“ Aku jadi malu sama ibu.”
Ibuku tersenyum. Kulihat kecantikannya memancar.
Aku menikmati masakan ibu. Hari itu ibuku tak ngajar. Ia mesti mengantarkan ayahku ke rumah sakit. Ibu mencarter sebuah  bemo. Aku dan ibu menggotong ayahku ke bemo.
Air mata ayah menetes. Ia memeluk erat tubuhku. Ia sempat mengusap – usap rambutku. Kudekatkan kepalaku di pundaknya. Aku merasakan kesejukan. Aku merasakan kasihnya.
“ Berangkatlah ke sekolah. Jangan malas belajar. Belajarlah selagi ada kesempatan. Aku bangga punya anak sepertimu.”
“ Terima kasih ibu.”
Aku ke sekolah. Aku berusaha agar tidak ngantuk. Meski mataku terasa berat. Dan terkadang terasa perih. Saat jam istirahat, aku tak ke kantin. Tapi, tidur di meja. Lumayan lima belas menit untuk menghilangkan rasa kantuk. Teman – temanku ada yang jahil. Ada juga yang merasa iba.
“ Biarkan ia tertidur,” teriak teman sebangku. “ Kasihan ia. Ayahnya struk, biaya pengobatan tak sedikit. Mudah – mudahan ayah kita tak mengalami seperti dirinya.”
Bel pelajaran berakhir. Seperti biasa aku cepat – cepat pulang. Tidak lagi melihat teman – temanku yang jalannya seperti seorang model. Aku digelari anak Jepang karena jalanku selalu cepat – cepat.
Hari itu, aku mesti ikut mencari barang ke kota lain. Tampaknya Bapa Wayan sudah mengatur waktunya. Anehnya, hanya aku yang disukai mengajaknya. Padahal, banyak karyawannya yang seusia denganku. Bahkan lebih cekatan bekerja dibandingkan dengan diriku.
“ Mari Ayu! Kita berangkat sekarang.”
 Aku menaiki mobil kijangnya. Aku duduk di depan. Aku diajak keliling kota sampai larut malam.
“ Kita menginap di kota sini saja.”
“ Tapi, Pak. Tiang tak sempat menyampaikan sama Meme.”
“ Mememu tahu siapa Bapa. Ia teman Bapa  dulu.”
Aku terdiam. “ Kenapa meme tak pernah mengatakan padaku?” tanyaku dalam hati. “ Aku sering bercerita tentang Bapa Wayan.Kenapa tidak ada komentarnya? Kenapa ibu tampak tegang saat kukatakan bekerja pada Bapa wayan. “
Bapa Wayan melajukan mobilnya dan menuju pada sebuah hotel. Aku gemetar saat memasuki hotel. Bapa Wayan sengaja mengatakan pada resepsionist bahwa aku anaknya. Ia memesan satu kamar .
“ Masuklah Ayu! “ Ia menyeretku. Hilang kata – kata pujiannya yang sering kudengar. Hilang Wajah ramahnya.Yang kulihat wajah beringas seekor singa yang siap menerkam mangsanya.
Dengan entengnya, ia berkata.” Agar kau tahu Ayu. Ibumu juga kuperlakukan seperti ini dulu. Ia telah berani menolak isi hatiku. Sekarang kau gilirannya.”
“ Berarti, bapa memperkosa ibu?”
“ Benar! Seperti ini! “  Bajuku dibuka paksa. Aku berontak. Dan terus berontak.  Entah dari mana kekuatan itu terjadi.  Tak dinyana, tanganku meraba sebuah gunting.

                                                Penulis adalah guru SMAN 2 Amlapura, Bali
                                                Email: ibw.keniten@yahoo.co.id

Catatan

Balian              : dukun
Bapa                : Sebutan orang yang seusia dengan ayah
Boreh              : parem
Hyang Widhi  : Tuhan
Meme              : Ibu
Merajan           :  nama tempat suci agama Hindu
Tiang               : Saya

Labels: