Cerpen Perempuan di Tengah Kabut

Perempuan di Tengah Kabut

    Bunda berikanlah yang terindah dalam hidupku. Dengan keindahan, hati semakin memekarkan kebeningan. Tidak ada yang lebih indah dari sebuah kejujuran. Meski aku tahu, menyatakan kejujuran tidaklah mudah. Aku tahu itu, Bunda.
    Wajah Bunda Laksmi memerah. Ia merasa dicurigai oleh suaminya. Orang yang selama ini mendampingi dalam suka maupun duka. Kejujuran yang dilakoninya terasa kurang cukup bagi suaminya.
    “Apa yang salah dengan diriku?” Bunda Laksmi menggerutu. Ia tak terima dengan sikap suaminya yang menaruh curiga pada dirinya. Suaminya memang bekerja di luar provinsi. Dalam kesepian itu, ia berusaha kecil-kecilan. Semakin lama usahanya semakin berkembang. Ia mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan. Wajar, namanya semakin dikenal tidak hanya di kalangan pengusaha juga dikalangan pejabat. Ia mampu menyatukan dua hal yang berbeda antara penguasa dan pengusaha. Sesekali ia menjadi teman curhat terhadap berbagai persoalan hidup, baik keluarga, masyarakat termasuk yang paling rahasia sekalipun. Bunda Laksmi memang senang mendengarkan keluh-kesah. Keluh-kesah menjadikan dirinya merasakan hidup orang lain.
    “Ternyata hidup ini dipenuhi dengan keluh-kesah,” bisiknya pada suatu ketika. “Jika tidak ada keluh-kesah rasanya sepi.”
    Terkadang Bunda Laksmi mendapatkan undangan yang menurutnya cukup berharga di hatinya. Ia manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Ia tak pernah menyia-nyiakan kesempatan. Baginya kesempatan jarang datang dua kali. Saat-saat seperti itulah yang membuatnya bahagia. Ia tersenyum ceria saat seorang pejabat yang berkeluh-kesah tentang kehidupan pribadinya.
    “Bunda, sudah dua hari ini, aku tak tenang tidur?”
    “Kenapa?” tanyanya dengan senyum dan wajah penuh perhatian. Ia tatap wajah pejabat di depannya.
    “Aku merasa tak berbuat banyak terhadap keluarga dan masyarakat yang mempercayaiku sebagai penjabat.”
    “Harusnya seperti itu seorang pejabat. Gelisah jika tidak bisa membangun hati masyarakat lebih-lebih belum bisa memberi sedikit kesejahteraan. Pejabat yang seperti Bapaklah yang dicari selama ini.”
    “Ah, Bunda terlalu memuji. Aku belum bekerja terhadap masyarakat kecil.”
    “Pejabat dan masyarakat itu harus saling memperhatikan. Tanpa ada masyarakat, maka pejabat juga tak ada maknanya.”
    “Benar kau Bunda.”
    “Terus apa rencana Bapak selanjutnya?”
    “Ingin rasanya berbuat banyak pada rakyat-rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinanan.”
    “Bagus. Bunda setuju. Kalau bisa segera dijalankan.”
    “Gimana kalau kita adakan pasar murah atau bagi-bagi rezeki?”
    “Bunda setuju.”
    “Kalau gitu. Bunda yang menghandel.”
    “Baiklah! Bunda akan berusaha sebaik-baiknya.”
    Mulailah Bunda Laksmi mengubungi koleganya. Beberapa pengusaha diajaknya bekerja sama. Ramai sekali ucapan selamat diterimanya. Bunda Laksmi dengan rendah hati mengatakan bahwa itu ide dari pejabat yang peduli terhadap rakyat kecil. Ia sebutkan namanya. Ia nyatakan bahwa pejabat itu ada keinginan menjadi penguasa daerah. Semua setuju. Semua bergembira karena akan ada pejabat yang peduli terhadap rakyat kecil. Selama ini belum ada yang melakoni hidup seperti pejabat yang dekat dengan Bunda Laksmi.
    Masyarakat kecil juga terbius oleh Bunda Laksmi. Lebih-lebih Bunda laksmi dikenal sebagai seorang pengusaha yang peduli. Tidak hanya keuntungan yang dicarinya juga ketenangan dan kebahagiaan rohani.
    Setiap hari-hari suci Bunda laksmi pergi bersama para pejabat mengunjungi tempat-tempat suci. Ia berharap vibrasi kesucian merasuki dirinya. Ia pun berpakaian serba putih sebagai simbol sudah mendekati alam suci. Kata-katanya memancarkan kesejukan. Apalagi wajahnya selalu dibalut dengan keceriaan dan seakan tak ada beban dosa terpancar di hatinya. Bunda laksmi dan pejabat yang dekat dengannya menjadi idola. Seakan keduanya mampu memberi kesejukan pada hidup yang memanas.
    “Gimana Bunda kesan anak-anak kita?”
    “Maksud Bapak, orang-orang terpinggirkan itu?”
    “Ya. Siapa lagi.” Pejabat ini selalu menyatakan bahwa orang-orang yang kurang beruntung dipanggilnya dengan anak-anak. Mungkin karena orang-orang itu belum bisa mandiri, makanya disebutnya dengan panggilan anak-anak.
    “Tampaknya mereka antusias dengan tindakan nyata yang Bapak lakukan. Mereka memuji Bapak. Tumben katanya pejabat yang peduli pada rakyat kecil.”
    “Itu baru langkah pertama.”
    “Ada langkah selanjutnya Pak?”
    “Sebagai seorang pejabat, tentu memiliki berlapis-lapis ide yang menyejahterakan rakyat.”
    “Bapak ternyata hebat.”
    Pejabat itu tertawa. “Bunda juga hebat. Bisa mengelola kedua usaha.”
    “Rasanya cuma satu usaha.”
    “Maksudku usaha pejabat dan pengusaha. Jika ini padu, pasti lancar-lancar.”
    “Bapak jadi menjadi penguasa yang lebih tinggi lagi.”
    “Itulah yang kuincar. Dengan kuasa yang kumiliki, akan kujadikan pemilihku lebih sejahtera.Bunda kupasang paling depan.”
    “Terima kasih atas kepercayaan Bapak.”
    Saking sibuknya dengan urusan pejabat, Bunda Laksmi tak sempat mengurusi suaminya. Hampir seminggu lebih, tak sempat memberi kabar. Suaminya mengambil cuti.
    “Perasaanku kurang enak. Apa yang dilakukan Bunda Laksmi? “Ia pulang tak memberi kabar. Ia dapati rumahnya sepi.”Ke mana Bunda Laksmi?” Sampai malam belum juga pulang. Suaminya mangkel ia tulis sebuah surat. Ia tempelkan di depan pintunya kamarnya.
    “Bunda, kau telah membagi perasaan. Jangan mendua istriku. Jangan masuk dalam lingkaran kabut. Kau akan dibenamkan dalam kabut kekuasaan. Jangan buat keluarga kita pecah karena mengejar yang tiada pasti. Kudengar kau sering pergi bersama para pejabat. Kuharap kau tetap sebagai seorang istri.”
    Bunda Laksmi kaget. Ia tak menduga suaminya pulang tanpa pesan. Ia hubungi Hp suaminya, tapi tak ada balasan.

Labels: