Cerpen Made Jimbaran

Made Jimbaran
Cerpen IBW Widiasa Keniten

Kesetiaan tidak bisa diukur dari kata-kata. Kesetiaan perlu laku jiwa dan raga. Dengan kesetian, hati akan terasa sejuk.
Nyoman Jimbaran membaca tulisan itu berulang-ulang. Istrinya menorehkan kata-kata itu di dalam buku pribadinya. Ia tahu suaminya  mendua hatinya. Istrinya tak terima. Ia kembali ke rumah orang tuanya. Berkali-kali dicarinya tak kujung kembali lagi. Nyoman Jimbaran merasa bersalah. Ia memang bersalah. Kesetiaan yang diucapkan dulu hanya penghias bibirnya saat merayunya. Seiring perjalanan waktu, kesetiaan itu memudar lebih-lebih setelah dirinya diangkat ke jenjang yang lebih tinggi. Nyoman Jimbaran dikerebuti oleh berbagai kepentingan dan berbagai nafsu. Nafsu berkuasa dan nafsu birahi semakin bergelora setelah memiliki sekretaris cantik.
Hatinya goyah. Pertemuan demi pertemuan menjadikannya lupa diri. Kegelisahan menghampiri dirinya apalagi kedua anaknya ikut bersama ibunya. Penyesalan datang selalu terlambat. Ia memaki dirinya, membenci jalan hidupnya. Ia membenci kekuasaan yang diterimanya selama ini.
“Untuk apa jabatan kalau keluargaku hancur. “ Nyoman Jimbaran tidak menyadari dirinya sengaja dipancing agar tercebur dalam kubangan masalah.
“Nyoman, kau ternyata tak sepintar yang aku duga. Kau telah kuperdaya. Perempuan yang kau tiduri itu sengaja kukirim buatmu. Sekarang rasakan. Kau hancur karenanya. Siap-siaplah kau menerima buahnya.
Kabar tak sedap terus berembus. Orang-orang tak kuasa untuk menutup mulutnya. Gunjingan demi gunjingan menjadi makanan keseharian.
“Gimana bos kita?”
“Gimana teman barunya?”
“Tak usah dipikirkan. Semuanya akan berjalan seiring waktu. Kerjakan saja tugas-tugas yang menjadi tanggung jawab kita.”
“Tapi, kantor kita sudah tercemar karenanya.”
“Kantor ini bukan warisan kita. Kita hanya bekerja saja. Jangan terlalu sibuk dengan urusan orang lain. Bersibuklah dengan urusan kantor yang menjadi tugas kita.”
“Ah, kau sok idealis.”
“Terserahlah.”
Nyoman Laksana meninggalkan temannya. Ia tak berhasil memengaruhi beberapa temannya. Ia sudah sedari lima tahun mengincar kursi yang ditempati Nyoman Jimbaran. Ia merasa bahwa dirinya pantas untuk menempati tempat itu. Tapi, selama ini pengakuan dari orang lain tak ia dapatkan. Ia hanya sebagai penikmat dari keberhasilan orang lain.
Ia tak mau menyerah. Gadis manis yang menjadi sekretaris di kantornya sengaja ia suruh menemani atasannya keluar kota.
Malam itu, Nyoman Jimbaran menikmati tubuh sekretarisnya. “Terima kasih, kau telah menjadikan malam ini cukup indah.”
“Tapi, Pak.”
“Tak usah khawatir. Kau akan kujamin segalanya. Sebentar lagi jabatanmu akan kunaikkan. Yang penting kita selalu happy.”
Gadis manis itu tersenyum. “Terima kasih, Pak.“
    Hp Nyoman Jimbaran berdering. “Pak dengan siapa di hotel?”
    “Tidak ada siapa-siapa? Ada apa Bu?”
    “Jangan bohong. Bapak pergi bersama sekretaris Bapak.”
    “Dasar laki-laki pembohong.”
    Nyoman Jimbaran berkeringat. “Kenapa istrinya tahu dirinya pergi bersama sekretarisnya?”
    “Kejujuran Bapak sudah hilang. Bapak mengingkari pernikahan kita. Malam ini juga hubungan kita berakhir sampai di sini.”
    “Bagaimana dengan anak kita?”
    “Itu bukan urusan Bapak. Anak ini milikku. Bukan milikmu yang tak beres lagi.”
    “Maafkan Bapak Bu.”
    “Mudah sekali mulutmu minta maaf. Aku sudah sedari setahun mencium bau tak sedap kelakuanmu. Kau mengaku saja tugas luar. Ternyata hanya alasan buat mengelabui diriku. Bau busuk akan tercium. Serapat apapun kau menutupinya.”
    Nyoman Jimbaran lesu. Anak-anak tercintanya terbayang di pelupuk matanya.
    “Bapak mau kerja. Selamat jalan Pak. Semoga selamat di jalan.”
    Kata-kata jujur dari anak-anak terkasihnya terngiang. Sebuah kata yang menjauh dari hatinya selama ini. Nyoman Jimbaran merapikan dirinya. Ia segera meninggalkan hotel. Sekretaris muda itu kaget.
    “Pak kenapa cepat-cepat. Katanya seminggu. Kok secepat ini?”
    “Ada hal penting yang mesti bapak selesaikan. Ayo kita pulang! Jangan ada yang tahu hubungan kita.”
    “Oh, tentu Pak. Dijamin rahasianya.”
    Nyoman Jimbaran langsung menuju rumahnya. Sepi. Istri dan anak-anaknya telah meninggalkan dirinya. Ia menyadari telah berbuat tak pantas buat istrinya. Ia ingin menjemputnya, tapi tak berani. Malu pada mertua yang berpesan saat pernikahannya dulu.
    “Pernikahan itu akan semakin indah jika disertai dengan kejujuran. Jika kejujuran luntur, maka hancurlah rumah tangga. Jangan ada perempuan lain di hatimu, Nyoman. Anakku itu agak manja dan hatinya amat keras. Sekali saja kau bohongi, ia akan marah untuk selamanya.”
    Malam itu, sedetik pun tak sempat matanya terpejam. Ia mengharapkan agar pagi cepat datang.
    “Pak kapan datang? Katanya seminggu pelatihannya, kenapa secepat ini?”
    “Waktunya dipersingkat.”
    “Wah kalau gitu dikorupsi Pak.”   
“Bapak kurang tahu.”
    Nyoman Laksana mengamati wajah atasannya. “Kok Bapak seperti kelelahan. Pasti banyak tugas di pelatihan.?”
    “Benar. Berat sekali.”
    Nyoman Laksana tertawa dalam hati. “Kau tak jujur. Kau telah kena jeratanku. Kau telah bermain cinta dengan sekretarismu.”
    Berita hubungan keluarga Nyoman Jimbaran memenuhi kantornya. Ia merasa tak pantas menjadi kepala sebuah instansi. Tiba-tiba Nyoman Jimbaran merapatkan stafnya.
    “Tumben rapat dadakan?”
    “Entahlah!”
    Rapat mulai berjalan. Dengan jiwa besar Nyoman Jimbaran mengatakan bahwa dirinya sudah tak pantas menjadi kepala kantor.
    “Teman-teman, tiang sudah melayangkan surat pengunduran diri. Ini salinannya. Mulai minggu depan, tiang tak lagi menjadi kepala lagi. Biar yang lain sebagai penggantinya.”
    “Masalahnya apa, Pak?”
    “Tiang bukan kepala kantor yang jujur. Tiang telah menghianati keluarga tiang setelah menjadi kepala kantor. Ternyata kekuasaan ini menghancurkan kejujuran tiang. Keluarga tiang tak utuh lagi.” Nyoman Jimbaran tak kuasa menahan air matanya. Ia lemas.
   
Catatan:
Tiang    : saya   

Labels: