Indah Itu Luka
Cerpen
IBW Widiasa Keniten
Aku Indah. Nama
pemberian orang tuaku. Kelahiranku memang tidak terlalu diharapkan oleh ayahku.
Ayahku curiga pada ibuku. Saat menikah dengan ayahku, ibuku sudah berbadan dua.
Tidak meyakini bahwa yang dikandung
ibuku darah dagingnya.
Berulang kali,
ayahku meminta agar ibuku mau menggugurkan kandungannya. Tapi, tak diturutinya.
Kata hatinya berkata, yang di rahimnya adalah benih dari ayahku.
Ibuku memang
cantik. Banyak laki – laki yang terpikat pada kecantikannya. Ia idola di
banjarku. Hampir setiap lelaki yang normal menaruh hati padanya. Ibuku
menyadari hal itu. Hampir setiap malam ada saja laki – laki yang mengunjungi
rumah kakekku. Kakekku tumbuh juga kekhawtirannya. “ Jangan – jangan ibuku akan
menjadi luh jalir di banjarku.” Nama baik keluarga bisa hancur karena kelakuan
anaknya.
Ibuku memang
rebutan. Bapa Ardana sampai berani menjual harta warisannya untuk membeli guna
– guna agar mampu menyunting hati ibuku. Bapa Kertia lain lagi. Ia belajar pada
seorang balian agar dapat menguasai ilmu pelet. Bapa Rupawan bahkan berjanji
akan memenuhi segala keinginannya jika mampu memperistri ibuku. Tapi, tak
satupun yang menyentuh hati ibuku. Setiap yang datang selalu dianggapnya
sebagai kakaknya.
Entah kenapa ibuku
justru terpikat pada ayahku sekarang ini. Ayahku tidak ganteng dan juga tidak
kaya seperti laki – laki yang menaruh hati pada ibuku. Ayahku menurut
penilaianku biasa – biasa saja. Tapi, hati ibuku seperti terhipnotis saat
bertemu dengannya. Saat ayahku menyatakan cintanya, ibuku langsung membalasnya.
Ayahku pun tidak terlalu yakin pada cintanya akan diterima. Rupanya ayahku
menyadari kekurangannya.
Waktu terus
berjalan, orang – orang di banjarku hampir semuanya sudah mengetahui, ayahku
yang dipilih ibuku. Hingga suatu ketika, ibuku dinikahi. Orang tuaku katanya
amat bahagia saat itu.
Ayahku seorang
petani. Ia bekerja menghabiskan waktunya di sawah. Sawah kakekku diolahnya
dengan amat bagusnya. Penghasilannya pun lumayan juga. Bisa untuk mencukupi
keperluan kami. Tanah sawah kakekku dirawatnya seperti merawat dirinya. Jika
musim panen, selalu menyempatkan mengucapkan puji syukur pada Ibu Bumi. Sesajen
selalu dipersembahkan. Tampaknya ayahku meyakini benar karunia Hyang Widhi.
Kotoran sapi yang
di gubuk tidak ada yang sampai menumpuk. Jika sudah kering ditebarkan ke tengah
sawah. Jarang sekali kulihat ayahku membeli pupuk. Jerami sisa panen tidak
dibuang. Tapi, diolah menjadi pupuk kompos. Tanah leluhur kami terawat dengan
baik. Hampir tidak pernah mengalami gagal panen.
Entah karena apa
ayahku seperti mencurigai kesetian ibuku. Katanya aku bukan darah dagingnya.
Cerita ini kudapat secara tidak langsung mendengarkan perbincangan bibiku. Ia
menceritakan bahwa kecacatanku karena ibuku dipaksa mengugurkan kandungannya.
Ibuku dipaksa meminum beragam ramuan. Sebagai seorang ibu, ibuku menuruti saja.
Dalam hatinya, ia merasa bersalah. Merasa berdosa. Nuraninya berkata, “ Anakku, jangan bersedih. Kau memang
anak ayahmu . “
Sampai akhirnya aku
lahir. Kelahiranku yang tidak terlalu diharapkan oleh ayahku. Ayahku tidak
pernah peduli pada ibuku. Ia merasa tidak memiliki diriku. Setiap hari hanya
ibuku yang merawat diriku.
Umur tiga bulan
kejadian itu terjadi. Aku panas yang
teramat sangat. Ibuku terus menangisi diriku. Aku dilarikan ke bidan desa. Aku
diobati. Syukurlah aku bisa berangsur – angsur sembuh. Tapi, kakiku seperti tak
mampu kugerakkan. Seperti tak bertenaga. Aku dinyatakan volio. Sampai usiaku
sekarang ini. Aku tidak bisa berjalan normal. Aku berjalan dengan tongkat. Ada
juga yang menyumbangkan kursi roda buatku. Aku tidak bersedih. Apalagi menaruh
dendam pada ayahku. Kupikir ayahku saking terlalu curiganya pada ibuku yang
menyebabkan sampai pikiran dan hatinya tertutup kegelapan.
Masa – masa sekolah
kujalani dengan baik. Aku tidak mau dimasukkan di sekolah anak – anak cacat. Aku
sendiri tidak merasa cacat. Aku belajar dengan anak – anak normal. Tuhan sungguh adil. Dalam keterbatasan fisikku, aku
dikaruniai kecerdasan yang cukup tinggi. Teman – temanku tidak ada yang
menjauhi diriku. Mereka selalu menganggapku sebagai anak normal.
Di sekolah, aku
selalu mendapatkan juara umum. Setiap semesteran, ibuku yang mengambilkan raporku. Air matanya membasahi
pipinya yang putih. Lebih – lebih kepala sekolah selalu memujiku. Beasiswa
sebagai siswa berprestasi kudapatkan.
Aku tidak mau
berhenti bersekolah. Aku mau kuliah seperti anak – anak normal lainnya. Ibuku
tetap mendukungku. Tapi, ayahku masih tetap teguh pada pendiriannya. Tidak
terlalu bersemangat saat kusampaikan akan kuliah di jurusan farmasi. Bahkan,
aku disuruh berhenti saja kuliah. Aku tidak mau.
“ Baiklah ! Kalau
engkau ingin kuliah, ayah tidak mau membiayai kuliahmu. Silakan minta uang sama
ibumu.”
Kulirik ibuku. Ia
tersenyum.
“ Ayah, tolonglah
jangan terus membenci anakmu ini. Aku darah dagingmu, Ayah. Aku bukan anak
haram, “ bisikku dalam hati.
Semenjak keinginan
ayahku tak kuturuti, ia tidak mau peduli lagi akan kuliahku. Ibuku sampai
menjual gelang yang dibawanya saat menikah dulu untuk membiayai kuliahku. Ibuku
terus bekerja siang malam. Ia ingin
buktikan mampu menanggung biaya pendidikanku.
Ibuku memang
terampil dalam menjahit pakaian. Hampir orang – orang di banjarku memuji
jahitannya. Orderan selalu datang. Lebih – lebih saat aku kuliah, hampir tidak
pernah sepi. Ibuku bersyukur bisa membiayai kuliahku. Saking lelah jiwa dan
raganya, ibuku jatuh sakit. Ibuku terkena radang paru – paru. Kadang – kadang
batuknya teramat kuat. Aku merasa bersalah . Ibuku sakit karena aku. Kukatakan
jika ibu terlalu berat membiayai kuliahku, aku akan berhenti kuliah. Ibuku tak
setuju. Ia marah. Katanya dengan ilmu, aku
berbakti pada orang tua.
Aku kembali ke kota. Ibuku menatapku
dengan tatapan sayu. Tubuhnya semakin ringkih. Kelihatan seperti memaksakan
dirinya. Radang paru – paru menggerogoti tubuhnya. “ Hyang Widhi, berikanlah
kesembuhan pada ibuku.”
Sebagai anak, aku
pun tidak menyia – nyiakan perjuangan ibuku. Aku belajar siang malam. Aku ingin
buktikan pada ayah dan ibuku bahwa aku wajar dihargai. Aku mendapatkan beasiswa
lagi. Aku manfaatkan dengan sebaik mungkin. Jika teman – temanku bermalam
minggu, aku menghabiskan waktuku dengan belajar. Aku memang cerdas. Semua mata
kuliahku lulus dengan memuaskan.
Kadang – kadang aku
tumbuh juga rasa iri pada teman – teman kuliahku. Ia bisa berpacaran dan
menikmati masa remaja dengan indahnya. Tapi aku, selalu berkutat dengan derita
batin. Fisikku yang cacat seperti berpadu dengan sikap ayahku yang tidak peduli
padaku. “ Tuhan bukalah hati ayahku.”
Jujur kukatakan,
aku cantik., sesuai dengan namaku, Indah. Teman – teman priaku memujiku. Tapi,
fisikku yang cacat menjadikan ia tidak berani menyatakan cintanya. Ia tahu
orang tuanya pasti tidak akan merestui hubungannya. Ia tidak mau menyakiti
hatiku. Aku memakluminya.
Hari – hari akhir
kuliah sudah semakin dekat. Aku sengaja menyusun skripsi dengan mengambil
sampel orang – orang cacat. Skripsiku dianggap menarik bagi dosen – dosenku.
Aku lulus cumlaude. Dan aku berhak bekerja di almamaterku di bagian laboratorium.
Aku cepat – cepat pulang. Aku ingin bersujud di
kaki orang tuaku. Akan kupeluk ibuku . Akan kucurahkan kebahagianku.
Aku
tiba di banjarku. Aku kaget. Kudengar kulkul banjarku bertalu – talu. Kebakaran ! Kebakaran !
Kebakaraaaaaaaaaaaaaan! ” teriaknya. Aku gelagapan. Kulihat kepulan asap
membungbung di atas rumahku.
Penulis
adalah guru SMAN 2 Amlapura, Bali
Email:
ibw.keniten@yahoo.co.id
Catatan
Bapa : Ayah,
bapak
Banjar : nama
organisasi kemasyarakatan di Bali
Balian : dukun
Hyang Widhi : Tuhan
Kulkul : kentongan
Luh jalir : perempuan
penghibur
Labels: Cerpen