LUKISAN BALI
Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten
“Apa kau tak menyesal mendampingi
diriku?”
“Menyesal Tuan? Oh, tidak, Tuan. Aku
ingin menebus dosa-dosaku terhadap orang tuaku. Aku telah membuat hatinya
sakit. Mungkin teramat perih bagi orang tuaku. Aku ingin kesalahan masa laluku
terobati dengan menjadi pendamping Tuan.”
“Aku berharap kemarahan orang tuaku
sedikit reda. Aku memang bersalah meninggalkan orang tuaku saat mereka
membutuhkan diriku. Ia juga sedang sakit saat kutinggalkan menuju Paris ini.
Entahlah sekarang. Aku sendiri tidak tahu. Apakah masih hidup di Bali ataukah
sudah diabenkan. Sudah hampir duapuluh tahun, aku tak menyentuh tanah Bali, Tuan.
Semenjak Tuan menerima saya sebagai pembantu di rumah ini, semenjak itulah saya
tak pernah berkabar lagi padanya. Saya yakin Tuan, ayahku sudah diabenkan.”
Perempuan itu meneteskan air
matanya. Ia teringat betapa cinta orang tuanya kepadanya. Satu hal yang tidak
bisa diterimanya agar jangan meninggalkan tanah Bali. Tapi, hatinya tak bisa
dipisahkan dengan Ricardo. Laki-laki yang mengaku belum beristri. Pertemuan
yang hanya sebentar itu membius hatinya. Ia diboyong ke Prancis. Hatinya sempat
berbunga-bunga karena keindahan Paris. Itu sebentar saja. Barulah ia tahu bahwa
suaminya itu sudah beristri. Hatinya merasa dibohongi. Ia meninggalkan Ricardo.
Ia terlunta-lunta. Tak dinyana, ia bertemu dengan sang pelukis di kota Paris
yang tak sampai hati melihat deritanya. Ia diajak ke rumahnya dan bekerja
sebagai pembantu di sana. Mungkin sudah perjalanan, hatinya terpaut pada sang
pelukis. Keduanya menjalin tali kasih.
“Terima kasih. Kau seorang perempuan
yang berhati putih.” Laki-laki itu menerawang jauh. Ia teringat betapa istrinya
tega meninggalkan dirinya setelah ia terkena struk dan tidak bisa berjalan
lagi.
“Kau laki-laki tak berguna! Kau laki
tak ada apa-apanya lagi.” Kata-kata itu masih terngiang di telinganya. Butiran
air mata merembes. Ia baru sadar ternyata kasih sayang istri pertamanya hanya
sebatas di bibir saja. Yang jelas setelah ia jatuh sakit, sekalipun tak pernah
menengoknya sampai beberapa tahun opname.
Lelaki tua itu merasa bersyukur.
Dalam sisa-sisa hidupnya, masih ada seorang perempuan yang setia di sampingnya.
Perempuan Bali yang telah lama tinggal di Paris. “Aku ingin ke Bali, Istriku. Ingin rasanya menghirup
harumnya dupa. Ingin melihat sajen-sajen dipersembahkan ke hadapan Yang Kuasa.
Mendengarkan gamelan Bali.”
“Benar Tuan? Kapan kita ke Bali?”
“Liburan musim dingin ini. Bali
rasanya tak mengenal musim dingin.”
“Baiklah. Aku setuju.”
Keceriaan perempuan itu kurasakan.
Ia tertawa di samping laki-laki tua itu. “Akhirnya, kita bisa ke Bali juga.
Sudah puluhan tahun kita menabung agar bisa menginjakkan kaki di Pulau Dewata.
Tidak salah kata-kata mereka. Bali memang memiliki taksu. Sebuah kebanggan bisa
mencium aroma dupa di tanah dewata.”
Lelaki tua itu tersenyum. Ia mengamit tangan perempuan di sampingnya.
“Kau telah menjadikan hidupku lebih berarti. Jika bukan karenamu, aku yakin
keinginanku mengenal Bali tak terwujud. Bali memang eksotik. Semoga orang-orang
Bali mencintai Bali. Semoga mereka tetap merawatnya seperti merawat hati dan
dirinya.”
Kursi roda dijalankannya. Satu dua
tangannya memutar-mutar rodanya. Sesekali ia berhenti sambil memandang di
sekililingnya. Laki-laki tua itu baru saja mendarat di Bandara Ngurah Rai. Ia
keluar dari kedatangan. Ia hirup udara Bali. Ia rasakan getar-getarannya
seperti getaran kuas dengan cat-catnya saat melukis di atas kampas. Ini kampas
hidup istriku. Tanah Bali hidup. Kulihat beragam lukisan terpancar di pelupuk
mataku. Lukisan-ukisan itu seperti memanggil-manggil hidupku agar bersentuhan
dengan tanah Bali.”
“Jangan bekata seperti itu suamiku.
Kita belum berbuat sesuatu pada tanah Bali. Tempat ini adalah tempat baru bagi
kita. Kita mesti bisa memberikan yang terindah pada tanah Bali.”
“Boleh aku minta tolong! Tolong ambilkan
pensil di tas kecilku.”
Perempuan Bali yang masih
memancarkan kecantikannya itu mengambilkan pensil. Ia tahu betul kebiasaan
suaminya saat di Paris dulu. Setiap ada yang menyentuh hatinya pasti akan
diguratkannya dalam beberapa garis. Jika ada waktu, garis-garis itu akan
berubah menjadi sebuah lukisan yang terkadang berbeda jauh dengan guratan-guratan
yang dibuatnya.
Pelukis tua itu sering dipanggil
Gustav. Ia dikenal sebagai pelukis realistis. Hampir semua coretannya bisa
menyerupai aslinya. Seakan tidak ada bedanya dengan aslinya. Gustav tinggal di
kota Paris. Rumahnya dekat dengan menara Eiffel. Menara yang dibangun oleh
arsitektur Gustav Eiffel. Ia sering memandang menara Eiffel saat musim panas.
Matahari lebih lama bersamanya. Tenggelamnya mentari bisa sampai pukul 10
malam. Ia bersyukur bisa menikmati keindahan menara Eiffel. Sungai di dekatnya
teramat jernih. Satu dua kapal pengangkut barang melintasinya.
Terkadang keindahan dan keramaian
orang-orang di dekat menara Eiffel
dilukisnya. Kepuasannya bisa terwujud dengan menghadirkan lukisan.
Dengan melukis, hatinya merasa damai, merasa sejuk bisa menikmati masa-masa
senja.
Penampilannya terkadang rada cuek,
tapi hatinya sangat bening. Pelukis
eksintrik. Pernah pada suatu ketika lukisannya ditawar dengan harga
jutaan rupiah tak diberikannya. Akan tetapi, saat ada seseorang yang
berkeinginan mengoleksinya dan sesuai dengan kata hatinya, ia tak
tanggung-tanggung untuk memberikannya. Wajarlah dalam sesama pelukis, ia
dikenal sebagai pelukis yang rada aneh.
Tak hanya itu saja, jika senja
menurun. Ia paling doyan minum-minum di kafe. Ia duduk di kursi bersama istri
tercintanya. Ia pandangi orang-orang yang berlalu lalang di depannya. Ia pernah
tersentak. Seorang laki-laki seusianya dilihatnya sedang mengais-ngais sisa
roti dalam tempat sampah. “Kenapa kemiskinan ada di negeriku,” bisiknya. Ia tak
sampai hati makan roti yang dibelinya. Tangannya dijulurkannya. “Ini buatmu!”
“Terima kasih.”
Pengemis tua itu ngeloyor pergi.
Matanya sedikit berbinar karena hari itu perutnya bisa diganjal dengan sedikit
roti.
Bayangan-banyangan pengemis itu
terus membuntutinya. Ia tak bisa melawan kesedihannya. Ia goreskan dalam
lukisan. Istrinya kaget.
“Kenapa kau melukis pengemis,
suamiku?”
“Hatiku merasa teriris saat melihat
ia mengais di tempat sampah. Ia juga manusia. Ia layak kita hargai walau dengan
sebuah lukisan. Lukisan ini tak akan kujual Istriku. Lukisan sebuah kota besar yang
ternyata menyimpan derita hidup.”
“Jika hanya lukisan, kupikir tak ada
artinya. Aku usulkan agar lukisan ini dilelang dan uangnya untuk mereka yang
memerlukan.”
“Tidak Istriku. Biar lukisanku yang
lain saja. Ini goresan sebuah kota. Kota yang menyimpan keindahan ternyata ada
duka hidup di dalamnya.”
Malam merangkak. Suami istri itu terus
menikmati Paris. Entah karena kebetulan atau apa, ia bertemu dengan warga Bali.
Made Surya namanya. Usianya juga tidak terlampau jauh dengannya. Ia mengatakan
bahwa Bali adalah pulau yang indah. Ia menyimpan sejuta harapan lebih-lebih
bagi seorang pelukis. Semenjak itu, keinginanya untuk mencium aroma wangi
kemenyan tak bisa dibendung lagi.
“Ini buku tentang Bali.” Made Surya
menyodorkan buku guide tentang Bali. Keindahan sawah terasiring. Petani
membajak sawahnya dengan garu. Padi-padi menguning. Burung-burung bangau
terbang mengitari langit Bali. Pohon-pohon kelapa menghiasi pantai.
Perempuan-perempuan mandi di sungai dengan air jernih.
“Sebuah pulau yang menyimpan sejuta
keindahan hidup. Aku yakin tidak jauh berbeda dengan Paris. Ia ingat bahwa nenek
moyangnya dari keturunan Latin. seperti yang sudah dikenal. Budayanya amat
kental dan hubungan kekerabatan amat terasa.
“Aku ingin ke Bali. Jika perlu aku
ingin mati di Bali.”
Made Surya tersenyum saat mendengar
harapan dari Gustav.
Ketika ia mencoba mencari keterangan
mengenai Made Surya tak ada kepastian yang diperolehnya. Ada berita yang
mengatakan bahwa Made Surya sudah ke Paris sejak G /30/S/PKI. Apa benar atau
tidak, ia sendiri tidak tahu. Yang pasti, sampai saat ini, Made Surya masih di
Paris dan menikah dengan gadis Paris, Chaterina.
“Syukur ada Made Surya. Jika tidak,
pastilah kita tak akan pernah mengenal Pulau Dewata.”
“Syukur juga Tuhan masih memberi
kita kesempatan mengunjungi Bali.”
Supir taksi bandara mendekati. Ia
tawarkan taksinya. Harganya tidak telalu mahal bagi ukuran nilai uang Euro. Ia
katakan bahwa sudah ada yang akan menjemputnya. Seorang supir dari Ubud.
Tak seberapa lama seorang memangil
namanya sambil memperlihatkan kartu nama penginapan sebagai tempat
penginapannya. Keduanya bersalaman dan tidak lama menuju Ubud.
Mobil pariwisata itu meluncur.
Sengaja sebelum menuju Ubud, Gustav bersama istrinya disinggahkan di Kuta. Ia
sempat melihat sun set. Ia terkagum-kagum. Tangannya segera membuat sebuah
garis-garis sket lukisan. “Luar biasa. Pantas banyak turis mancanegara ke Bali.
Ini karunia Tuhan yang tiada tara.” Ia tak henti-hentinya mengucapkan syukur
pada Tuhan karena diberikan kesempatan menginjakkan kakinya di tanah Bali.
Ia pandangi pantai Kuta yang
berpasir putih. Ia pandangi orang-orang lokal yang memijat tubuh para turis. Ia
pandangi warga lokal yang mentato. Ia lihat juga beberapa perempuan Bali yang
memilin rambut para turis.
“Kenapa pemilik pulau seperti ini,”
bisiknya. “Apa karena pendidikan mereka yang kurang beruntung. Atau bukan orang
Bali?” Ia beranikan diri untuk menanyakannya. “Kenapa orang-orang Bali itu
bekerja sebagai pemijat bukankah ini negerinya?”
“Benar tuan. Ini negeri kami. Tapi
inilah perjuangan hidup. Hidup di Bali semakin hari semakin keras. Mereka
orang-orang Bali yang kurang beruntung. Rata-rata mereka datang ke Kuta tanpa
persiapan keterampilan yang memadai. Pekerjaan itulah yang dipilihnya. Jika
ingin bertahan hidup apapun mesti dilakoni. Semoga di negeri tuan tak seperti
di Bali ini.”
“Perempuan-perempuan desa,”
bisiknya. Bukankah mereka tinggal di pedesaan-pedesaan sebagai penjaga budaya
dan adat istiadat Bali?”
“Benar, Tuan. Tapi mereka ingin
menikmati kue pariwisata. Cerita indahnya hidup di kota membius hatinya. Tak
disadarinya bahwa hidup di kota penuh tantangan dan persaingan. Ia malu ke
desa. Lebih baik baginya bertahan dengan segala kekuatan yang dimilikinya.”
Mata Gustav menelisik. Ia tambah
kaget saat seorang ibu menengadahkan tangannya. Seorang anak kecil dengan
pakaian kumal di sampingnya.
“Ini juga orang Bali?”
“Tidak salah Tuan. Ia terlalu berani
ke sini. Jika diketahui oleh para penjaga pantai ini pastilah mereka akan
dikejar-kejar.”
“Maksudmu?”
“Orang-orang itu telah membuat Bali
ini kurang indah, Tuan.”
“Tapi, ia juga saudara kita.”
Bayangannya teringat pada pengemis yang sempat diabadikannya dulu menjadi
sebuah lukisan. Ia panggil istrinya. “Istriku, di sini juga ada seperti di
Paris. Aku kira tak ada. Ternyata hidup perlu sebuah perjuangan.”
Kembali ia dikagetkan saat seorang
pedagang acung mengacungkan patung-patung khas Bali. Patung Barong dan Rangda
mencocok hidungnya. Ia ambil. Ia padangi keduanya.
“Bukankah ini simbol dari
rwabhineda?”
Guide terperanjat. “Tuan tahu dengan
rwabhineda?”
Ia tersenyum. “Tahu sedikit. Aku
dulu membaca dalam sebuah buku tentang Bali. Buku itu diberikan oleh Made
Surya. Ia orang Bali yang tinggal di Paris. Bahkan sudah menikah dengan gadis Paris.
Jangan-jangan sudah menjadi warga negara Prancis.”
“Made Surya, Tuan?”
“Benar. Ia baik sekali. Ramah
seperti orang Bali pada umumnya. Memangnya kenapa?”
“Oh, tidak.” Guide itu
menyembunyikan keingintahuannya.
“Berapa harganya tapel ini?”
“Sepuluh Euro Tuan. Tolong cepat
dibayar. Jika tidak pedagang acung ini bisa ditangkap.”
“Ditangkap? Hanya mengacungkan ini
saja ditangkap? Ternyata tidak berbeda juga dengan di Paris.” Ia ingat saat
orang kulit hitam yang mencoba keberuntungan di sebuah musium tempat menyimpan
lukisan Leonardo da Vinci yang terkenal, Monalisa. Pedagang acung berkulit hitam
menawarkan replika menara Eiffel. Pedagang itu bermain mata dengan polisi
pariswisata. Jika tertangkap urusannya menjadi rumit dan bisa-bisa didenda.
Orang-orang yang ingin membelinya pun harus cepat-cepat merogoh Euronya. Jika
tidak, jangan harap bisa membeli dengan harga miring. Orang-orang kulit hitam
yang mencoba keberuntungan. Ia juga ingat orang-orang kulit hitam itu juga
masih muda-muda. Mereka juga ingin bertahan hidup. Hidup perlu kerja keras agar
bisa mengatasi tantangan.
“Apa orang-orang yang mengacung ini
sama nasibnya dengan orang-orang kulit hitam di negerinya? Semoga saja tidak,”
gumannya.
“Sudah sore Tuan. Ayo kita ke Ubud.
Di sana, Tuan bisa menikmati keindahan Bali.”
“Mari!”
Sebagai orang yang menyadari hakikat
hidup dan hakikat alam ini. Matanya terus melihat-lihat di sekitarnya.
Kemacetan mulai dirasakannya.
“Tiap hari seperti ini?”
“Kadang-kadang Tuan?”
“Syukurlah. Kalau tiap hari, bisa membuat
turis itu menjadi mangkel. Waktu bagi orang asing itu amat berharga. Jika tak
bisa tepat waktu, siap-siaplah kena bentaknya.”
Guide itu tertawa kecil. Mungkin ia
pernah kena bentak dari turis yang dijemputnya.
“Kita sudah tiba, Tuan.”
Ia
sengaja memilih penginapan yang kamarnya menghadap sawah. Sebuah rumah kecil
lengkap dengan kamar mandinya. Tidak seperti penginapan di Paris pada umumnya
yang bertingkat-tingkat bahkan sampai tingkat dua puluhan.
Ia rebahkan tubuhnya. Istrinya
menciumnya berulang-ulang sebagai tanda cinta kasihnya. “Kita istirahat malam
ini. Malam pertama di tanah Dewata. Semoga para Dewa menyinari hati kita.
Memberi kesejukan saat kita berada di Bali.”
“Semoga,” harapnya.
Pagi membangunkannya. Suara ayam
kampung yang sengaja dipelihara oleh pihak hotel membukakan matanya. Burung-burung
di dahan masih bernyanyi indah. “Sebuah alam yang masih bersahabat. Istriku, ayo kita lihat alam Bali saat pagi! Alam
pertama di tanah ini.”
“Mari suamiku.” Keduanya melihat ke
sawah. Mulutnya tersenyum. Ia teringat dengan buku panduan tour yang diberikan
Made Surya. “Ternyata masih seperti dulu. Warga Bali masih menggaru tanahnya
dengan menggunakan sapi. Ia tatapi para petani itu. Ia lihat gerak tangannya
yang lincah. “Sebuah pemandangan yang amat indah. Alam desa yang terpelihara.
Tangannya tidak bisa diam. Goresan-goresan kecil dalam kertas putihnya. “Ini
lukisan pertamaku di Bali, Istriku. Orang Bali yang bisa merawat tanahnya. Ia
akan sebagai spirit bagi lukisan-lukisanku selanjutnya.”
“Semoga saja.”
Ia dekatkan kursi rodanya. Ia
mencoba untuk berdiri. Ia tak menduga. Kakinya mulai bisa berdiri. Ia merasakan
sebuah kemujizatan terhadap hidupnya. Ia berteriak, “Istriku. Aku sudah bisa
berdiri. Lihatlah! Aku bisa berjalan perlahan-lahan.”
Mata istrinya berkaca-kaca. Ia tiada
henti-hentinya mengucapkan syukur karena sakit suaminya tiba-tiba bisa sembuh.
“Tuhan melindungi kita, Tuan.”
“Istriku, aku berjanji biar sampai
mati hidup di Bali. Aku ingin mengabadikan Bali dalam beberapa lukisan.”
Istrinya tak menjawab. Ia sadar
bahwa perputaran hidup terus berjalan. Hanya senyum kebahagiaan yang bisa
ditunjukkannya.
“Terus di mana rumahmu di Bali,
Istriku?”
Perempuan itu merunduk. Kudengar
tanah warisanku telah diambil oleh desa karena tidak ada lagi ahli warisnya
yang ada di Bali. Kami dulu menempati tanah ayahan desa. Jika tak ada lagi yang
menempati dan menjalankan tugas-tugas di desa, maka tanah itu menjadi milik
desa.”
“Terus keluarga besarmu, bukankah
masih ada?”
“Jangan menanyakan keluarga besar
kami, Tuan. Mereka sudah tak mengakui saya sebagai bagian dari keluarga.
Kenekatanku yang menyebabkan. Mereka memang tidak menyetujui pernikahanku. Dan
terbukti, Ricardo telah mempermalukan jalan hidupku. Keluargaku tak salah.
Akulah yang salah. Aku berterima kasih pada Tuan karena telah menyelamatkan
hidupku. Jika tidak, tentulah akan dihukum di Prancis karena tak memiliki
tempat berlindung.”
“Sudahlah jangan bersedih lagi. Mari
kita mulai dari tanah Bali lagi. Aku sayang sama kamu. Aku juga cinta pada
Bali.”
“Besok kita jalan-jalan melihat
keindahan Bali.”
Kuduanya menikmati Ubud hari itu.
Pandangannya tak lepas dari kehidupan petani yang masih setia merawat tanah. “Hanya
sepetek itukah tanah yang harus digarap oleh para petani di sini?”
“Benar itu, Tuan. Petani Bali
rata-rata hidupnya di bawah garis kemiskinan. Berbeda dengan di negeri Tuan.
Petaninya justru kaya-kaya. Lihatlah Tuan cara hidup mereka amat sederhana.
Lihatlah juga perjuangannya agar sawah-sawah di Bali masih ada. Coba lihat di
sampingnya Tuan. Beberapa bangunan sudah berdiri. Ia masih bertahan. Semua itu
demi sebuah pengabdian pada sang Ibu Pertiwi. Mungkin juga malu jika tanah Bali
semuanya berubah menjadi tanah beton.”
“Apa yang mereka lakukan itu,
Istriku?”
“Itu sebuah pemujaan pada Dewi Sri,
Tuan. Ucapan syukur pada Tuhan karena masih bisa merawat tanah persawahan dan
bersyukur karena masih bisa diberi anugerah oleh Tuhan. Bisa Tuan bayangkan
jika semuanya berubah dan tak ada lagi yang menjaga Bali seperti para petani
ini. Saya sendiri merasa berterima kasih padanya. Orang-orang seperti itulah
yang setia menjaga Bali. Tak pernah bercerita dirinya berkata menjaga Bali.
Tapi, ia sudah menjaganya. Orang-orang seperti ini sudah langka di Bali, Tuan.”
“Tapi, aku tetap ingin mati di Bali,
Istriku.”
“Baiklah Tuan, saya akan tetap
menjaga Tuan. Percayalah dengan diri saya. Kasih sayang saya hanya berlabuh pada Tuan
sampai maut menjemput.”
Keduanya berpelukan merasa seperti
saat-saat awal dulu.
Tour guide sudah menyiapkan
kendaraan. “Kita sekarang akan melihat-lihat tanah Bali, Tuan.”
“Baiklah!” Ketiganya memasuki mobil.
Tour guide sengaja memutarkan
musik-musik khas Bali. Suara tetabuhan diselingi dengan sayup-sayup wargasari
mengantar perjalanannya. Hati Gustav bergemuruh. “Semoga lantunan musik ini
selalu berirama di tanah Bali. Semoga, nanti aku bisa belajar tentang musik
Bali.”
Gustav memang seorang yang
multitalenta. Ia pernah belajar musik pada salah satu sekolah di Paris. Di
sekolahnya, guru-gurunya mengakui kelebihan Gustav. Ia tidak hanya pintar
melukis juga pintar mengaransemen musik.
“Nanti akan kukombinasikan dengan
musik Barat. Aku yakin akan menimbulkan nuansa unik dan khas.”
“Lihatlah Istriku. Bukankah itu
subak yang pernah kau ceritakan dulu?”
Istrinya berusaha mengalihkan
perhatiannya karena ia tahu subak yang menjadi ciri khas pengairan di Bali
sudah dikepung dengan beragam kepentingan. Tanah-tanahnya terkapling. Bangunan
dengan atap beton berdiri angkuh. Air sungai tak sederas dulu. Lenguhan sapi
dan suara pengembala menjauh. Ada satu dua traktor bertengger di pematang
sawah.
Perempuan itu menjerit dalam hati.
“Kenapa perubahan begitu cepat mencengkeram Bali. Jika subak-subak ini mulai
hilang, terus ke mana Dewi Sri akan berstana?”
“Kita ke hulu saja Tuan. Dari sana akan lebih
indah sawah ini.” Tour guide menangkap maksud dari istri Gustav.
“Baiklah.
Aku setuju saja. Ketiganya melihat sawah-sawah yang masih tertata seperti dalam
buku guide yang diberikan oleh Made Surya dulu.
“Aku
suka dengan suasana ini. Jika boleh, aku mau tinggal di desa ini. Apa kau bisa
membantuku membeli beberapa are tanah di sini?”
“Saya
akan usahakan Tuan.”
“Terima
kasih. Aku ingin menghabiskan masa tuaku di sini. Aku ingin melukis Bali dari
sini. Aku ingin mendengar suara Bali dari sini.”
Orang-orang
desa itu seperti dibius. Mereka beramai-ramai menawarkan tanahnya agar dibeli
oleh orang asing. Mereka berpikir bahwa hasil bumi dari sawah sudah tak
mencukupi lagi lebih baik dijual dan uangnya disimpan di bank. Bunga uang
digunakan untuk keperluan tiap hari. Di samping itu, anak-anak muda Bali juga
sudah jarang yang suka menjadi petani. Menjadi petani tak akan menjadi kaya.
Menjadi petani tak akan bisa membeli mobil. Petani itu pekerjaan yang tak
menjanjikan jika dibandingkan dengan berlayar di seantero benua dalam sebuah
kapal pesiar.
“Tanah
saya saja yang dibeli, Tuan. Tanah saya saja!” Seorang makelar tanah
menawarinya.
“Maaf,
saya tidak bisa membelinya. Terlalu mahal dan kurang menarik.”
“Kurang
menarik, Tuan?” Makelar tanah itu mendelik. “Rasakan nanti! Beraninya menghina
tanahku. Kau belum tahu siapa aku ini,” bisiknya. Makelar itu meninggalkan
Gustav.
Gustav
berpikir, “Kenapa orang-orang Bali berlomba-lomba menawarkan tanah warisannya.
Bukankah tanah ini hasil keringat dari leluhurnya? Saya hanya mencari beberapa
are saja. Di samping itu, uang saya tidak terlalu banyak. Saya hanya ingin membuat
sebuah pondok sebagai tempat tinggal.”
“Baiklah!
Kalau begitu, tanah saya yang paling tepat.” Seorang pemuda tanggung menawarkan
tanahnya. Dari sana Tuan bisa melihat indahnya sawah Bali. Di sampingnya ada
aliran air sungai. Pondok Tuan nanti akan dikitari oleh air yang jernih.”
“Gimana
Istriku? Kau setuju?”
Istrinya
mengangguk.
“Baiklah!
Kubeli tanah yang kau tawarkan.”
Pemuda
tanggung itu menyalaminya berulang-ulang. Kantongnya akan semakin tebal. Di pelupuk
matanya menari-menari mobil baru dan sabungan ayam. “Aku akan menjadi orang
kaya baru. Besok akan kupesan mobil dan tentu gocekan di desaku bisa hidup
lagi.”
Pondok
Gustav ditata dengan amat indah. Beberapa taman kecil dibuatnya. Aliran air
sengaja dibuat mengitari pondoknya. Jika malam tiba, kodok dan
binatang-binatang kecil mulai menendangkan suara alaminya. Ketentraman ia
rasakan di tanah Bali. Beberapa orang-orang dari desa itu juga sering
berkunjung. Ada yang belajar melukis. Ada juga yang belajar bahasa Prancis.
Gustav
merasakan hidupnya bermakna. Ia jalani hidup seperti orang-orang Bali umumnya.
Apalagi istrinya juga berdarah Bali, meskipun sampai detik ini tak pernah
diajak ke rumahnya dengan alasan tak ada saudaranya lagi. Gustav bisa menerima
alasan istrinya. Bagi dia, ditemani istri saja sudah merasa berbahagia. Asal
usul istrinya tak ia pedulikan.
Para
penguasa desa juga tak jarang meminta bantuan pada Gustav. Beragam bantuan
mulai dari uang sampai hal-hal kecil yang menurutku tak perlu. Gustav tetap
melayani dengan ketulusan orang-orang di desa itu.
“Lagi
satu bulan akan ada odalan di Pura Desa. Kami harap Tuan bisa membantu kami.”
“Dengan
senang hati apalagi untuk memuja kebesaran Tuhan. Berapa?”
“Terserah
Tuan saja. Ini yadnya tak ada paksaan.”
“Ini
dariku. Maafkan jika teramat sedikit.”
“Tidak
apa-apa. Ini sudah lebih dari cukup.”
Gong
sudah mulai ditabuh. Penari rejang meliuk-liukkan tubuhnya. Asap dupa menyatu
dengan langit. Gustav mengabadikannya dalam foto dan kedalam sket-sket lukisan.
Orang-orang di desa itu sudah menganggap Gustav bagian dari desanya.
“Sebuah
keindahan yang abadi,” bisiknya.
“Mari
sembahyang Tuan!”
Gustav
mengikuti. Ia sembahyang seperti warga desa umumnya. Air suci menyirami
hatinya. Ia rasakan pori-pori tubuhnya dialiri dengan kesucian Bali. Pemangku
mempersilakan warganya untuk kembali ke rumah masing-masing.
Gustav
bersama istrinya kembali ke pondoknya. Ia melihat beberapa orang
mengendap-endap memasuki pondoknya. “Rasakan ini Gustav! Kau tak jadi membeli
tanahku. Inilah balasannya!”
Keduanya mempercepat jalannya. Keduanya kaget.
Bau bensin tercium olehnya. Api
berkobar-kobar di pondoknya. Ia menjerit. “Oh Tuhan! Lukisanku Tuhan! Lukisan
Baliku Tuhan. Kenapa kau bakar?” Ia terus menjerit-jerit seakan tak bisa terima
karena lukisan Balinya telah menjadi abu.
Catatan:
Aben : upacara pembakaran mayat di Bali
Ayahan
desa : tanah milik desa
Barong
dan Rangda : simbolis kekuatan hitam
dan putih
Dewi
Sri : Dewa kesuburan
Gocekan : sabungan ayam
Gong : musik tradisional Bali
Pemangku : pemimpin upacara
Pura
Desa : tempat suci agama Hindu
Rejang : salah satu tarian Bali
Rwabhineda : dua hal yang berbeda
Subak : sistem pengairan di Bali
Tapel : topeng
Taksu : energi yang menghidupkan
Wargasari : lagu pujian-pujian
Yadnya : kurban suci
KURIKULUM
VITAI
Nama :
Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten, S.Pd., M.Hum.
Tempat/tangal lahir : Karangasem, 20 Januari 1967
Pendidikan : S-1 Bahasa, Sastra
Indonesia dan Daerah STKIP Singaraja (Undiksha sekarang), S-2 Linguistik
Udayana dengan kelulusan Cum laude 2012
Kejuaraan : 1) Juara ketiga menulis cerpen berbahasa Bali
tahun 1998;
2) Juara keempat menulis cerpen berbahasa
Bali tahun 1999;
3) Juara keempat menulis cerpen se-Indonesia
tahun 2001;
4)
Juara pertama menulis dongeng tahun 2007;
5) Juara kedua menulis dongeng tahun 2008;
6) Juara ketiga menulis cerpen se-Nusantara
tahun 2011;
7) Pemenang Pertama Guru Berprestasi Tk
Nasional 2013;
8) Ikut Program Bencmarking ke Jerman tahun 2014.
Penghargaan : 1) Penghargaan Rancage tahun 2006 Yayasan Rancage
Bandung;
2) Tanda Kehormatan Satyalancana Pendidikan
dari Presiden tahun 2013 disematkan langsung oleh Presiden, Rabu, 27 November
2013 di Istora Senayan Jakarta.
Karya Tulis : Menulis diberbagai media massa dalam bahasa
Indonesia maupun bahasa Bali (esai, artikel, maupun karya sastra )
Karya
Sastra yang Dibukukan:
(1) Buduh Nglawang, (2) Bangké Matah, (3)
Warisan Jagal, (4) Kuda Putih, (5) Kania, (6) Bor, (7) Sabdaning Sepi, (8)
Mekel Paris, (9) Perempuan Malam, (10) Dongeng Sandal Jepit, (11) Pohon Jiwa,
(12) ...
Labels: Cerpen