Natalia
Cerpen
IBW Widiasa Keniten
Gadis manis itu kupanggil
Natalia. Ia mengaku lahir tanggal 25 Desember. Tapi,tahunnya tidak pasti. Orang
tuanya memundurkan tahunnya agar lebih cepat dapat diterima di sekolah.
Natalia memang
cerdas. Di kampus, ia selalu
mengalahkanku. IP-nya selalu mengatasiku. Padahal, aku sudah berusaha
mengatasinya dengan belajar lebih maksimal
. Toh juga, aku selalu lebih rendah darinya.
Aku dan Natalia
kebetulan satu jurusan sama – sama belajar bahasa Jepang di UGM. Universitas
yang menghasilkan anak – anak bangsa yang cerdas. Jika malam Minggu, kami tak
pernah melewatkan menapaki jalan Malioboro. Kumpul – kumpul dengan teman –
teman dari universitas lain. Yang kami diskusikan lebih banyak tentang nasib
bangsa. Kadang – kadang kami selingi dengan diskusi sastra. Kami tidak mau
kalah. Lebih – lebih Natalia. Ia paling suka membacakan puisi – puisi Jepang, Haiku dan Tangka. Aku suka caranya membacakannya
dan mendiskusikan isinya. Ia juga suka buat puisi – puisi Jepang dalam bahasa Indonesia.
Ia
memang jarang mendukumentasikan puisi – puisinya. Aku yang paling getol
menuliskannya saat ia membacakannya. Sengaja aku tak kasi tahu jika kutuliskan
puisi – puisinya. Hampir ada puluhan puisi yang dituliskannya. Aku suka
puisinya. Satu puisi yang kuingat berjudul Natalia. Tumbuhlah slalu/ natalia
cintaku/ terangi kalbu//
Puisi – puisinya itu kukirimkan padanya.
Lucunya ia memuji puisi yang kukirimkan. Aku tertawa dalam hati. Ia tak ingat
lagi itu puisinya.
Hari – hari kuliah kami amat bahagia meski
mata kuliah yang kudapatkan semakin terasa sulit. Selama bersama Natalia aku
tak pernah mengalami kesulitan itu. Jika aku tak terlalu paham dengan Kanji,
kutanyakan langsung padanya. Ia tak segan – segan memberi tahu. Ia tak pernah
marah. Setiap masalah dihapinya dengan kesejukan hati dan kelembutan jiwa.
Detik – detik terakhir kami kuliah. Entah
kenapa, aku seperti ada perasaan jatuh cinta padanya. Padahal, awalnya sebagai
teman biasa. Saking akrabnya, ia tak
tanggung – tanggung menceritakan masalah cintanya. Ia pernah disakiti oleh
kekasihnya. Saat ia merasa bahagia, kekasihnya menikah dengan gadis lain. “
Dalam kebahagian ternyata ada derita. “ Itu kalimat yang pernah ia ucapkan
padaku.
Kuhibur ia, “Jangan terlalu dipikirkan. Toh masih banyak
bintang yang bersinar saat malam.” Ia mengerti maknanya. Ia tersenyum. Cantik
dan manis sekali.
“Jika aku memiliki Natalia, akan kujaga,” bisikku saat itu. “
Sekalipun tak akan kusakiti.” Tapi, sayang Natalia telanjur menjadi teman
karibku.
Wisuda semakin
dekat. Kegelisahanku semakin memuncak. Aku tak berani mengutarakan isi hatiku.
Biarlah kupendam dalam – dalam. Kutak ingin ia tersinggung. Aku tak ingin
persahabatan rapuh gara – gara cinta.
Anehnya, Natalia
tahu kegundahanku. Ia tanyakan kenapa aku sering murung ? Kenapa jarang
bercerita? Aku jawab sekenanya. Kukatakan keluargaku ada yang sakit. Saat
wisuda nanti, tidak akan bisa menghadiri wisudaku. Ia bisa menerima. Tapi, ia
terus mencurigaiku. Ia merasakan ada kebohongan yang kukatakan. Terakhir, ia
sempat bertemu dengan keluargaku saat menengokku ke Yogyakarta.
Orang tuaku sehat – sehat saja. Ia sendiri banyak bercerita dengan orang tuaku.
Ia katakan akan ke Bali nanti. Ia katakan
ingin melihat Pulau Dewata, Pulau Seribu
Pura. Ia ingin melihat Tanah Lot. Ia ingin melihat Besakih. Saat itu, aku hanya bisa tersenyum.
Dalam
kegelisahanku, kutulis secarik puisi yang mengungkapkan kegundahanku.” Jika
cinta terbangun, adakah yang lebih indah daripada musim cinta? Kau yang
menggedor malam ini, tak terajut karena
musim berganti.”
Tak kusangka
tulisanku itu berada di tangannya. Ia membacanya saat kududuk di sampingnya.
Kalau aku menjadi kekasihnya, mungkin sudah kupeluk. Kecantikannya memancar.
Kebetulan malam itu mendekati purnama. Putihnya purnama menambah gejolak di
hatiku.
Gaun yang dikenakan
malam itu serasi benar. Putih. Seirama dengan kulitnya yang putih.
“ Apa Made lagi jatuh cinta?” tanyanya.
Aku tak menjawab.
“ Jangan membohongi
kata hatimu. Kejujuran itu amat mulia. Katakan saja pada siapa kau jatuh cinta?
Mudah – mudahan aku bisa membantumu. Aku sahabatmu. Dari mulai awal kita
kuliah, selalu kita bersama. Rasanya tak pernah kita menutupi kata hati. Kau pun
telah membantuku saat aku disakiti oleh kekasihku.”
Aku tak bisa menjawab. Ia berulang – ulang
memintaku.” Katakan saja!”
Kutatap wajahnya.
Ia tak berkedip. “ Maaf,” kataku. “ Aku mencintaimu.”
Ia sedikit kaget.
Tapi, berusaha menutupi kekagetannya dengan mengalihkan pandangannya. “
Lihatlah bulan di atas sana.
Besok ia berganti menjadi bulan baru. Beribu bulan kita lihat. “
Aku mengerti
maksudnya. Ia tak membalas cintaku.
“ Kita bersahabat
saja, Made. Banyak hal yang mesti kita pikirkan jika kita bersatu. Kau tak
mungkin memiliku. Aku anak tunggal. Aku tak mungkin meninggalkan kepercayaanku.
Aku tak ingin disebut anak kualat. Orang tuaku sudah teramat banyak berkorban
padaku. Aku percaya, orang tuamu juga tak akan merestui hubungan kita. Kau
sendiri anak tunggal. Kita mesti bisa menjaga hati orang tua kita.”
“ Maafkan atas kelancananganku
tadi.”
“ Sudah kumaafkan.
Made jangan merasa bersalah. Meski jujur kukatakan, aku juga menaruh hati pada
Made. Tapi, ada hal lain yang mesti kita hormati dan kita jaga. Kita tak ingin
karena cinta, orang tua kita sakit selamanya. Sudahlah! Malam sudah menjemput
kita. Mari kita pulang!”
Kugandeng Natalia.
Malam itu, ia sengaja memelukku, merapatkan tubuhnya di punggungku. Satu
bisikkannya. “ Jangan hancur karena cinta. Cinta itu amat mulia. Persahabatan
kita tidak boleh putus , keruh karena cinta.”
Hari wisudaku sudah
mendekat. Ia datangkan orang tuanya dari Menado. Ia kenalkan padaku. Ia
tanyakan orang tuaku. Kusampaikan orang tuaku sedang sakit parah. Tidak bisa
mendapingi wisudaku. Kuminta padanya, untuk menjadi orang tuaku. Beliau menerimanya.
Ia sama dengan Natalia ingin datang ke Bali
juga.
Wisuda berakhir.
Berakhir juga perjalanan kuliahku bersama Natalia. Natalia kembali ke Menado.
Aku kembali ke Bali dengan selembar ijazah dan
sekelumit kenangan bersama Natalia.
Persahabatanku tak
lagi berlanjut. Aku tidak pernah berkomunikasi . Aku dan Natalia seakan sudah
tidak saling mengenal. Mungkin karena jarak. Mungkin karena lingkungan yang
membelengu. Atau sudah sama – sama menemukan jalan hidup masing – masing.
Kemarin tanpa
sengaja. Ada SMS dari seseorang. Ia mengaku temanku saat kuliah dulu. Aku
mengira – ira. Ia tuliskan puisi Natalia di SMS-nya. Aku kaget dari mana ia
tahu nomor HP-ku. Kubalas. Kukatakan bahwa aku sudah bekerja sebagai dosen di
sebuah perguruan tinggi di Bali. Ia gembira
sekali. Lama sekali aku saling ber-SMS. Rasanya seperti saat di Yogyakarta dulu.
Ia pun mengatakan
akan melanjutkan studinya ke S2. Aku merasa bersyukur. Aku ikut bahagia. Ia tak tanggung – tanggung mengutarakan isi
hatinya. Katanya, “Cintaku selalu pupus
di tengah jalan. Adakah cinta yang suci itu?” tanyanya.
Aku tak berani
membalasnya.
Penulis
adalah guru SMAN2 Amlapura, Bali
Email
: ibw.keniten@yahoo.co.id
Labels: Cerpen