Kobi
Cerpen
IBW Widiasa Keniten
Suamiku laki – laki yang tangguh. Tubuhnya atletis.
Tinggi. Wajahnya lumayan. Kukenal pertama kali saat aku bekerja di Kuta. Kupanggil Kobi. Ia anak campuran Ayahnya
Ambon . Ibunya Jawa.
Aku
bekerja sebagai waitres sebuah hotel . Kobi bekerja sebagai gaid freelance. Ia
juga pintar berselancar. Banyak turis mancanegara belajar padanya. Aku bangga punya suami yang mampu
melayani orang lain. Ia amat dikenal di antara sesama pemandu peselancar.
Hampir setiap peselancar mengakui kelebihan – kelebihannya. Liukkannya saat
bermain – main dengan ombak susah ditiru. Ia
menjadi idola para peselancar. Keseimbangan tubuhnya benar – benar
dijaga.
Ia ramah pada setiap orang yang mencari
penghidupan di Kuta. Apalagi terhadap tamu asing. Tamu meski dihormati dan
diperlakukan seperti diri sendiri. Hendaknya bisa menjadi pelayan yang baik.
Pelayanan nomor satu jika ingin
bercengkrama dengan turis.
Keluargaku tidak menaruh simpati padanya. Masa depan
Kobi tidak menjanjikan. “Seorang freelance tidak akan mampu
membahagiakan sebuah keluarga. Keluarga tidak hanya dibangun dengan cinta.
Perlu uang, “ katanya.
Cinta ternyata mengalahkan segalanya. Aku
menikah meski tanpa restu keluarga. Aku menikah tanpa disaksikan oleh keluarga.
Aku dibawa ke Jakarta.
Ayahnya bekerja di sana.
Upacara pernikahan berjalan lancar – lancar saja. Aku pindah agama. Semenjak
itulah, aku baru tahu bahwa Kobi berasal dari keluarga tak harmonis. Ayahnya
menceraikan istrinya karena ketahuan menghianati tali pernikahannya. Tapi, saat
pernikahan kami, ibunya diundangnya juga. Aku dipeluknya erat sekali. Tetesan
air mata perlahan – lahan merembes di pipinya yang mulai termakan usia.
“ Maafkan Ibu,’ katanya. “ Ibu tidak mampu
menjadi seorang ibu yang diharapkan. “
Aku tidak menjawabnya. Apalagi aku baru
kenal dalam beberapa jam saja. Tidak baik bercerita tentang masa lalunya. Untuk
apa aku mengivestigasi masa lalu? Masa
lalunya bukan milikku. Bagiku lebih baik melangkah maju ke masa depan. Masa
lalu kuanggap sebagai jembatan yang mengantarkan ke masa depan. Masa depan
lebih berarti bagiku.
“ Kau harus menjadi istri yang baik.
Jangan mengikuti jejakku. Ibu perempuan yang hina. Hidupku suram.”
Upacara pernikahan berakhir. Aku bersama
Kobi kembali ke Bali. Kembali menekuni pekerjaanku
sebagai waitres. Kobi sebagai pemandu wisata dan pemandu tamu berselancar.
Keluarga kami, damai – damai saja. Kobi pun menjadi seorang suami yang
bertanggung jawab.
Sebagai seorang istri, aku menjadikannya
seorang suami yang berharga di hatiku. Aku tempatkan di atas segala – galanya.
Lebih – lebih semenjak aku berbadan dua. Kobi tak pernah lupa membisikkan kata
cita di telingaku.
“ Sri doakan, ya. Aku dapat tamu dari
Jerman. Ia ingin belajar berselancar denganku. “
Aku memeluknya. “ Tentu, Sayang.”
“ Ia seorang perempuan. Apakah kau tak
mencemburuiku?”
Mataku menatap wajahnya. Tumben Kobi
berkata seperti itu. Hari – hari sebelumnya tak pernah ia menanyakan tentang
kesetiaanku.
“ Selama ini belum, Suamiku. Bukankah
cemburu itu pertanda cinta.”
Kobi menciumku. “ Aku tetap milikmu.”
Akhir – akhir ini, hari - harinya lebih
sering digunakan untuk menemani turis – turis perempuan. Aku menyadari mencari tambahan uang tidaklah gampang lebih
– lebih dalam situasi seperti sekarang ini. Kehidupan bukannya semakin mudah,
melainkan bertambah parah.
Pulang dari berselancar, Kobi membawakanku
beberapa puluh ribu. “ Ini hasil kejaku hari ini. Maaf tak seberapa yang
kudapat. “
Aku tersenyum. “ Bagiku, kau bisa kembali
pulang sudah bersyukur. Ayo kita makan.” Kami makan di teras kamar kos kami.
Kami masih kos. Gaji kami tak cukup untuk membeli tanah apalagi rumah.
Kami merasa menikmati karunia Tuhan hari
ini.
“ Tamu di hotelmu gimana?”
“ Seperti biasa. Mereka ada yang
menghabiskan liburannya. Ada
juga yang hanya sekadar makan di cafe. Beberapa tamu sepertinya sudah mengenal
betul tentang Bali. Ia jarang mau menginap di
hotel berkelas. Lebih suka bermalam di hotel melati .”
Perutku semakin membuncit. Ia merasa sebagai
seorang laki – laki setelah melihatku bisa mengandung anaknya. “ Kau semakin
cantik Sri.”
Aku menjadi malu. “Kau pun semakin dewasa.
Dan sudah cocok menjadi seorang ayah. “
Kobi menggamit tanganku. “ Ayo kita ke
luar. Sekali waktu kita mengingat masa pacaran kita.”
Aku pergi menuju pantai Kuta. Kami berjalan
menyusuri pantai berpasir putih itu. Deburan pantai serasa menggetarkan jalan
batinku. Entah kenapa ada ketakutan saat aku melihat gelombang pantai.
“ Kenapa?”
“ Tidak. Aku terkenang saat kau pertama
kali merayuku di bawah pohon waru itu.”
Kobi tertawa. “ Pohon penyejuk
yang menyatukan kita.”
Keluarga kami cukup bahagia meski masih
hidup dalam rumah kontrakan. Kobi selalu saja menyempatkan diri bercengkrama.
Ia tahu jiwaku belum pulih benar karena tidak mendapatkan restu dari keluargaku
menikah keluar keyakinanku.
“ Aku mau jemput tamuku di hotel lagi
sebentar. Ia amat baik padaku. “
Aku tak menjawab. Ia tampak penasaran.
“ Kenapa ? Sepertinya Sri tak setuju?”
“ Aku merasa takut saja.”
“ Jangan takut. Aku tidak akan terlena
dipelukan turis asing. Keluarga kita tetap akan kujaga.”
“ Terima kasih.”
Kegundahan hatiku berjalan siring
perjalanan rumah tangga kami. Kobi
semakin sibuk saja. Ia paling sering mengaku menjemput tamu – tamu asing. Tamunya
rata – rata perempuan. Kecurigaanku kusampaikan padanya. Ia tetap berkilah. “
Hanya ada Sri di hatiku.”
Kutulis unek – unekku dalam selembar
kertas. Sengaja kutaruh di atas meja. Kuberharap Kobi sempat membacanya.
“
Kobi, Sayangku. Aku perempuan. Hati nuraniku mengatakan kau telah dimiliki oleh
orang asing. Kau telah menjual tubuhmu. Aku tahu itu Kobi. Bau nafasmu tak seperti dulu lagi. Sorot
matamu menyembunyikan ketakjujuran. Berterus teranglah Kobi. Kau menukar harga
dirimu demi uang. Aku takut sekali, Kobi. Takut…. Keluarga kita bisa tersiksa karena ulahmu. Kehidupan kita
bisa sampai di sini Kobi.”
Kobi datang. Ia mengambil kertas yang
kutulisi. Ia tak membacanya. Ia meremas dan membuangnya ke tempat sampah.
Labels: Cerpen