Kuda
Putih
Cerpen
IBW Widiasa Keniten
Kuda putih yang
kudapatkan di Sumba itu terus meringkik.
Suaranya nyaring membangunkan denyut - denyut jantungku.
Aku memang penghobi
kuda. Aku sering digelari pakatik oleh tetanggaku. Kelakuanku mirip seperti
Nakula – Sahadewa saat penyamarannya
dulu. Setiap hari, aku mesti bangun lebih pagi. Kotoran kudaku kubersihkan.
Kotorannya kukumpulkan dan kusiapkan untuk bunga –bunga melati yang sengaja
kutanam dekat kandang kudaku. Bunganya mewangi. Memutih dan semakin putih.
Ringkikan kudaku
seperti melantunkan terima kasih. Ia jilati punggungku.Ia liuk - liukkan
tubuhnya di depanku. “ Hep hep hep ! “ Aku mengelus - elus tubuhnya. Ia mangguk
– mangguk. Ekornya dikipas – kipaskannya.
Aku memelihara
beberapa kuda. Warnanya pun beragam. Ada
yang cokelat. Ada
yang hitam. Yang hitam sering kupanggil
si kuda hitam. Ada
yang sedikit kemerah –merahan., kupanggil si kumbang . Yang paling kugemari si
kuda putih. Ia agak beda. Bulunya mengkilat putih.
Telah banyak
pecinta kuda yang ingin memilikinya. Rata – rata mau menawar. Harganya pun
lumayan mahal. Ada yang mengaku dari Yogyakarta. Ada
yang mengaku dari Mataram. Ada yang mengaku dari
Jakarta.
Bahkan, ada yang berani menaruh uang di rekeningku.
Kapan saja aku melepaskan si kuda putih,
pembeli – pembeli itu siap memabayar mahal.
Yang tergoda siapa
lagi kalau bukan istriku. Ia bukannya ikut menjaga kuda putihku sebaliknya menyuruhku
agar cepat – cepat saja melepaskannya.
Pikirannya sederhana . Dapat uang belikan mobil. Hidup mewah. Foya – foya.
Belanja ke swalayan.
Pernah aku
bertengkar gara –gara aku mengusir si pembeli kuda. Ia tidak etis di depanku.
Suaranya memaksa.
“ Sekarang juga
kudamu kuambil. Ini uang!” Ia meleparkan uang di hadapanku.
Aku pelototi orang
itu. Aku lempar kembali dengan uangnya.
Istriku memelukku.
Ia katakan orang yang dihadapi adalah orang gede. Orang gede mesti dihormati.
Ia anggap wajar jika kelakuannya seperti itu.
“ Sudahlah Pak.
Kita duduk bersama.” Istriku menenangkanku. Orang itu pergi. “ Pak, kuda putih
Bapak banyak yang mengincarnya. Aku takut nanti ada yang meracuninya.”
“ Tidak bisa,
Istriku. Ia tidak boleh pergi dari hatiku. Kuda putih ini belahan jiwaku. Jika
ia mati, sama dengan setengah jiwaku telah mati. Kau tahu tidak maksudku?”
“ Tidak Pak!”
“ Benar- benar tidak tahu ? Atau pura - pura tidak tahu?”
Aku berkata seperti
itu karena istriku susah kuyakini perkataannya. Ya, sedikit curigalah.
Bagaimana tidak curiga ? Ia pernah kudapati saat menawarkan kuda putihku.
Syukur belum ia terima uang. Jika sudah, apa yang mesti kuperbuat?
Istriku penasaran. Ia memelukku seperti bintang film Bollywood. Manja sekali.
“ Pak, beritahu
dong. Sedikit saja.” Pintanya.
Kubisiki
telinganya. “ Bu, jika kuda putihku
mati. Aku juga mati.”
Ia kaget. “ Oh,
tidak Pak. Aku tidak mau menjanda. Aku tidak kuat mendengar gunjingan .”
Giliran istriku
yang kebingungan. “ Rasain!” bisikku dalam hati. “ Makanya jangan sembarangan. Mau
menjual kuda putihku.”
Semenjak saat itu,
istriku tak berani lagi memelas agar aku menjual kuda putihku. Ia semakin
sayang. Semakin cinta. Ia turut merawatnya. Terkadang tanpa kusuruh, istriku
sudah memandikannya. Memeriksa giginya.Apa ada yang tanggal. Memeriksa kakinya.
Ia takut kakinya tertusuk duri. Tertusuk paku apalagi. Ia benar – benar
terbalik.
“Pak ! Aku sudah carikan rumput segar kuda
putihmu.”
Aku mengacungkan jempol.
“ Coba lihat Pak! Betapa gembiranya saat
ia mengunyah rumput – rumput muda itu. Pasti ia akan tetap segar dan semakin mengkilat
warna bulunya.”
“ Pak, boleh tidak, kalau …?”
“ Kalau apa ?” giliranku yang penasaran.
“ Ah, nggak jadi.”
“ Kalau apa sayangku?” Aku dekatkan
bibirku di telinganya. “ Aku cinta kamu.”
Istriku tersenyum. Ia ingat saat kurayu di
taman budaya dulu. Saat pertama kali kukatakan kata cinta padanya.
“ Tidak, aku tidak mau mengatakannya.”
Aku terus berusaha mencari jawabannya. “
Tolonglah Istriku ! Apa yang kau inginkan. Tidak boleh ada dusta di antara
kita.”
Ia tertawa. “ Seperti judul lagu saja.”
Istriku menggamit tanganku. Ia ajak
mengelilingi kandang kudaku tiga kali. Aku merasa seperti orang bodoh.
Tepat di tengah kandang. Ia memelukku. “
Kita kawinkan kuda putih kita. Setuju tidak ?” Ia menatap mataku.
“ Sama siapa?”
“ Ya sama kuda. Masak denganku.”
“ Bagus juga. Terus kudanya dari mana ?”
“ Kita carikan kuda lokal. Kuda Bali. Kita
mulai dari Bali Timur. Gimana ? Di sana
juga ada kuda. Kudengar di tanah gersang di Bali Timur ada kuda kuat. Larinya kuat. Meski tubuhnya sedikit
lebih kecil. Mungkin karena kurang gizi. Di Bali Timur beberapa kuda bisa kita
pilih. ”
“ Terus? ”
“ Kalau sudah beranak, kita carikan
pakatik kuda. Biar semakin banyak kuda di Bali Timur. Ibu takut jika keburu punah.”
“ Setelah kawin dengan kuda Bali timur kita carikan kuda di Smarapura. Kota yang menyimpan
keindahan itu. Di sana
juga banyak kuda. Meski akhir –akhir ini semakin jarang kudengar ringkikkannya.
Aku masih ingat. Di dekat Kertaghosa dulu menjadi mangkalnya kuda.
Aku mangguk – mangguk.
Jika sudah beranak dengan kuda dari
Smarapura, kita kawinkan lagi dengan kuda dari Gianyar. Wah, kalau kuda Gianyar
lebih lembut. Lebih berkelok – kelok seperti tarian kuas para pelukis. Kita
carikan kuda di Ubud. Kita carikan kuda
dari Sukawati. Kita carikan kuda Batuan. Kita carikan kuda Kramas. “
“ Apa tidak lelah kuda putihku kawin?”
“ Oh, tidak. Kuda semakin sering kawin
akan semakin bertenaga.”
“ Terus ? “
“ Jika sudah beranak dan mandiri. Kita kawinkan
dengan kuda dari Denpasar dan Badung. Di Denpasar buanyak kuda yang bisa dipilih.
Denpasar gudangnya kuda. kualitasnya
juga bagus – bagus. Ringkikannya
terdengar indah. Dari Sanur, Kesiman, Kuta, Mengwi . Semuanya kuda –
kuda terpilih dan terlatih. Aku ingin
kuda – kuda di sana
sesekali berkumpul. Ya, saling meringkiklah.”
“ Terus ?”
“ Kita carikan kuda Tabanan. Kota sejuk dan gudangnya
padi, pastilah kudanya sehat –sehat. Di Tabanan lebih mudah tumbuh rumput. “
“ Terus ?”
“ Terus ka Jembrana. Kota
penjaga Bali dari Barat. Kuda di Jembrana
sudah mampu kawin silang dengan kuda dari Banyuwangi. Nyebrang sedikit aja
sudah tiba di Banyuwangi. Kudanya sudah biasa naik kapal laut.
“ Terus?”
“ Ka Singaraja. Kuda Banjar, kuda
sukasada, kuda lovina sering kudengar. Di Singaraja kudanya beragam warna
bulunya. Singaraja lebih dinamis kudanya. Kuat larinya. Sering merumput dan
dipacu. Temanku mau membuat pacuan kuda
di Singaraja. Ia banyak punya kuda . Ia
mengaku punya lontar khusus tentang kuda. Ia pecinta lontar. Lontar itu ia dapatkan di Gedung Kirtya.
Aswasiksa nama ilmunya. Ia pernah mencobakan ilmu itu dan terbukti. Usadha kuda juga ia miliki.
“ Terus?”
“ Kita lari ke Puncak Penulisan. Kita
lihat indahnya Kintamani. Kita lihat kuda – kuda yang masih merumput menikmati
Tirtha Bumi danau Batur. Akan kita
dapatkan kuda yang tahan dingin. Kuda yang terbiasa bersahabat dengan halimun.
“
“ Terus ? “
“ Bapak, dari tadi terus - terus saja. “
Kupeluk istriku. “ Lalu kapan kita
kawinkan ?”
“ Ya segera. Bulan – bulan ini bulan kuda
birahi. Satwa tidak seperti kita. Ia lebih tahu diri. Ada musim kawinnya. Kalau manusia, tidak
kenal musim kawin. Asalkan sudah ingin kawin. Ya, pasti kawin. Kuda tidak. Ia
memilih waktu yang tepat. Suasana yang sejuk. “
“ Ooo gitu? “
“ Ah, Bapak seperti bloon saja.” Istriku
ngambek. Ia meninggalkanku. Aku masih di kandang kuda sampai larut malam.
Kuintip saat yang tepat untuk kukawinkan kudaku.
Tiba –tiba Hp-ku berdering. Tepat tengah
malam. Kulihat siapa yang meneleponku. Tidak ada nomornya yang tertera. Nomor
pribadi. Itu yang muncul. Sampai
sembilan kali berdering. Kuberanikan diri mengambilnya. Lamat – lamat kudengar
suara temanku melantunkan larik puisi Kuda Putih. Kuda putih yang meringkik
dalam sajaksajakku/ merasuki basabisik kantung peluh rahasia/ diamdiam kupacu
terus ini binatang cinta / dengan cambuk tali anganan dari padangpadangku //
Kegelisahanku memuncak. Aku menyepi.
Menanti musim Dewa Keindahan merasuki
jiwaku.
Amlapura,
4 Juli 2009
Labels: Cerpen