Jembatan
Bambu
Cerpen
IBW Widiasa Keniten
Liukan air di bawah
jembatan itu seperti membisikkan sesuatu pada Made Arka. Ia tak segan – segan
memelototi arah dan akhir jalannya air. Ia seperti berpikir bahwa hidup
ibaratnya aliran air. Terkadang jernih. Terkadang keruh. Kadang berbau. Kadang
pekat.
Ia perhatikan liukkan air membentur batu . Sela – sela batu
seperti memberikan jalan. Air di bawah jembatan itu tak pernah berhenti
mengalir. Seperti aliran hidup yang tiada pernah terputus.
Di hulu jembatan itu,
terdapat sebuah terowongan kecil sebagai penghubung sumbar mata air yang di
hulunya. Arka seperti ingat betul tempat
– tempat itu. Tanah yang sekarang ini sudah disulap menjadi ruko dan sisanya
untuk bangunan sekolah sebuah SMA sebenarnya tanah orang tuanya dulu. Ia tak
berani menentang sebuah keputusan. Jika itu dilawannya mungkin hari ini tak
sempat lagi melihat liukkan air di bawah jembatan itu.
Jembatan itu
terbuat dari bambu. Di samping kanan dan kirinya dipasangi penyangga dari turus hidup. Turus hidup itu menunjukkan
dirinya bisa hidup meski dibebani dengan empat buah bambu. Bambu – bamb itu
sepertinya punya kuasa terhadap kehidupannya. Dalam himpitan hidupnya itu, turus hidup masih bisa bertahan dan
menunjukkan eksistensinya sebagai sebuah pohon. Pohon – pohon itu memberikan
sedikit kesejukan, meski terkadang tangan – tangan tak bertanggung jawab
mencabutnya. Ia tak marah. Bahkan, tumbuh lagi dengan tunas baru.
Arka terbiasa
berdiri di tengah – tengah jembatan bambu itu. Ia mampu berlama – lama
memperhatikan liukkan air. Ia tak sadar bahwa ia sebenarnya juga memberi beban
pada pohon yang menyangganya. Anehnya, Arka senang melompat - lompat di atas jembatan
bambu itu seperti anak kecil gegirangan dibelikan boneka.
“ Hore ! Hore!
Lihatlah aku. Aku bisa melompat tinggi sekali. Aku bisa sebagai pelompat
tinggi. “ Ia tak tak sadar lompatannya yang tinggi itu sebenarnya memberi tekanan pada
bambu. Lebih – lebih bambu – bambu itu sudah mulai kropos.
“ Brak ! Brak!
Braaak” bambu yang mendapat tekanan dari lompatan Arka remuk. Arka terjatuh ke
kali itu. Ia kecipratan air. Orang – orang yang lewat tak berani tertawa takut
kalau –kalau Arka tersinggung.
Arka dikenal
sebagai pemuda yang cepat marah. Wataknya tak banyak berubah meski tiap hari
memperhatikan jernihnya air di bawah jembatan. Ia bangun perlahan – lahan
sambil memegang pinggangnya. Syukurlah cuma kakinya yang keseleo.
“ Tolong! Tolong!
Bangunkan aku!”
Setelah minta
tolong barulah orang – orang yang mau menyebrangi jembatan itu mengulurkan tangannya.
“ Pegang tangannya
! Pegang kakinya! Pegang pundaknya!” Hampir semua tubuhnya diminta dipegangi.
“ Janganlah suka
lompat – lompatan di sini. Kau bukan seorang atlet. Kau hanya seorang guru. Kau
juga bukan seorang guru olah raga. Mendingan kalau guru olah raga jatuh karena latihan
melompat. Melompat juga perlu perhitungan. Kau seorang guru mestinya banyak punya perhitungan. Otakmu
digunakan. Kayak tak punya otak saja.
Arka seorang guru sejarah. Ia hafal betul mengenai
sejarah Indonesia.
Sejarah Asia. Sejarah Eropa. Lucunya sejarah hidupnya tak ia ketahui. Sudah
beberapa babad ia baca. Tak satupun yang memberikan jalan keluar. Semua babad
mengatakan tak ada yang menuliskan jejak leluhurnya. Gelap seperti Tilem Kepitu. Meski begitu ia
tak pantang. Ia tak peduli mengenai sejarah hidupnya. Yang penting sekarang
baginya bisa membuat sejarah baginya dengan melompat dan memandangi air di bawah jembatan. Orang –
orang akan menceritakan dirinya bahwa ada seseorang yang suka melompat - lompat
di atas jembatan bambu. Dalam hatinya, ia berharap semoga tak diganti jembatan
bambu itu. Jika diganti, sejarah barunya akan terputus. Orang – orang tidak
akan mengingatnya lagi. Kisah jatuhnya di kali itu. Kisah tubuhnya yang
digotong beramai – ramai akan hilang ditelan waktu. Singkatnya sejarahnya akan
hilang.
“ Sudah ! Sudah
kita biarkan saja Arka di sini. Ia guru yang tak waras. Guru sukanya lompat –
lompatan bukannya memberi contoh malahan dicontohi agar berbuat yang benar.
Arka sendiri tak
merasa dirinya bersalah. Ia hanya mencobakan dirinya. Apakah ia kuat saat
melompat atau akan jatuh. Dan berkeinginan merasakan dirinya jatuh. “ Jika tak
pernah sakit. Bagaimana mungkin bisa merasakan sakit,” bisiknya.
Meski ia sakit. Ia
bersyukur juga. Dengan sakitnya itu, berarti ada yang merasa disakiti. Paling
tidak orang yang lewat di jembatan itu. Atau bambu – bambu itu yang ingin marah
tapi tak bisa. Atau turus hidup itu
yang tertekan karena bebannya yang tak masuk akal.
Bagi Arka itu tak
penting,ia hanya ingin melompat saja. Dan melompat.
Arka meringis. Satupun
orang – orang tadi tak ada yang menolehnya.
Arka pulang dengan
pakaian basah kuyup dan tubuhnya yang kesakitan. Tak ada yang dilaporinya. Ia tak punya
pendamping. Ia tak beranak pinak. Ia tak punya orang tua lagi. Ia dalam
kesendirian. Kehidupannya biasa dijalaninya dengan kesendirian. Dalam
kesendirian, Arka lebih bisa menikmati hidupnya. Rumahnya yang sederhana itu
menjadikannya hidupnya semakin sederhana. Kehidupannya tak terlalu banyak
berbicara. Hanya kebiasaannya yang banyak dibicarakannya orang – orang. Baik
orang – orang yang melintasi jembatan atau orang – orang dekat padanya.
Karena sudah
terbiasa seperti itu, tak ada yang mempedulikan Arka lagi. Setiap hari, Arka memperhatikan liukkan air di bawah
jembatan bambu itu, tidak banyak yang peduli lagi. orang – orang sepakat
mengatakan Arka sudah lepas kontrol dari hidupnya yang normal sebagai manusia.
“ Ah, Arka lagi di sana. Pasti nanti ia akan
terjatuh lagi. “ Orang – orang itu mengintipnya. Tapi, sampai agak siang Arka
tak jatuh – jatuh juga. Arka bahkan semakin berani melompat semakin tinggi dan
semakin tinggi. Bahkan hampir mendekati pohon pinang. Kalu tidak salah kira – kira tingginya tiga meter.
Orang – orang itupun semakin tak mengerti kenapa tubuh Arka kelihatan ringan
sekali seperti kapas yang diterbangkan angin.?
“ Pasti Arka
mendapat manik kapas hingga tubuhnya seringan angin.”
“ Aku tak percaya
.”
“ Aku justru
menyakininya karena usahanya yang tak kenal lelah untuk belajar terbang.”
“ Aku berpikir.
Arka itu memiliki kekuatan khusus. Kudengar ia belajar ilmu terbang pada
seorang balian di desa. Balian itu
mengharapkan agar Arka mewarisi segala ilmu kebatinannya. Tampaknya Arka belum
maksimal. Kelihatannya ia bersemangat belajar, tapi belum mumpuni. Perlu
perjuangan yang semakin keras.”
Semakin hari
semakin tak terkontrol Arka. Ia tak
menghitung hari. Pagi, siang, sore, malam dipergunakannya untuk berlatih
melompat di atas jembatan bambu. Tak ada rasa lelah yang kelihatan. Cuma tubuhnya
yang semakin kurus karena terlalu sering berlatih.
“ Lihatlah! Arka
itu terbang tinggi sekali. Lihatlah !” orang – orang itu berseru.
Orang – orang yang melintas
di jembatan bambu itu terpana.
“ Tidak masuk akal.
Wah, tidak masuk akal. Begitu tinggi terbangnya. “
“ Aku yakin itulah
puncak ilmu terbangnya.”
“ Tidak juga. Pasti
ada yang lebih tinggi dari yang diinginkan Arka. Ia ingin melayang – laying
seperti burung.”
“ Hebat Arka itu !
Aku ingin seprti dia bisa terbang ke mana yang dia mau.”
“ Lihatlah ! Arka
meliukkan tubuhnya . Lihatlah dia mematuk – matuk seperti seekor burung gagak.
Lihatlah mulutnya yang mulai menyimpan darah temannya. “
Orang – orang itu
merasa ngeri juga. “ Ternyata Arka itu seorang pembunuh. Itu ! Ituuuuu! Kakinya menginjak kepala seseorang. Kepala
orang itu tak berarti lagi. Ia jatuh.”
Arka semakin mabuk dengan bau darah. Tiba –
tiba angin nglilus datang. Arka tak mampu menentangnya. Tubuhnya terpental ke
bawah. Tepat mendarat di atas jembatan bambu. Orang – orang itu berkerumun. Ia
perhatikan Arka. Kakinya patah. Matanya masih terbuka seperti meminta sebuah
pertolongan. Ia berbisik,” Kawan terima kasih kau telah menonton tarianku. Sedari dulu, aku
ingin terbang. Terbang dan terbang menggapai harapan !
Catatan :
Balian : dukun
Nglilus : angin
kencang sekali
Tilem Kepitu : bulan mati
pada bulan ketujuh kelender Bali
Turus hidup : pohon yang
digunakan untuk tiang
Seorang guru yang suka duduk di sebuah jembatan kayu sebuah sekolah.
Ia selaalu memperhatikan air yang mengalir di bawahnya. Tidak ada yang tahu
bahwa ia agen PKI. Ia diambil di hadapan anak didiknya oleh tentara.
Labels: Cerpen