Genjek,
Penjaga dan Pelestari Budaya
IBW
Widiasa Keniten
Seniman
Genjek Kadong Iseng tidak hanya memerhatikan masalah-masalah sosial
di luar Seraya. Ia juga memedulikan seni warisannya khususnya seni
Gebug yang ada di Desa Seraya agar tetap dijaga dan dilestarikan.
Sebagai pewaris budaya, sudah sewajarnya memiliki rasa keterpanggilan
untuk selalu menjaga dan melestarikan budaya yang diwarisi dari para
leluhur.
Gebug
Seraya tidak hanya untuk masyarakat Seraya saja. Setiap 17 Agustus,
biasanya masyarakat umum bisa menikmati keindahan, keberanian para
penari gebug dalam memainkan gebud. Lapangan Candra Bhuwana tempat
pementasannya. Tarian ini selalu dinanti-nanti oleh masyarakat
Karangasem karena menampilkan kelincahan dan kemampuan penari untuk
berkelit. Dua orang penari beradu ketangkasan. Kelengahan berarti
kekalahan dan tubuh siap merah karena terkena pecut. Penonton
mengitari para penari. Sorak-sorai terdengar.Tangan kiri memegang
tameng dan tangan kanan memegang pecut. Pecut ini terbuat dari rotan.
Kelincahan penari diiringi tetabuhan membangkitkan semangat untuk
merubuhkan lawan.
Secara
geografis desa Seraya di Kabupaten Karangasem berada paling timur.
Desa Seraya paling awal menyambut sinar matahari Bali. Alam yang
panas sudah menjadi tantangan tersendiri. Masyarakatnya kuat dalam
menghadapi keadaan alam yang panas lebih-lebih berada di perbukitan.
Gebug
sebagai salah satu seni yang diwarisi sedari dulu. Seni Gebug
diharapkan terus lestari meskipun arus pariwisata sudah merambah Desa
Seraya khususnya yang berdekatan dengan pantai. Keterpanggilan untuk
selalu menjaga, merawat, melestarikan warisan budaya merupakan sebuah
tanggung jawab moral: Sujatin
ring Sraya saking dumun sampun kasinahang/indik seni gebuk tetamian
anak lingsir/ngiring sareng sami patut lestariang mangde tetep
ajeg/nénten kantos punah érangang manahé/gumanti pacang tindih
ring désa Seraya// (sebenarnya
di Seraya sedari dulu sudah dipastikan, mengenai seni gebug warisan
dari tetua/ mari bersama-sama untuk melestarikan agar tetap kukuh/
tidak sampai punah, rasa keterpanggilan diri, memang akan membela
Desa Seraya).
Seniman
Genjek sebenarnya tidak hanya mengharapkan Seni Gebug saja yang tetap
dikawal, dijaga, dilestarikan oleh pewaris seni juga seni-seni lain.
Karena seniman genjek lahir, besar, dan amat mencintai keberadaan
Gebug, maka seni yang dekat dengan dirinya diungkapkan dalam sebuah
kreativitas seni Genjek. Secara tersirat harapan seniman genjek
masyarakat Bali, khususnya Karangasem tetap peduli untuk merawat,
menjaga, mengembangkan, menggali seni-seni yang lain. Disadari oleh
seniman Genjek, seni tidak hanya berfungsi menghibur. Ia juga
berfungsi untuk memuja kebesaran Tuhan. Tuhan sebagai pencipta
keindahan dan dipuja juga dengan keindahan.
Tari
Memohon Hujan
Desa
Seraya yang tandus memiliki keyakinan jika terjadi kemarau
berkepanjangan akan memohon hujan. Tari Gebug dipentaskan oleh
masyarakat. Dengan demikian, gebug berfungsi religius sebagai sarana
pemujaan kebesaran Tuhan agar memberikan berkah berupa hujan. Pada
umumnya, setelah upacara digelar disertai dengan persembahan Tari
Gebug hujan akan turun.
Sasih
(bulan) yang dipilih adalah sasih Kapat (sekitar Oktober). Oktober
puncak kemarau. Pohon-pohon mulai meranggas. Pucuk-pucuk dedaunan
mulai tumbuh. Rintik-rintik hujan amat dinanti-nantikan. Sasih Kapat
(Oktober) diyakini dengan puncak keindahan (Kartika
Panedenging sari).
Pucuk-pucuk keindahan alam disertai dengan keindahan sang pemujanya
berupa menampilkan seni Gebug. Penyatuan (penunggalan)
keindahan dengan Hyang Mahaindah terjadi. Masyarakat Seraya melakukan
pemujaan ini. Bulan penuh keindahan dipuja dengan keindahan juga.
Bentuk pengungkapan batin yang paling dalam tentang keberadaan Tuhan,
eksistensi manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan (Lathief, 2010:
166).
Para petani
(peternak) kesulitan mencari pakan ternak. Desa Seraya pada
bulan-bulan itu akan terasa amat panas. Masyarakat Seraya merasa
terpanggil untuk menjaga keseimbangan alamnya. Tuhan diyakini
memberikan berkah dan pertolongan pada umatnya yang secara tulus
ikhlas mempersembahkan upacara disertai dengan Tari Gebug: Sami
jatmané sané seneng ngamiletin tari gebug/tatkala sasih Kapat
anggén srana nunas ujan/sami pada girang ngarasaang tabuh
mangetohang jiwa/tur kapingitang kantos kasumbungang/punika sujatiné
adat ring Seraya//
(semua orang senang mengikuti Tari Gebug/ pada waktu Oktober sebagai
sarana memohon hujan, semua riang gembira merasakan bunyi tetabuhan
yang menggugah jiwa,dan disucikan serta dipaja-puji, itulah kebiasaan
di desa Seraya). Dari hujan menurunkan kesuburan. Kesuburan bukan
hanya fisik juga kesuburan rohani. Kesuburan berkreativitas ini akan
melahirkan karya-karya seni yang nantinya juga dipersembahkan untuk
Tuhan.
Permainan
Bunyi
Keindahan
Genjek, Gebug Sraya ini terutama dalam mengolah permainan bunyi.
Bunyi-bunyi [rarirurero] menampilkan suasana keberanian dalam
pementasan gebug. Ada pengalihan suasana yang ada dalam pementasan
gebug ke dalam larik-larik yang berulang-ulang.
Bunyi
[rarirurero] jika dicermati bermain dengan vokal /a.i,u,e,o/ diawali
dengan fonem /r/. Ini menguatkan larik-larik genjek yang disertai
dengan permainan bunyi. Keselarasan bunyi ini diikuti dengan larik
/gebug
Seraya yes/
(gebug Seraya, Ya). Repetisi bunyi yang dilakukan membangkitkan
suasana seperti saat akan menarikan Gebug.
Seniman
Genjek secara tersirat mengharapkan agar para pewaris kebudayaan Bali
tetap menjaga, menggali, dan mengembangkan budaya Bali meskipun
gempuran globalisisi tidak dapat dihindari. Jaga dan lestarikan seni
yang telah diwarisi dari para leluhur.
Labels: Artikel, Genjek