Presiden
Cerpen
IBW Widiasa Keniten
Sahabatku Wulang. Terkadang
kupanggil Langu. Keindahan kira- kira maknanya. Lelaki yang kukenal di Jogya
dulu. Perkenalan kami saat makan di Malioboro. Makan lesehan sambil menikmati
masakan khas kota
Jogyakarta, gudeg. Saat itu, aku pas berhadap – hadapan. Ia di depanku. Ia
tidak makan. Cuma memesan kopi jahe.
“ Kenalkan,aku
Wulang.”
Aku menjabat
tangannya. “ Aku Nyoman.”
“ Aku sudah tahu.”
“ Lho kok sudah
tahu?” Aku balik bertanya.
“ Nyoman kuliah di
UGM. Jurusan Filsapat.”
“ Benar!”
Aku sedikit heran.
Kenapa ia begitu kenal denganku? Padahal aku sendiri tidak tahu siapa Wulang. Jangan
– jangan punya mata –mata.
“ Bang Wulang
kuliah di mana?”
“ Aku kuliah di
Malioboro.”
Kami tertawa.
Semenjak perkenalan itu, hampir setiap Sabtu
kami bertemu. Aku juga ingin tahu siapa sebenarnya Wulang. Kutanyakan pada
penjual gudeg.
“ Mbak Rika kenal
dengan Wulang?”
“ Siapa yang tak kenal dia. Ia Presiden
Malioboro.”
“ Ah, Mbak ngerjain
.”
“ Benar . Ia
Presiden di sini. Tentu berbeda dengan presiden di Jakarta sana. Presiden Malioboro
tak pernah dapat gaji. Tidak ada Paspanpres. Tidak ada mobil yang pakai sirena
itu. Presiden Malioboro melepaskan diri dari keterikatan. Kudengar juga ia
keturunan raja. Tapi, ndak mau jadi raja. ” Mbak Rika tertawa.
“ Kok Mbak
tertawa?”
“ Mbak ingat dengan
kisah Sutasoma. Ia ndak mau menjadi raja. Lebih suka dengan petualangan
menemukan Sang Diri. Kalau sekarang, mana ada seperti itu. Pasti rebutan. Ndak
ada yang mengalah. “
“ Wulang diangkat
jadi presiden oleh anak – anak Malioboro . Ia Sangalana. Pengelana mencari
makna hidup. Ia pernah kuliah. Tapi, tak nyambung. Mata kuliah perpuisian lebih
menantangnya.”
Penjual gudeg itu tersenyum. Tangannya
cekatan menyiapkan gudeg buatku.”Ini gudegnya.” Aku menikmatinya.
“Pemilihannya
benar – benar demokratis. Tidak ada kecurangan yang terdengar. Tidak ada kartu
panggilan. Apalagi money politic. Benar
– benar bersih. Pemilih itu yang merasa terpanggil. Kebetulan pemilihan itu
dilakukan di sini. “
“ Saat pemilihan,
semua peserta wajib menulis sebuah puisi. Ini masih kusimpan puisinya. “ Mbak Rika mengeluarkan puisi – puisi yang
tertinggal.
“Setelah menulis lantas membacakannya.
Ramai dan menarik. Warung ini lumayan ramai jadinya. “
Aku manggut –
manggut. “ Pantesan semua temanku kenal padanya. Jika tak kenal sama Presiden
Malioboro, katanya rugi kuliah di Jogya. Mendingan pulang saja.” Teman –
temanku meledekku.
“ Itu Pak Presiden
datang. “ Tangan Mbak Rika menunjuk pada Wulang. “ Kedatangannya tak usah
dipikirkan. Terkadang kalau terlalu diharapkan Pak Presiden tak datang. Kalau
datang, bisa menyamar. Kunjungannya mendadak. Turba ( turun ke bawah) seperti
kata – kata bapak – bapak yang di Jakarta
itu. “
Wulang kulihat
tumben agak necis.
“ Presiden yang
merakyat ,” bisikku. “ Jika setiap
presiden seperti Wulang. Tentu terbiasa
mendengar suara rakyat.Tidak akan ada demo yang membakar ban. Tak ada lemparan
batu. Tak ada pentungan yang mematahkan leher. Tidak ada darah dan nyawa
melayang. ”
Aku dan teman –
temanku bersiap menyambut kedatangannya. Meski hati ini degdegan juga. Pak
Presidan tidak menghampiri kami. Ia justru menatap awan dan sepasang burung elang yang melintas tepat
di depannya. Sampai menghilang di sapu awan.
Pak
Presiden tersenyum. Entah apa yang membuatnya berseri – seri?Apa karena elang
itu? Apa karena kami yang dilihatnya agak lucu ? Yang jelas kami tak berani
berkata.
“ Sudah lama.”
Kami saling
pandang. Aku jawab baru saja. Temanku mengatakan sudah dari tadi.
“ Lho. Mana yang
benar ?”
Kami kembali saling
pandang. “ Nyoman sudah duluan menunggu. Aku baru saja.” Temanku Haris memberikan penjelasan.
“ Mana puisimu,
Haris? “
“ Ini, Pak
Presiden.” Kami serempak mengeluarkan puisi.
“ Ini bukan puisi.
Ini rintihanmu.”
Aku mau tertawa. Aku
tahan. Tak berani. Aku kurang yakin akan
puisiku. Apakah bagus atau tidak.
“ Ayo sana!” bentaknya. “ Buat puisi
lagi.Malu- maluin saja.”
“ Nyoman mana
puisimu?”
Aku menyerahkan kertas putih. Yang menurutku
bukan puisi. Tapi sakadar corat – coret saja.”
Pak Presiden
membacanya berulang – ulang. Ia komat – kamit seperti pawang hujan. Keningnya
sedikit berkerut. Wulang seperti mengingat – ingat sesuatu. Ia mangguk –
mangguk. Justru aku yang keringatan.
“ Ini puisi.Tapi,
perlu digulat lagi.Biar lebih menukik pada jiwa puisi.”
Temanku seperti
kecewa.
“ Ayo sana! Kita kumpul di
pinggiran sana.
Biar lebih leluasa. Kita nikmati malam ini dengan puisi. Biar sampai pagi. Toh
juga besok kau tak kuliah.”
Kami mencari tempat
yang lebih luas . Koran bekas sebagai alas duduk kami. Kami melingkar. Di tengah lingkaran sengaja kami
nyalakan sebuah lilin. Sinarnya meliuk – liuk diterpa angin.
Aku disuruh membaca
puisiku. Aku baca biasa saja. Tampaknya Pak Presiden menikmati.
“ Kau akan menjadi
penulis nantinya.Meski kau kuliah di Filsapat. Puisi itu akan mengantarkanmu
menjadi seorang filosof yang bagus.”
Bapak presiden
memujiku. Menurut teman – temanku, jarang sekali kata – kata pujian yang keluar
dari bibirnya. Tumben pujian itu datang lagi.
Pagi menjemput
kami. Kami kembali ke tempat kos. Sabtu depan kami mesti membawa puisi yang
baru lagi.
Aku berusaha
membuat puisi yang sejenis dengan yang dipujinya Sabtu lalu. Tapi, sampai batas
akhir tak juga kunjung tercipta. Aku mau menangis. “ Oh, Dewi, Keindahan . Bantulah
diriku. Biar dapat kucipta sebuah puisi untuk Bapak Presiden. “
Kertas yang kutulisi
hampir tak beraturan lagi. Kucorat –coriti semau perasaanku. “ Biar tak kenapa.
Biar aku dihukum.”
Sabtu tiba. Aku
kembali bersama teman – temanku ke Malioboro. Sampai larut malam, Pak Presiden
tidak datang.
“ Kira – kira ke
mana kunjungan Presiden kita?”
“ Mana aku tahu?”
“ Ayo kita ke
rumahnya.”
“ Di mana ia
tinggal?”
“ Aku tak tahu.”
“ Tadi mengajak ke
rumahnya.”
“ Kita sama – sama
tak tahu rumahnya. Sama – sama tak pernah menanyakan di mana istana Pak Presiden .”
“ Dulu, ia
mengatakan berumah di atas angin.”
“Ah, kau ada – ada
saja.”
“ Kita pulang
saja.”
Kami pun pulang ke
tempat kos masing – masing.
Minggu malamnya.
Tiba – tiba Pak Presiden datang ke kosku. Aku kaget.
“ Malam Pak Presiden.”
Ia tak menyahut. Ia
duduk di kursi. Ia lihati tumpukan bukuku yang tak beraturan.
“ Nyoman, aku mau ke Bali.”
“ Kapan?”
“ Ya. Dekat – dekat
ini.”
“ Untuk apa?”
“ Aku mau bertemu
Ni Reneng. “
“ Pak Presiden
kenal Ni Reneng.”
“ Belum. Ku dengar
ia seorang penari. Aku mengagumi keindahan tariannya. Puisi itu sama seperti
tarian. Ada
iramanya. Ada sentakannya. Kadang mendayu. Kadang
sedikit keras. “
“ Kebeulan Pak
Presiden. Mulai Senin depan kami libur semesteran. Kita sama – sama ke Bali.”
“ Baiklah! ”
Diperjalanan kami
tak banyak bicara. Aku tahu pak Presiden tak senang diganggu. Kapal kami
merapat di Gilimanuk. Kami kembali ke bus. Wajahnya berbinar saat memasuki alam
Bali. “ Mistis. Nuansa religius kurasakan di
sini.” Bisiknya.
“ Benar Pak
Presiden ?”
“ Jangan panggil
aku Pak Presiden. Panggil saja Wulang. Nanti kedengaran sama penumpang sebelah . Malu – maluin saja. “
“ Baik Langu.”
“ Ah, kau Nyoman.”
Wulang tertawa. Tumben ia tertawa lepas. Mungkin menikmati Bali.
“ Bali
itu puisi. Bali itu keindahan,“ pujinya. “ Kau
mesti bisa merawat Bali. Jangan sakiti Balimu.
Aku saja bersyukur memiliki Bali. Mestinya,
Nyoman lebih bersyukur lagi.
“ Bagiku, Bali itu gula . “
“ Jangan begitu,
kau lahir, hidup atau mungkin mati di Bali.
Termasuk aku mau mati di Bali.”
“ Ah, Bang Wulang.
Jangan mikir yang nggak – nggak.”
Sampai di terminal
Ubung. Kami istirahat sejenak sambil menikmati kopi Bali.
“ Kita langsung saja ke Ni Reneng. “
Tampaknya Wulang
sudah tak sabaran. Kuajak ke rumah Ni Reneng. Wulang kaget. Rumah Ni Reneng sudah terkunci.
Soma
Ribek, 3 Agustus 2009
Labels: Cerpen