Kritik
Sosial dalam Genjek
Seniman
adalah makhluk sosial. Ia tidak akan berpangku tangan tatkala
masyarakat dipenuhi oleh oknum-oknum mabuk kekuasaan, munafik, gila
harta. Seorang seniman akan “memberontak” pada ketidakadilan,
penguasa yang menindas, menghisap dan menyengsarakan rakyatnya.
Seniman menggugat sekaligus mengkritisi keadaan serta memberikan
solusi (Wibowo, 2013:108). Seniman melakukan kritik sosial terhadap
sebuah ketimpangan-ketimpangan yang terjadi.
Ketimpangan-ketimpangan
itu bisa dalam tata pergaulan, tata perbuatan, tata pemerintahan.
Sebagai seorang seniman genjek, gelisah melihat
ketimpangan-ketimpangan yang terjadi. Dengan harapan, ketimpangan itu
bisa segera diperbaiki sehingga terjalin sebuah keharmonisan.
Lantunan-lantunan larik genjek sebagai media dalam penyaluran
kritik-kritik sosial itu. Bermediakan seni, kritik-kritik pedas bisa
menjadi menghibur yang disindir pun tidak akan merasa direndahkan
martabatnya. Justru bisa sebaliknya yang dikritik bisa menyadari
bahwa dirinya perlu mengubah perilakunya.
Kritik
menghibur amat diperlukan. Manusia umumnya tidak bisa menerima jika
dikritik secara langsung. Melihat kecenderungan seperti inilah,
larik-larik genjek hadir dalam ranah kehidupan manusia. Seniman
genjek berolah rasa dengan memainkan kata-kata. Diksi dipilih dan
terpilih dengan menggunakan perbandingan-perbandingan dihadirkan.
Ketimpangan
ekonomi dan harga barang yang selalu naik menjadi perhatian para
seniman genjek. Permainan kata yang menyindir sekaligus memberi
renungan agar berbuat lebih baik khususnya para pejabat dan pengambil
kebijakan hendaknya peduli rakyat. Ketimpanagn ekonomi yang terlalu
mecolok akan menimbulkan kecemburuan sosial yang bisa berdampak
kurang baik bagi kemajuan sosial-budaya dan ekonomi masyarakat.
Kesenjangan ekonomi menurut sang seniman genjek indikasikasikan
sebagai sebuah zaman kaliyuga. Dalam Hindu, ada empat kurun zaman
(Catur Yuga), kertayuga, tretayuga, dwaparayuga, dan kaliyuga (Tim
Bali Aga,2009: 62). Kaliyuga dipandang sebagai zaman serba tidak
jelas, kemunafikan, kesewenang-wenangan tumbuh, kekurangpedulian
pejabat terhadap rakyat dipimpinnya, korupsi merajalela, kurang
menghargai diri sebagai manusia, tanpa peduli orang lain, mencari
kekuasaan dengan kurang sehat. Perilaku merendahkan martabat sebagai
manusia dianggapnya hal yang biasa.
Seniman
Genjek Kadong Iseng dengan Kaliyuga menyuarakan
ketimpangan-ketimpangan ekonomi, sosial, termasuk juga semakin
banyaknya pengangguran: Tusing
side ban makeneh care janiné/ulian nyusup gumi kaliyugané/ajin
barangé state dadi angoban/state begbeg kadi gegaén nuakin/kudiang
jani bingung ngalih gegaén/upah meburuh tusing genep daar awai//
(tidak
bisa untuk berpikir seperti situasi sekarang, karena pengaruh zaman
kaliyuga, harga barang terus merangkak naik, tidak tentu seperti
pekerjan mengiris nira, sekarang susah mencari pekerjaan, upah
sebagai buruh tidak cukup untuk makan sehari). Keadaan ekonomi yang
kurang stabil berdampak pada rakyat kebanyakan. Lowongan pekerjaan
terbatas sementara tenaga kerja cukup banyak. Upah untuk para
pekerja menjadi rendah. Kehidupan ekonomi berpengaruh terhadap
kehidupan sosial.
Situasi
ekonomi mendapatkan kepastian amat diharapkan oleh seniman genjek.
Suksesi telah terjadi. Akan tetapi, tidak ada perubahan dirasakan
oleh rakyat kebanyakan. Ketimpangan-ketimpangan sosial melebar: Buin
pidan guminé pacang mesalin/pare manggale sami sampun
megentos/kantos mangkin rakyat sami pade bingung//
(kapan akan terjadi perubahan, para pemimpin sudah terganti, sampai
sekarang rakyat menjadi bingung). Mengapa rakyat bingung? Karena
sebelum dipilih kebanyakan mengumbar janji. Bukan menawarkan solusi
agar rakyat semakin sejahtera. Setelah terpilih lupa dengan
pemilihnya. Lupa dengan janji yang diucapkan. Janji hanya hiasan
saat pemilihan. Rakyat tentulah bingung dengan sikap ambivalen para
pejabat.
Salah
satu dampak ketimpangan sosial-ekonomi berpengaruh terhadap NKRI
(Negara Kesatuan Republik Indonesia). Kekhawatiran seniman genjek
tentulah bukan yang diinginkannya hanya ingin menyuarakan pentingnya
pemerataan ekonomi, kepedulian terhadap rakyat kecil agar jangan
sampai timbul pertengkaran yang tidak perlu. Ibaratnya memperebutkan
sesuatu yang tidak berguna diistilahkannya dengan memperebutkan
tulang tanpa ada dagingnya: Dini
ditu guminé nagih merdéka/dong je cingakin rakyat sami ngungsi/buke
senggaké care cicing ngarebut ulang//
(di sana-sini provinsi ingin merdeka, tolong lihat rakyat banyak yang
mengungsi, ibaratnya anjing berebut tulang).
Kegundahan
seniman genjek terhadap keberadaan NKRI patut diapresiasi. Kepedulian
dampat dari sebuah perubahan sikap, karakter, dan juga pola pikir
para pejabat ternyata berpengaruh terhadap tatanan kehidupan sosial
masyarakat. Masyarakat kecil amat merasakan perubahan-perubahan yang
terjadi karena mereka paling dekat dengan kenyataan hidup.
PeralihanTeks
Pada
teks Genjek Kaliyuga terjadi peralihan teks. Pengantar teks berkaitan
dengan kritik zaman berkaitan dengan situasi ekonomi yang mengalami
kesenjangan. Pada tubuh teks berkaitan dengan peralihan pemerintahan
atau kondisi politik. Penutup teks diakhiri dengan situasi negara
yang kurang tentram.
Peralihan
ini dapat dijadikan indikator bahwa betapa kompleksnya permasalahan
yang ada dalam masyarakat. Peralihan dapat dilihat dari diksi yang
digunakan. Misalnya, yang berkaitan dengan ekonomi dimunculkan
kata-kata/ajin
barange, state begbeg, ngalih gegaen, upah meburuh, tusing genep daar
awai/.
Untuk menghubungkan dengan larik di bawahnya dipilihlah kalimat /Buin
pidan guminé pacang mesalin/.
Pemilihan larik ini agar interlarik tidak terjadi pemutusan makna
kontekstual secara keseluruhan.
Alur
teks yang berkaitan dengan politik dimunculkanlah diksi/manggale
sampun magentos/.
Larik ini berkaitan dengan pemilihan kepala pemerintahan eksekutif
maupun legislatif. Dalam larik di atas, terbayang beberapa
kepentingan sudah masuk ke dalam ranah politik. Kepentingan pribadi
maupun kepentingan induk organisasi yang dijadikan kendaraan politik.
Karena
ketidakpastian belum terjadi berkaitan dengan ekonomi, maka
dimunculkanlah larik /kantos
mangkin rakyat sami pade bingung/.
Bingung karena belum bisa mendapatkan kesejahteraan dan jaminan
keselamatan. Dampak dari kebingungan dihadirkan kalimat /dini
ditu guminé nagih merdéka/.
Jika tidak
dicermati, kelihatannya hubungan antarlarik dalam teks genjek tidak
terjadi kaitan. Konteks situasi dan konteks sosiallah mengaitkan
larik-larik yang dihadirkan. Pemunculan beberapa situasi
sosial-ekonomi-politik menyatakan bahwa seniman genjek mengalami
kegelisahan kreativitas karena melihat kesenjangan yang terjadi.
Harapan sang seniman agar terjadi sebuah hubungan sinergis antarsemua
komponen bangsa sehingga beragamnya masalah kebangsaan bisa dicarikan
jalan keluar. Seniman genjek tidak berdiam diri melihat
kesenjangan-kesenjangan yang terjadi. IBW
Widiasa Keniten
Labels: Artikel, Genjek