Cerpen Serigala

Serigala
 Cerpen IBW  Widiasa Keniten

            Pamanku serigala bagiku. Ia telah mempermalukan diriku. Ia merengut masa depanku. Ia disegani di masyarakat. Ia dikenal sebagai seorang yang arif dan bijaksana.Tapi, itu hanya kamuflase untuk menyembunyikan aliran nafsunya yang terus bergelora.
            Senyumnya seperti menyiratkan kedamaian.  Tapi, aku justru ketakutan.  Yang kutemukan hanya kengerian bagaikan taring –taring yang berlepotan  dengan racun.
            Beberapa temanku mengidolakannya. Ia dianggapnya sebagai pembimbing. Perhatian dengan anak – anak muda . Pintar bergaul. Tutur katanya tak pernah lepas dari kitab – kitab suci. . Penuh dengan petuah – petuah yang seakan – akan menyejukkan.
            Aku sendiri tak tahu. Kenapa aku terbius oleh kata – katanya.? Apakah karena ia pamanku atau karena aku kehilangan figur? Atau karena aku sudah masuk  perangkapnya. Jika saja  tidak terbius dengan tutur katanya, mungkin tak akan menjadikanku seperti sekarang ini.
            Paman mengajakku sembahyang ke suatu tempat suci. Ia tahu ayah dan ibuku tak pernah akur. Katanya  agar aku lebih tenang, damai, tak terlalu bergejolak. Di samping melepaskan tekanan jiwa yang kualami.
 Tempat suci itu berada di pinggir laut. Deru ombak dan kepakkan burung camar seakan –akan membawaku ke alam mimpi. Saat itu,  bukan sembahyang yang kulakukan. Pamanku  merayuku. Ia ceritakan bahwa kehidupan rumah tangganya tidak harmonis lagi. Istrinya jarang peduli dengannya. Bahkan, ia mengaku seperti hidup dalam sebuah penjara.
            Aku tak tahu arah perkataannya? Aku hanya terdiam. Sebuah kalung mutiara ia keluarkan dari sebuah kotak berwarna merah muda. Ia serahkan padaku. Awalnya aku menolaknya. Tapi, ia terus membujukku agar menerimanya. Tak enak rasanya kalau tak menerimanya. Ia sendiri mengalungkannya di leherku. Sambil berucap.” Mirah, kau cantik sekali.”
            Aku tersipu malu saat digoda seperti itu. “ Terima kasih,” balasku.
            “ Mirah, paman sayang sama kamu?”
            Hatiku berdegup kencang. Aku tak menyangka paman  akan berkata seperti itu. “ Aku  ini  masih keponakan Paman.”
            “ Meski begitu, tidak ada salahnya paman  memilikimu?”
 Aku tak sadar. Aku mengangguk. Ia girang sekali. Pamanku berdiri dan memegang tanganku sambil berucap lirih. “ Dunia ini milik kita. Ayo kita ke sana !” Aku dibawa ke sebuah hotel. Dan peristiwa itupun terjadi. Paman telah menjadikanku seorang wanita sejati.
            Aku tak berani menceritakan kepada siapa pun. Termasuk pada ibuku apalagi ayahku. Keluargaku kurang harmonis. Ayahku terlalu berbangga dengan egonya. Ayah  terlena  dalam  pelukan perempuan malam.
Ibuku sering diperlakukan tak senonoh. Tubuh ibuku  sudah terbiasa mendapatkan makanan berupa pukulan. Kata – kata  caci maki, kasar, dan menjelek – jelekkan ibuku bukan sesuatu yang asing lagi. Aku jarang mendapatkan perhatian darinya. Sampai aku mencari figur yang menurutku bisa menjadi ayahku.
            Jika  lambat pulang pun, aku tak pernah ditanyainya. Baginya  aku bukan sesuatu yang istimewa. Aku hanya pelengkap dari sebuah rumah tangga. Aku menangis . Siapa lagi yang menjadi ayah sekarang ini ?
            Sebagai seorang perempuan, kuceritakan pengalamanku ini pada Murni. Ia teman dekatku. Hampir setiap permasalahan yang kualami kusampaikan padanya. Ia tampak kaget. Dan memelukku. “ Ternyata kau juga diperlakukan seperti itu?” tanyanya.
            “ Maksudmu?”
            “ Aku juga dirayunya dan dibelikan ini.” Murni menunjukkan HP yang berisi blackberry. “ Sehabis memangsaku. Ia pergi. Seperti tak ada apa – apa.”
            “ Oh Tuhan ternyata pamanku  benar – benar serigala.”
            “ Kita senasib Mirah. Kita telah dibeli dengan barang – barang ini. Kita tak tahu siapa lagi yang kena bujuk rayunya. Kita salah. Kenapa cepat percaya pada omongannya?”
            Keduanya menangis. Menyesali yang sudah terjadi. “ Orang yang kita idolakan ternyata telah mempermalukan diri kita. Apalah artinya  kalau  tanpa harga diri lagi?”
            “ Harga diri kita teramat murah, Murni. Hanya dengan sebuah HP dan sebuah kalung kita terlena.  Manusia serigala itu mengintai kita.  
            Keduanya terisak dalam tangis.
            Seperti biasa Pamanku  mengotbahkan  tentang kedamaian dan kesejukan dalam pergaulan. “ Kita mesti bisa mengendalikan diri. Jika kita tidak mampu menguasai diri sebenarnya kita tak lebih dari binatang yang berekarnasi dalam wujud manusia. Hanya binatang yang hidup dengan nafsu. Kita adalah manusia. Manusia itu hendaknya berhati dewa, “ katanya.
            “ Hidup jangan disia-siakan. Renungi, syukuri, hiasi dengan kelembutan. Kurangi ego yang hidup subur di hatimu.”
            Aku muak mendengarnya. Dalam benakku berkata, “ Siapa lagi yang akan menjadi mangsanya. Semoga saja paman terkutuk itu mendapatkan ganjaran, “ bisikku Kehancuran keluargaku menjadikannya mendapatkan angin segar untuk memenuhi segala hasratnya.
 Ia sebenarnya sudah memiliki anak yang seusia denganku. Apa ia tidak teringat anaknya saat mempermalukan diriku?
            Mulai kejadian itu, aku tak mau lagi mendekatinya . Kepercayaanku telah pudar. Aku tak percaya lagi pada kata – katanya. Aku jarang sembahyang. Toh aku sudah tak suci lagi. Aku tak peduli lagi pada hidupku. Biarlah hidupku hancur sekalian. Tidak ada lagi yang sayang padaku.
            Kebencianku  memuncak.  Aku mengigau dalam tidur. “ Jangan – jangan, Paman. Aku keponakanku. Jangan lakukan ini, Paman.”
            Ibuku kaget. Ia cepat – cepat memegang tubuhku.” Siapa yang mempermalukan dirimu, Mirah?”
” Paman, Bu. Ia telah memperkosaku.”
            Ibuku menangis.Ibu memelukku. Menangis sejadi – jadinya. “ Maafkan ibu, Anakku. Ibu yang menyebabkanmu seperti ini. Ibu yang bersalah.”
            “ Tidak ibu. Ibu tidak bersalah. Aku yang bersalah. Aku tidak menemukan ayah dalam hidupku. Aku ingin dekat pada ayah pada Ibu.”
            “ Tapi, Mirah. Ayahmu tidak pernah peduli lagi pada kita. Ia telah menjadi milik wanita lain. Ia telah lupa pada kita.”
            Aku terus menumpahkan kekesalanku. Tidak ada yang kusembunyikan. Dan kusampaikan juga bahwa paman juga memperlakukan gadis – gadis lain sepertiku. Ibuku mengurut – urut dadanya. “ Ternyata pamanmu  binatang yang  berekarnasi dalam wujud manusia.”
            Malam itu tumben ayahku pulang. Ia tampak kelelahan. Ibuku  menyuguhkannya segelas kopi.  Ibuku benar – benar teruji  kesetiaannya. Seakan tidak ada masalah dalam dirinya. Ayahku menatapku dan ibuku.
            “ Maafkan ayah, Anakku. Ayah selama ini tak pernah peduli denganmu. Kau sudah semakin menginjak  remaja.  Ayah tidak bisa menjadi ayahmu yang sejati. Ayah telah merusak keluarga dan  masa depanmu. Ayah salah menilai ibumu. Ia perempuan yang amat mulia.”
            Aku tak hapis pikir.” Kenapa ayah berubah sekarang?”
            “ Perempuan yang ayah kira baik itu, ternyata hanya mengharapkan harta ayah. Ayah tak punya apapun sekarang ini.”
            “ Tapi, ayah masih punya ibu,” kataku.
            Ayahku melirik ibuku. Keduanya  tersenyum. Aku terhibur dari keperihan jiwa. Ibuku menceritakan tentang hidupku. Ayahku marah sekali. Ia memukul – mukulkan tangannya. Ia  masuk ke kamarnya  mengambil sebilah keris peninggalan kakekku.

Labels: