Hamil Cerpen
IBW Widiasa Keniten
Faisah hamil.
Sebagai seorang istri, ia merasa bersyukur. Sudah lima tahun ia menanti sebuah kehamilan.
Usahanya tidak sia – sia. Tabib – tabib yang pernah didatanginya menyatakan
bahwa Faisah tidak mungkin bisa hamil karena ada gangguan pada rahimnya. Dokter
sepesialis kandungan juga menyatakan hal yang sama. Faisal tidak bisa hamil,
tapi nyatanya ia bisa hamil.
Nurdin, suaminya
juga merasa bahagia. Sebagai seorang laki – laki ia merasa jantan karena mampu
menghamili istri tercintanya. Setiap datang dari kerja, ia mengelus – elus
kehamilan istrinya. Kadang – kadang dibisiki kata – kata yang berisi harapan
pada anaknya. “ Jadilah anak yang berbakti pada orang tua. Jadilah seorang anak
yang pantang menyerah. Jadilah seorang anak yang bisa memimpin diri sendiri,
sebelum memimpin orang lain.”
Ada geliat pada kehamilan Faisah. Ia tatapi
gerakan – gerakan anaknya. “ Bu lihat anak kita tampak gembira melihat kita
akur.”
Faisah memeluk
suaminya. “ Aku saying, Mas. Karena Mas, saya bisa menjadi seorang ibu. Anak
kita akan memanggil kita ayah dan ibu. Aku sudah lama menanti panggilan itu.”
“ Sama Bu. Aku rasanya sudah ingin memomongnya.”
Malam berjalan, suami istri itu tertidur.
Mereka menikmati indahnya mimpi.Dengan mimpi, melewati gejolak hidup yang
semakin tak menentu. Bayangan kakeknya
hadir dalam mimpinya. Kakeknya amat mengasihi cucunya. Apalagi Faisah
dikenalnya sedari kecil. Faisal juga amat hormat pada kakek Nurdin.
Pertemuannya pun sepertinya diatur oleh sang kakek.
“
Anakku, jagalah kehamilan itu. Anak itu akan menjadi seorang pemimpin. Ia akan
mengangkat hidupmu. Kesusahan hidupmu akan terlewati dengan menjadi ayah dan
ibu bagi anak itu.”
“ Ya Kek. Aku akan menjaganya. Meski
himpitan hidup terus mendera keluarga kami. “
“ Bagus! Kakek akan mengawasi perjalanan
hidupmu. Jangan kau sisa- siakan kehamilan istrimu itu.”
“ Tentu saja Kakek. Aku telah banyak
berkorban agar bisa istriku hamil. Sekaranglah permohonan kami direstui. Kami
merasa karunia ini amat berharga. Semoga ia menjadi harapan – harapan keluarga
kita.”
Kakek Nurdin tersenyum. “ Kakek tidak bisa
lama – lama bersamamu. Kakek mesti menuju alam Tuhan.”
Nurdin tersadar dari mimpinya. Ia melihat
istrinya masih mendengkur. Diciumi keningnya berulang –ulang.
Faisah membuka matanya.” Ada apa Mas?”
“ Nggak. Maaf aku mengganggu tidurmu..”
“ Tidak. Kulihat Mas seperti ceria
sekali.”
“ Aku bermimpi didatangi kakekku. Ia
berpesan agar kita menjaga kehamilanmu.”
“ Tentu saja, Mas. Ini masa depan kita.”
Faisah mengelus perutnya.
“ Semoga ia menjadi yang terbaik buat
kita.”
“ Harapanku juga seperti itu. Aku sudah
teramat lama menanti saat – saat seperti ini.”
Keduanya saling menatap dan melanjutkan
tidurnya. Pukul 4 pagi keduanya sudah bangun. Seperti biasa sembahyang pagi dan
mempersiapkan masakan untuk siangnya. Faisah menikmati pernikahannya. Sama
indahnya dengan pagi itu. Ayam piaraannya berkokok saling bersahutan. Mawar
merah memunculkan baunya. Semerah kasih
sayang yang dibinanya selama ini.
Nurdin pun berkemas untuk bekerja. Ia sebagai supir taksi. Penghasilnya
tidak tetap. Terkadang mendapatkan penghasilan yang lebih, kadang – kadang
kurang. Bahkan, pernah tidak mendapatkan satu penumpang pun. Ia menghela nafas.”
Hidup benar – benar tak bersahabat. Sudah kuusahakan agar menjadi yang terbaik
hari ini ternyata sebaliknya.”
“ Istriku kuatkan imammu. Aku akan
bertanggung jawab terhadap keluarga kita,” bisiknya. “ Aku akan membahagiakan keluarga
kita.”
Siang harinya, ia dipanggil oleh
atasannya. Ia tak tahu apa yang akan terjadi. Di benaknya berkelebat beragam
permasalahan. . “ Semoga tak terjadi sesuatu,” bisiknya. Ia menyadari taksinya
pernah bermasalah. Antara izin dengan plat operasinya tak sama. Atasannya sudah
mengakui kesalahannya. Tapi, karena itu ia dipanggil. Nurdin tak tahu.
“ Silakan duduk, Pak.”
“ Terima kasih.”
“ Pak, maaf dengan berat hati mesti saya
sampaikan.”
“ Kenapa, Pak?”
“ Manager memberikan surat ini pada saya. Dan, saya harus
menyerahkannya kepada Bapak.”
Nurdin berkeringat. Hatinya bergemuruh. “
Tuhan, semoga tidak terjadi sesuatu padaku.”
Nurdin membukanya pelan – pelan. Atasannya memperhatikan. Ia
baca surat itu.
Jelas tertera managernya mengadakan PHK terhadapnya.
“ Maaf
Pak, terpaksa hal ini kami lakukan.Perusahaan tidak bisa lagi mempekerjakan
Bapak. Setoran Bapak terus berkurang semenjak dua bulan ini, sedangkan
perusahan sedang mengalami masalah. Dengan berat hati, kami merumahkan Bapak.
Terima kasih.”
“ Oh, Tuhan. Kenapa hal ini mesti kualami.
Saat kami memerlukan banyak biaya untuk mempersiapkan kelahiran anakku. Aku tak
bisa berbuat apa lagi.”
“ Maaf, Pak. Sekali lagi, maaf. Dengan
berat hati, saya mesti memberikan surat
ini.”
“ Ndak apa – apa. Saya menyadari kesulitan
perusahaan. Sampaikan salam saya pada manager.”
Nurdin pun menyerahkan surat
– surat
mobilnya, beserta kuncinya. Ia pulang dengan menumpang angkot. Hatinya gelisah
teramat amat.” Tuhan kenapa mesti ini kualami. Tolonglah hambamu, Tuhan.”
“ Istriku dan Anakku.Maaf ayah tak bisa memberikan kehidupan
buatmu. Tapi, ayah akan terus berusaha”
Ia sampaikan pada
istrinya bahwa dirinya telah di- PHK. Perusahaannya melakukan perampingan. Tidak
hanya dirinya saja yang di- PHK teman – temannya juga kena ,tapi masalah
hidupnya tentu berbeda.
“
Pak, untuk sementara kita masih bisa hidup. Kita jual saja kalung ini untuk
biaya hidup kita.”
Dengan berat hati,
Nurdin menjual kalung istrinya satu –satunya. Biaya hidupnya bisa tercukupi
untuk sementara waktu.
Bulan terus
berjalan. Tuan rumahnya memintanya agar segera membayar tunggakkan sewa kamar.
Sudah empat bulan ini, Nurdin tak membayarnya. Jika tidak membayarnya sampai
bulan ini akan diusir secara paksa atau dilaporkan pada pihak berwajib.
“ Gimana ini, Mas.
Tuan rumah kita terus meminta uang kontrakkan,sedangkan kita tak ada memiliki apa
– apa lagi. Aku punya usul. Semoga Mas tidak marah.”
“ Apa usulmu?”
“ Kita jual saja
anak kita ini.”
Nurdin terperanjat.
Ia tak menyangka usul istrinya seperti itu. Selama hidupnya baru sekarang,
seorang istri yang tega menjual anak kandungnya.
“ Apa aku tak salah
dengar, Bu ?”
“ Tidak Mas. Aku
sudah bulat. Meski ini terasa berat. Kita mesti melakukannya. Aku tidak ingin
anak kita juga sama dengan kita. Ia mesti menjadi harapanmu. Ia mesti menjadi
pemimpin masa depan.”
Nurdin memandang
istrinya. Ia memeluknya erat sekali.
Labels: Cerpen