Cerpen Preman

Preman
 Cerpen IBW  Widiasa Keniten

            Kakakku seorang preman. Tubuhnya penuh dengan tato. Beragam lukisan tertera di tubuhnya. Merasa bodinya besar dan tulang – belulangnya gede – gede, tidak ragu – ragu dalam menggertak orang. Ototnya yang kekar dimanfaatkan sebaik- baiknya. Ia mengumpulkan teman – temannya sesama preman. Ia mengharapkan dukungan dari teman – temannya. Kakakku berkeinginan menjadi anggota dewan. Beberapa temannya dengan senang hati mendukungnya. Nasib keberuntungan dating. Kakakku terpilih . Suara yang memilihnya pun lumayan besar. Ia dilantik mewakili menjadi anggota dewan. Aku senang kakakku mewakili suara rakyat.
            Setelah duduk mewakili rakyat, kakakku semakin menjadi idola. Ia benar – benar menyuarakan yang terwakili. Setiap ada sidang, kakakku paling bersuara. Kalau tidak sempat bersuara, ia akan mencak – mencak. Yang paling unik saat sidang paripurna, kakakku sampai beradu otot setelah beradu otak tak kuat lagi.
            Otot  kakakku lebih berperan dibandingkan  otaknya.  Maklum saja, di SD sampai tiga kali tidak naik kelas. Pertama karena nilainya yang kurang. Kedua karena kenakalannya yang susah diatur. Ketiga karena jarang sekali bersekolah. Setelah tamat SD, ayahku sebenarnya merasa malu untuk meminta bantuan sama temannya yang bekerja di Diknas. Tapi, kakakku terus memohon agar disekolahkan pada sebuah sekolah negeri. Ayahku terus didesak. Jika tidak bisa masuk di sekolah negeri, kakakku akan minggat. Ayahku jerih. Ia dengan berat hati memasukkan ke sekolah negeri. Dan diterima.
            Di SMP sama juga bahkan, semakin menggila. Ia memiliki geng motor. Setiap Sabtu, berkumpullah teman – teamnnya. Dan, kebut – kebutan pun terjadi. Saking terkenalnya, banyak juga teman – temannya. Ia terpilih menjadi ketua geng motor.
            Polisi pernah menangkapnya. Ayahku dipanggil untuk memberikan pembinaan. Seperti yang sudah diduga susah sekali menasihatinya. Dianggapnya angin lalu saja setiap perkataan ayahku.
            Ayahku bahkan pernah memohonkan pemayuh. Toh juga tidak menghasilkan apa – apa. Kakakku tetap pada kenakalannya. Ia semakin berbangga semenjak terpilah menjadi ketua geng. Sekolah menskorsing karena berkelahi di sekolah dan memecahkan kaca di kelasnya. Dan mesti pindah ke SMP swasta.Syukur bisa tamat. Guru – guru pun berpikir sederhana. Lebih cepat tamat, akan lebih baik. Tamat SMP melanjutkan ke SMA.Lagi – lagi ayahku memohon bantuan pada temannya di dinas. Surat saktinya meluluskan kakakku masuk SMA. Ia gembira sekali. Teman – temannya yang tidak sempat dipengaruhinya di SMP sekarang bisa bertemu lagi.
            Di SMA, ia semakin terkenal. Terkenal bukan karena otaknya, tapi karena ototnya. Ototnya kekar, tubuhnya  gede. Lucunya tubuhnya yang gede justru tak bisa digunakan untuk berlomba dalam bidang olah raga. Hanya untuk menakut – nakuti temannya. Di SMA, juga berbuat ulah. Guru – guru sudah merasa jenuh menasihatinya. Keputusan terakhir kakakku dikeluarkan dari SMA. Dan mesti pindah. Kakakku mau juga mengikutinya dibandingkan tak tamat SMA.
            Setelah tamat SMA inilah kakakku , menjadi preman. Ia bekerja dulu pada sebuah kafe. Ia menjaga wanita – wanita penghibur. Nasibnya bagus, ia disegani. Dan banyak mengaguminya. Aku sebenarnya punya juga rasa iri. Kenapa kelakuannya yang kuanggap tak baik itu justru semakin menjadikannya ia semakin terkenal dan dipuja – puja.
            Kesempatan terus berpihak padanya. Saat pemilu, ia mencalonkan dirinya untuk menjadi anggota dewan. Dan terpilih dengan suara yang kuanggap fantastis. Di desaku, kakakku yang paling banyak dapat suara. Sebelum pemilu, ia sudah menebar ketakutan. Yang berani berbeda dengan dirinya jangan harap bisa selamat. Orang –orang di desaku tak mau mencari masalah. Mereka sudah tahu, gerombolan kakakku lumayan banyak. Lebih baik menyelamatkan diri dibandingkan menemui perkara.
            Suara yang mesti dikumpulkan memenuhi syarat. Yang kukagumi, ia tak memakai uang. Money Politic, ia hindarkan di samping memang tak punya uang untuk membayar suara. Kekekaran ototlah yang digunakan.
            “ Ternyata ototku bermanfaat juga,” sapanya padaku sedikit mencibir karena aku sedikit berbeda dari segi otot. Orang – orang di desaku menamai kami sebagai Cupak dan Grantang. Yang satu gede besar. Dengan perut dan penampilan yang menyeramkan yang satunya kurus dan sedikit bicara.
            Tapi, aku tetap hormat padanya. Aku berpikir, ia tetap kakakku. Apa pun kata orang tentang kami. Kami terima.
            Setelah terpilih menjadi anggota dewan, kakakku semakin berani. Semakin menunjukkan taringnya. Jika ada yang tak berkenan di hatinya, ia tak tanggung – tanggung berteriak – teriak seperti anak TK yang kehilangan mainannya.
            Baru – baru ini, aku kaget. Kakakku saking marahnya atau ingin menunjukkan kehebatannya, ia mendatangi kursi ketua dewan. Mengambil mik dan mengatakan dirinya tidak puas.
            Aku menjadi campur aduk. Apakah kebiasaan sebagai preman tak bisa diubah. Padahal, saat itu sidang paripurna. Pakaian kebesaran partai beserta dasinya kelihatan rapi. Ia berteriak – teriak sambil mengacungkan tangannya. Telunjuknya menuding dan menyatakan ketidakpuasannya.
            Tiba – tiba aku ingin menghubungi HP-nya. Sampai beberapa kali miskol. Entah karena kesibukannya tak sempat juga dibalasnya. Saat istirahat siangnya, kuhubungi lagi. Barulah dibalasnya. Kutanyakan, “ Kenapa begitu beringas  saat sidang paripurna?”
            Dengan mudahnya ia menjawab.” Itu sebagai sandiwara saja. Kalau tidak bisa bermain sandiwara jangan bermain – main dengan politik. Politik itu seni. Seni berpura – pura.”
            “ Oooo, semacam dagelan juga, ya,” balasku.
            “ Benar. Di panggung mesti memainkan perannya. Masak saat berkelahi ucapan – ucapan kita melankolis. Mesti saling gertak. Bila perlu meja pun kita angkat agar kelihatan lebih seru. Di samping itu, agar kelihatan lebih mewakili yang memilih kita. Suara kita mesti lantang.”
            “ Pastas suaramu semakin kuat sekarang.”
            Ia tertawa.” Aku hampir setiap hari belajar mengolah suara. Coba nanti lihat pasti banyak yang mendadak menjadi penyanyi.”
            Aku semakin tidak mengerti. Ternyata ada panggung sandiwara. Ada paduan suara. Pantas selalu riuh setiap sidang –sidang.
            “ Kau tak cocok mengikutiku. Ototmu kecil. Meski otakmu bagus.Jangan aku dijadikan contoh. Di sini kekuatan fisik lebih dominan. Coba kau lihat tadi. Rata – rata yang ke podium itu jago silat. Tidak hanya pintar bersilat lidah. Juga jagoan kampung.”
            “ Besok akan kubawakan rekamannya. Kau akan lihat betapa aku ini berjuang. Inilah manfaatnya menjadi preman. Ternyata tidak rugi aku menjadi preman. Aku disegani oleh kawan maupun lawan.”
            Agar tak terlalu lama ia bercerita. Kualihkan pembicaraanku. “ Kapan kau pulang?”
            “ Mungkin setelah ini. Nanti ada waktu reses namanya. Aku akan pulang sambil kubawakan VCD rekaman kegiatannku di dewan. Akan kuperbanyak. Aku juga sudah rindu dengan pemilihku. Di samping itu, aku juga ingin berbagi pada ayah, saudara, dan juga pada keluarga.”
            Ia menutup HP-nya. Katanya sidang akan segera dimulai. Ia mesti berbicara lebih keras lagi.
            Aku memaklumi keadaannya. Aku menunggu kedatangan kakakku. Sampai beberapa hari belum juga datang. Aku iseng membeli koran tadi pagi. Tertampang dengan jelas wajah kakakku. Judul beritanya kubaca berulang – ulang, “ Seorang anggota dewan tertangkap basah saat memakai sabu-sabu.”

Catatan
Jerih     : takut
Pemayuh         : upacara peruwatan kelahiran

Labels: