Nilai-nilai
Budaya dan Karakter dalam Genjek
(Disajikan dalam
Seminar sastra Faksas Budaya Unud,
Selasa, 31
Januari 2017)
Ida Bagus Wayan
Widiasa Keniten
Pengantar
Genjek
sebagai salah satu seni sastra yang ada di Kabupaten Karangasem. Genjek dilihat
dari penyebarannya hampir sudah merambah kecamatan-kecamatan yang ada di
Karangasem bahkan sampai ke kabupaten di luar Karangasem. Genjek boleh
dikatakan sebagai varian dari Cekepung. Cekepung yang bersumberkan pada lontar
Monyeh saat pementasannya. Lontar ini menggunakan tiga bahasa, yaitu Bali,
Sasak, dan Jawa. Hal ini dibuktikan dengan pada (bait) salah satu dari lontar
monyeh dengan tembang Sinom berbunyi seperti ini: Jari’nȃno ndé’ kruwan/pupuh pasang dahit gěṇdhing/ manawȃ sang nȃra’
kurang/ siddhȃ matutang si’ gěṇdhing/ hampo’ para’ tunȃ lěwih/ luwir mara’ cakar manuk/ babasanȃ raramputan/ baṣȃ Sasak
Jawa Bali/ kocap hara’/ Datu tělu bȃsanakan// (Bersenang-senang tidak
jelas, berisi tembang dan gending, tentu saja banyak yang kurang, agar ada yang
menyalahbenarkan gendingnya, tentu saja tidak bisa memberi keindahan, bagaikan
ayam yang sedang mengais makanan, memakai bahasa yang beragam, bahasa Sasak,
Jawa, dan Bali, yang menceritakan, tentang tiga raja yang bersaudara kandung). Keterikatan
Cekepung pada Monyeh membuat kreativitasnya menjadi terbatas. Pengembangan Cekepung
hanya dilakukan pada instrumen pengiringnya. Awalnya Cekepung disertai dengan
seruling dengan nada demung. Sekarang sudah ditambah dengan rebab, penting, dan
juga seruling.
Sebagai
makhluk yang selalu ingin berkreativitas, masyarakat Karangasem khususnya
Seraya, menciptakan Genjek sebagai wahana berkreativtas. Genjek ini mampu
memberikan ruang untuk berkreativitas bagi masyarakat, maka lahirlah Genjek
dengan beragam tambahannya, misalnya Genjek disertai dengan joged, Genjek
dengan dramatari. Ini dapat dikatakan bahwa Genjek memberikan ruang-ruang
berkreativitas. Keterbukaan Genjek ini amat berarti bagi masyarakat hingga
keberadaannya bisa terus bertahan.
Genjek
juga diberdayakan dalam dunia pendidikan. Beberapa sekolah di Karangasem sempat
mementaskan genjek dalam kegiatannya di sekolah. Dunia pendidikan bisa
memberdayakan Genjek dalam beberapa even kegiatan sekolah. Hal ini amat berarti
bagi kelangsungan dan sebagai sarana penyebaran nilai-nilai pendidikan yang ada
dalam Genjek di samping juga sebagai wahana pemertahanan bahasa Bali.
Jika dicermati,
teks-teks genjek memiliki nilai-nilai pendidikan. Nilai-nilai ini bisa
disampaikan dalam bentuk karya seni. Pendengar akan merasa terhibur sekligus
ada nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang dirasakan. Nilai budaya meresap
secara alami dalam diri pendengar.
Mantra
(2017) menyatakan bahwa teks Genjek Karangasem memiliki beberapa fungsi di
antaranya: fungsi hiburan, fungsi pendidikan, fungsi mengenang masa lalu,
fungsi solidaritas, fungsi pengendalian sosial, protes dan kritik sosial, serta
fungsi religius. Dengan adanya fungsi
genjek seperti di atas, mengindikasikan betapa bermaknanya Genjek bagi
masyarakat khususnya masyarakat karangasem. Dunia pendidikannya pun merasa
terbantu dengan hadirnya Genjek karena bisa digunakan sebagai sarana dalam
penyampaian nilai-nilai pendidikan. Dengan hiburan, nilai-nilai pendidikan itu
akan bisa diterima tanpa ada unsur ketertekanan. Inilah kelebihan dari sebuah
karya seni.
Nilai-nilai
Budaya dan Karakter dalam Genjek
Pendidikan karakter merupakan pendidikan nilai, pendidikan budi
pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan
kemampuan seluruh warga sekolah untuk memberikan keputusan baik-buruk, keteladanan,
memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari
dengan sepenuh hati (Rencana Aksi Nasional Pendidikan
Karakter, 2010). Ada delapan
belas nilai-nilai budaya dan karakter bangsa antara lain religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja
keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan,
cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/ komunikatif, cinta damai,
gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Tujuan
dari pendidikan karakter adalah membelajarkan nilai-nilai yang diterima secara
luas sebagai landasan perilaku yang baik dan bertanggung jawab. Nilai-nilai itu
digambarkan sebagai perilaku moral (Darmiyati, 2008).
Pendidikan
karakter tidak hanya dalam wadah formalitas berupa sekolah. Pendidikan
karakter menurut Thomas Lickona (Yudi Latif, 2009) bahwa pendidikan karakter
adalah usaha sengaja untuk menolong orang agar memahami, peduli akan, dan bertindak
atas dasar inti nilai-nilai etis. Pendidikan
karakter bisa dilakukan dengan beragam wahana. Keberagaman itu akan membuat
pendidikan karakter tidak menjadi kaku. Genjek sebagai salah satu wahana
menumbuhkan karakter-karakter peserta didik. Pelantunan larik-larik genjek
mengandung nilai-nilai karakter yang cukup tinggi. Penyampaian nilai-nilai
moralitas ini dalam sebuah wahana seni memudahkan untuk diserap dan dihayati
oleh peserta didik. Pemaparan melalui Genjek mampu menumbuhkembangkan
nilai-nilai karakter manusia sebagai makhluk moralis-agamais (Keniten, 2014).
Genjek tidak hanya menghibur. Genjek
mampu membawakan pesan-pesan yang menumbuhsuburkan karakter-karakter mulia.
Larik-larik terpilih mengandung makna yang mendalam yang memberikan pencerahan
kepada pendengarnya tanpa maksud menggurui. Wahana genjek mampu membawakan
nilai-nilai kemanunusian-sosial-budaya.
Teks Genjek yang Menggambarkan Nilai
Karakter
Teks Genjek Malajah Tutur (Belajar Menasihati Diri)
dari desa Jasri, misalnya menulis lirik seperti ini: suwitran tiang, jalan jani malajah tutur/ idup di gumine mula keweh
nindakang raga/ eda esan ngelah keneh iri hati/ paling melah tri kaya parusudhane/
ento anggon sasuluh idup// (Temanku, ayolah sekarang belajar menasihati
diri, hidup di dunia memang susah bertingkah laku, jangan sekali memiliki
pikiran iri hati, paling baik Tri Kaya parisudha, itu pakai pererang hidup)
Kutipan teks Genjek Melajah Tutur
memuat nilai-nilai yang mendalam. Gemar belajar, gemar mencari ilmu pengetahuan
hingga bisa menasihati diri sendiri. Seniman Genjek menyadari banyak tantangan
dan godaan hidup di dunia. Sifat-sifat kurang terpuji hendaknya dijauhkan
seperti iri hati. Seniman Genjek ingat dengan Tri Kaya Parisudha. Tri Kaya
Parisudha (manacika, wacika, kayika) mengisyaratkan ada tiga (pikiran,
perkataan, perbuatan) yang hendaknya selalu dijaga hingga sucian tetap tumbuh
di hati. Seniman genjek menyatakan dengan malajah
tutur, belajar menasihati diri.
Belajar berperilaku yang benar perlu
proses hingga menyadari sebagai manusia yang berbudaya dan memiliki karakter
mulia. Sifat-sifat kurang sehat yang terkadang memasuki jiwa dan budi hendaknya
terus dikurangi. Teks Genjek Malajah Tutur memberikan rambu-rambu agar
berpedoman pada Tri Kaya Parisudha. Nilai-nilai moral yang ada dalam Tri Kaya
Parisudha hendaknya diupayakan dan dijabarkan dalam setiap langkah kehidupan.
Dunia pendidikan hendaknya memberikan contoh yang ber-Tri Kaya Parisudha.
Sikap-nikap luhur hendaknya terus
ditumbuhkembangkan dalam kehidupan. Teks Genjek memberikan ilustrasi belajar
mengasihati diri hingga sikap-sikap kurang terpuji bisa dikurangi, belajar
berkarakter mulia: .../ di duur langite
enu masi ada langit/ mara dueg eda pesan nyombongang raga/.../ (di atas
langit masih ada langit, baru pintar jangan menyombongkan diri). Dalam larik
genjek ada diungkapkan seperti ini: .. nyongkokin
tain kebo/.../ mangakuin egaen timpal// (tidak mau bersusah payah,...
mengakui hasil karya orang lain). Dalam
larik ini tersirat karakter bangsa agar tidak melakukan tindakan kurang terpuji
sebagai masyarakat ilmiah yang terdidik. Kembangkanlah potensi diri hingga
berguna bagi kehidupan. Belajar menjadi manusia yang bermoral memang bukanlah
perkara mudah perlu proses panjang agar bisa menjadi penerang dalam diri,
syukur-syukur bisa memberikan secercah sinar pada sesama.
Estetika Teks Genjek
Sebagai karya seni teks-teks genjek tidak bisa
melepaskan dirinya dari nilai estetikanya. Nilai-nilai ini bisa dilihat dalam
salah satu teks Genjek Momo Angkara. Pilihan kata, deretan kata, permainan
kata, atau ungkapan-ungkapan yang dipilihya. Teks Genjek Momo Angkara
menggunakan pilihan kata yang bersanding. Misalnya, larik / eda pesan nyalanang momo angkara/ ulian momo
hidupe nemu sengsara/. Pasangan kata /angkara/
dengan /sengsara/, dengan rima [ra]
pada kedua kata yang mengilustrasikan hati yang kurang baik, atau menderita.
Pasangan kata / suka duka, aget lacur/ (suka duka, nasib baik, kurang baik),
kata-kata itu dipilih dengan memperhatikan unsur-unsur permainan kata sehingga
memperkuat teks genjek yang diciptakannya. Pencipta bisa dengan kesadaran
menciptakannya bisa juga dengan tanpa sadar hadir pilihan katanya. Kata-kata
yang diciptakan dalam teks sastra berbagai kemungkinan akan bisa muncul.
Pencipta bisa setelah diperdengarkan barulah menyadari keindahannya.
Penggunaan bunyi [ang] pada beberapa
larik, misalnya /nyalanang, nyandang,
ngenehang, tingkahang/ ada nuansa mengingatkan, memerintah. Verba tingkah
laku / nyalanang, tingkahang/ dan
juga verba versepsi /ngenehang, nyandang/
memilih verba ini mengindikasikan bahwa pikiran dan perbuatan merupakan
satu-kesatuan dalam hidup manusia. Penggunaan rima juga dilakukan pada awal
larik, misalnya /aget, asing, agamane/.
Bunyi [a] dipilih oleh pencipta, bisa jadi pemilihan ini tanpa disadari oleh
seniman genjek.
Penutup
Genjek memberikan kemungkinan baru mengembangkan
nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Larik-larik Genjek mengandung
nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Manusia perlu terus belajar dan belajar
menjadi manusia. Dalam Genjek, hakikat diri kemanusiaan ditumbuhkembangkan. Larik-larik Genjek
membangun sebuah keindahan yang memberikan ruang kepada manusia untuk merenungi
perjalanan hidupnya. Pemilihan larik-larik tidak bisa dilepaskan dari
kehidupannya sebagai makhluk sosial-budaya dan beragama.
Daftar
Pustaka
Kemdikbud.
2010. Rencana Aksi Nasional
Pendidikan Karakter. Jakarta:
Kemdikbud
Keniten,
IBW Widiasa. 2014. Genjek
Persepsi-Sosio-Kontekstual. Tabanan: Pustaka Ekspresi.
Latif, Yudi. 2009.Menyemai Karakter Bangsa Budaya kebangkitan Berbasis Sastra.Jakarta:Buku
Kompas.
Lathief,
Supaat I. 2010. Sastra Eksistensialisme-Mistisme
Religius.Lamongan: Pustaka Pujangga.
Mantra,
Ida Bagus Nyoman. 2017. Ringkasan
Disertasi Teks Lisan Genjek di Kabupaten Karangasem. Denpasr: Universitas
Udayana.
Zuchdi,
Darmiyati.2008. Humanisasi Pendidikan
menemukan Kembali Pendidikan yang Manusiawi.Jakarta: Bumi Aksara.
Labels: Genjek, Makalah