Cerpen
Kembang Semusim
IBW Widiasa Keniten
Luh Purnami
menghilang. Telah beberapa orang diutus
untuk mencarinya. Warga banjar mengeluarkan gongnya. Diperkirakan Luh Purnami
disembunyikan memedi. Jurang dan sungai didekat rumahnya disusuri. Luh Purnami tak
ditemukan juga. Mereka sepakat Luh Purnami tidak akan kembali lagi.
Luh Purnami dulu
bekerja pada sebuah LPD. Lembaga Perkeriditan Desa yang mengharapkan rakyat di
desa bisa lebih makmur. Bisa lebih enak hidupnya. Rumor berkembang, Luh Purnami
menggelapkan uang LPD. Lebih –lebih semenjak ia menjadi bendahara LPD,
kehidupannya semakin membaik. Rumahnya diperbaikinya. Ayahnya semakin
jarang marah – marah. Orang di banjar
itu mengibaratkan dirinya kembang semusim. Sebuah kembang yang memberi
keindahan hanya beberapa bulan. Lalu menghilang. Ia gadis yang tahu menempatkan dirinya. Ia menyadari berasal dari keluarga yang tidak akur.
Ia lupa menikah. Seakan tidak ada waktu untuk
memikirkan seorang laki – laki. Ia lebih senang hidup menyendiri, single parent
sering digelari. Baginya, menikah akan membuatnya terganggu. Hidup mesti
dibagi. Ia seakan tidak rela diatur oleh seorang laki – laki. Ada yang mengatakan ia tidak menikah karena orang
tuanya bercerai. Ibunya selalu mendapatkan siksaan. Hati kecilnya berkata,” Laki
– laki tidak pernah hormat pada seorang perempuan.”
Waktu terus
berjalan. Orang – orang di banjar itu tidak ada yang ingat lagi. Seperti biasa,
setelah 42 hari tidak akan ingat lagi pada masalah. Kedudukan Luh Purnami sudah
diganti oleh Ketut Wiratni. Ketut Wiratni sedikit kelabakan karena ia di
samping belum siap juga tidak terlalu paham dengan pembukuan. Ia hanya mampu
sebagai pemungut tabungan para nasabah. Tapi, ketua LPD memaksanya. Sebagai
bawahan, ia akhirnya bersedia .
Entah kenapa,
semenjak jabatan bendahara diambil oleh Ketut Wiratni keuangan LPD tidak jelas.
Uang yang masuk dan keluar tidak pernah balance. Selalu saja kurang. Kurangnya
semakin hari semakin bertambah. Kecurigaan muncul antara pengurus LPD terjadi persaingan tidak
sehat. Berita lucu muncul, ada pengurus yang memelihara bererong sehingga uang
nasabah terus berkurang.
Kasak – kusuk terus
berkembang.Para nasabah sepakat untuk menanyakaan keberadaan uangnya. Bendahara
dan ketuanya tidak mampu memberikan penjelasan yang memuaskan. Para nasabah ingin mengambil uangnya. Kepercayaannya
hilang pada LPD. Rush menghantui LPD. Ketua LPD tidak bisa memberikan jaminan
terhadap nasabah. Nasabah merasa dibohongi. Ia menyampaikan masalahnya pada
bendesa adat. Bendesa adat rencananya akan memanggil ketua LPD.
Hari pemanggilan
sudah disepakati pada Redite Umanis. Balai desa ramai oleh pengurus LPD dan
para nasabah. Tumben hari itu balai desa ramai. Biasanya ramai jika ada
sabungan ayam saja.
Perdebatan sudah
dimulai. Bendesa adat ingin tahu siapa yang paling banyak meminjam di LPD. Ketua
bersama bendahara LPD saling pandang.
“ Siapa yang paling
banyak meminjam di LPD? Siapa yang paling banyak menunggak atau tidak mau
mencicil?”
Ketua dan bendahara
tak menjawab. Keduanya tampak berkeringat karena yang terbanyak meminjam uang
justru bendesa adat dan sudah beberapa bulan tidak membayarnya lagi.
Pada saat pemilihan
ketua LPD memang ada perjanjian agar memberikan kebebesan kepada bendesa adat
untuk meminjam uang. Berapa pun yang diinginkan mesti dipenuhi. Kalau tidak
tidak akan terpilih menjadi ketua LPD.
Bendesa adat terus
membentak. “ Siapa yang menilep uang
nasabah? Siapa? Kalau tidak jelas kita akan laorkan pada yang berwajib atau
dikenai sanksi adat. Tiang bisa menjatuhkannya sekarang juga.”
Kembali ketua LPD
dan Ketut Warti saling pandang. Ketua LPD dengan berat hati mengatakan.” Luh
Purnami, Jro Bendesa.”
“ Ha ! Lagi – lagi
perempuan itu. Ia telah menghancurkan LPD kita. Pantas saja ia menghilang.
Baiklah! Para nasabah sudah mendengar tadi
yang menilep uang para nasabah tiada lain Luh Purnami. Jelas sekarang
permasalahannya. Dan seperti yang para nasabah ketahui, Luh Purnami menghilang.
Tiang teramat yakin. Luh Purnami menjadi biang kerok kehancuran LPD kita.”
“ Lantas apa langkah
Bendesa sekarang?”
“ Kita tidak bisa
berbuat apa – apa sekarang. “
“ Bagaimana kalau
rumahnya disita oleh LPD?”
“ Tiang setuju.”
“ Tiang juga amat
setujuuuuuuuuu!”
“ Baiklah kalau
begitu, mulai bulan depan seluruh kekayaan Luh Purnami milik desa. Uangnya
untuk pengembalian dana nasabah.”
Sangkepan berakhir,
semua pulang. Yang masih hanya bendesa bersama ketua dan bendahara LPD.
“ Terima kasih. Kau
telah menyelamatkan mukaku di hadapan para nasabah dan juga di hadapan pengurus
yang lain. “
Keduanya
bersalaman. “ Kita harus bisa bermain sandiwara. Semoga saja berjalan lancar.
Semoga Luh Purnami sudah mati saja.”
“ Ayo kita pulang!”
Keduanya kembali ke
rumah masing – masing.
Malam semakin
malam. Ketut Wiratni tidak bisa tidur. Hatinya gelisah. Ia merasa berbohong
pada para nasabah. Tubuhnya berkeringat. Sudah empat kali ia ke kamar mandi.
Panas dingin tubuhnya.
Pukul setengah
duabelas matanya bisa dipejamkan. Bayangan Luh Purnami datang.
“ Kejujuran memang
agak susah dijalankan. Kebohongan teramat mudah dilakasanakan. Kau telah menghancurkan
dirimu sendiri. Kau telah menjadi budak bagi Bendesamu.”
“ Maafkan tiang
Luh. Tiang tidak bisa berbuat apa. Jika saya tidak berbohong, saya akan
dipecat. Luh tahu. Saya tidak bisa bekerja selain pekerjaan ini. “
Luh Purnami
tertawa. “ Karena itu, kau menghancurkan orang lain. Sayangilah dirimu Tut!”
Sampai pagi Ketut
Wiratni tidak bisa memenjamkan matanya. Ia merasa bersalah pada Luh Purnami.
Pagi itu, ia tidak bekerja. Dan sebentar lagi bendesa adat akan menyita harta
Luh Purnami.
Para
nasabah disertai dengan bendesa adat sudah siap – siap mengambil alih tempat tinggal
Luh Purnami. Ayahnya tak bisa berbuat
banyak. Ia tidak memiliki cukup bukti untuk menolak permintaan Jro Bendesa dan
para nasabah.
“ Kita sita aja.
Kita sita saja!” teriak Jro Bendesa.
“ Lernyata Luh
Purnami berlaku tidak baik kepada kita.”
Entah karena lelah
atau karena apa. Tiba – tiba para nasabah melihat Luh Purnami berdiri di setiap
pintu rumah. Di setiap pojok rumah. Pekarangan rumah Luh Purnami dipenuhi
dengan kehadiran Luh Purnami.
Semua menjerit. “
Luh Purnami hidup. Luh Purnami hidup. “
Bendesa adat, ketua
LPD, dan Ketut Waratni tiba – tiba meninggalkan rumah Luh Purnami.
Catatan :
Banjar : nama organisasi kemasyarakatan di Bali
Bererong : makhluk halus yang dipercayai mampu
mengambil uang
Bendesa adat : pemimpin adat
Labels: Cerpen