Genjek:
Mencari Keadilan Hukum
IBW
Widiasa Keniten
Tatanan
hukum yang kurang berkeadilan menarik perhatian dari seniman genjek.
Para pelaku seni genjek melantunkan larik-larik yang mengungkapkan
ketimpangan-ketimpangan dalam ranah hukum. Seniman genjek tidak
berdiam diri. Lantunan-lantunan larik sebagai tanda keterwakilan
hatinya terhadap hukum yang dirasakannya, dipikirkannya tidak sesuai
dengan harapannya. Hukum mesti berjalan sesuai simbol yang dipilihnya
berupa timbangan.
Setiap
pencari keadilan dirasakannya amat sulit untuk memeroleh keadilan.
Ada perasaan tidak terima dengan oknum-oknum penegak hukum (polisi,
jaksa, dan hakim) yang justru melakukan perbuatan kurang sesuai
dengan ranah hukum. Seniman genjek seperti menyuarakan ketimpangan
akan pelaku-pelaku hukum yang tidak taat pada hukum. Yang semestinya
menjadi contoh atau teladan dalam hukum justru menyimpang dari hukum:
tusing
ada jaman jani mengkeban/indik pidabdab pare penegak hukum/beneh lan
pelihé/kéweh pesan baan ngenehang/dija ngalih pematut?// (tidak
ada jaman sekarang menyembunyikan, tentang perilaku para penegak
hukum,benar dan salah, sulit sekali untuk memikirkan, di mana mencari
kepastian hukum). Seniman genjek bertanya-tanya di mana akan mencari
kebenaran. Ada rasa cemas, was-was akan ketimpang-ketimpangan hukum
yang terjadi.
Harapannya
yang benar dikatakan benar, yang salah dikatakan salah agar seperti
timbangan hukum. Sesuai dengan namanya, fungsi timbangan
menyeimbangkan antara kedua belah pihak yang bersengketa. Keputusan
yang diberikan oleh hakim bisa diterima oleh pencari keadilan: pang
seken jujur ngorahang/ané saje orahang beneh/ané tusing orahang
pelih/apang saje buke daciné/side nemu keadilan//
(agar pasti yang benar disampaikan, yang benar dikatakan benar, yang
salah dikatakan salah, agar benar seperti timbangan, berhasil
memeroleh keadilan). Jika ini terwujud, tentulah semua pencari
keadilan akan siap menerima. Karena sering menyimpang, maka ada
kekhawatiran.
Ketimpangan
hukum menimbulkan dampak sosial dalam masyarakat. Masyarakat
bertanya-tanya. Pelaku penegak hukum tidak bekerja sesuai dengan
harapan masyarakat. Oknum penegak hukum yang melanggar hukum
dikatakannya terlalu mengikuti keinginannya sehingga merugikan
pencari keadilan. Wajarlah dunia hukum sulit untuk ditegakkan.
Seniman genjek tetap memiliki keyakinan bahwa hukum karmapala akan
tetap berlaku. Hukum karmapala menyatakan bahwa setiap yang diperbuat
akan mendapatkan hasilnya. Hasilnya bisa cepat, perlahan, atau
mungkin dalam waktu lama: Yening
saje melaksana buke kéto/pantes kekéné dadin guminé jani/bes
nganggoang kite ngulurin keneh padidi/nanging eda engsap tekén
karmapale// (kalau
benar berlaku seperti itu/ wajar begini jadinya dunia ini, terlalu
sewenang-wenang mengikuti kemauan sendiri, tetapi ingat ada hukum
karmapala). Situasi dan kondisi hukum yang tidak memberikan kepastian
berpengaruh terhadap situasi dan kondisi sosial masyarakat. Nafsu
mementingkan diri sendiri mengantarkannya lupa akan dirinya sebagai
penegak hukum.
Simbol
penjor dipergunakan oleh sang seniman. Menurutnya yang salah
dibela-bela hingga kelihatan benar, sedangkan yang benar diupayakan
agar tidak benar. Akan tetapi, kebenaran pasti akan tegak. Entah
kapan? Waktu yang akan menentukan, dalam pemikiran seniman genjek
hukum karmapala tetap akan berlaku: pang
tusing cara i penjor/ané leser ento katanem/ané bengkok ento
payasin/nanging eda bapak engsap/tekén hukum karmapalané//
(agar jangan seperti penjor,yang lurus ditanam,yang bengkok
dihias,tetapi jangan bapak lupa, dengan hukum karmapala). Pemilihan
kata /bapak/ bisa merujuk pada oknum-oknum yang dipandangnya jauh
keluar dari rel hukum yang sudah disepakati bersama.
Kritik
Hukum
Sebagai
seniman tentulah tidak berdiam diri melihat kepincangan-kepincangan
yang ada dalam masyarakat. Seniman genjek tidak bisa dilepaskan dari
masyarakat sosial yang menyertainya.Artinya, seniman genjek turut
menyuarakan permasalahan-permasalahan sosial khususnya hukum yang
dipandangnya perlu diluruskan kembali sesuai aturan-aturan yang
berlaku. Sebagai makhluk sosial,seniman menciptakan karyanya bukan
untuk dirinya sendiri saja (Sumarjo,1982:12). Gejolak sosial
mendapatkan perhatian khusus oleh seniman genjek. Sesuai dengan
fungsinya karya seni itu bersifat menghibur dan juga menyampaikan
pesan-pesan yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Orang-orang yang
mendengar minimal ada perasaan tergugah untuk bisa merasakan
ketimpangan-ketimpangan yang terjadi.
Timbangan
(bahasa Bali,dacin) yang menjadi simbol dalam dunia hukum tampaknya
dipertanyakan oleh seniman genjek. Timbangan mestinya menentukan
sebuah keputusan, sebuah kepastian yang tidak bisa ditawar-tawar
lagi. Sifatnya pasti. Akan tetapi, kenyataannya tidaklah seperti yang
diharapkan. Keadilan hukum perlu jalan panjang untuk mendapatkannya.
Banyak contoh penjaga gawang hukum bahkan bermain-main dengan hukum.
Teramat sedikit yang benar-benar mengamalkan, mengabdikan dirinya
sesuai tugasnya. Uang sudah menjadi barometer keberhasilan dalam
hidup. Hukum bisa diatur oleh uang. Inilah yang dipertanyakan kembali
oleh seniman genjek.
Perilaku
yang menyimpang atau mencari pembenar dari sebuah ketidakbenaran
disimbolkannya dengan ‘penjor’. Penjor sebenarnya salah satu
sarana upacara yang umumnya ditancapkan saat menjelang hari raya
Galungan. Simbolis dari kebenaran (dharma) mengalahkan ketidakbenaran
(adharma). Akan tetapi, dalam konteks larik genjek, penjor sebagai
simbolis dari sebuah perilaku yang berusaha menutupi ketidakbenaran.
Bambu dalam konteks larik genjek bisa ditafsirkan sebagai manusia
yang dengan beragam cara mengelabui atau berusaha membela dirinya.
Beragam ucapan disampaikan untuk membela diri.
Pemikiran
seniman genjek mengingatkan agar selalu ingat dengan hukum
karmapala. Hukum karmapala mendalilkan setiap perbuatan akan membawa
hasil. Bergantung kepada perbuatannya benar ataukah salah. Keyakinan
akan hukum karmapala ini membesarkan hati setiap pencari keadilan
hukum. Ada keyakinan bahwa kalau tidak pelakunya yang kena bisa
berdampak pada sanak keluarganya lambat laun akan kelihatan juga.
Jika dipikirkan
sebenarnya amat sederhana, seniman genjek berharap banyak agar hukum
ditegakkan kembali karena sudah jenuh melihat ketimpangan-ketimpangan
yang justru dilakukan oleh oknum yang tahu hukum.
Labels: Artikel, Genjek